Jumat, 28 Februari 2014

Three Stages of Human Consciousness on Soren Kierkegaard’s Thought, and His “Leap of Faith” with Interiority and Eksteriority problem of Direct and Indirect Communication

Three Stages of Human Consciousness on Soren Kierkegaard’s Thought, and His “Leap of Faith” with Interiority and Eksteriority problem of Direct and Indirect Communication

Introduction
Soren Kierkegaard dilahirkan tahun 1813, ia adalah seorang filsuf Denmark, pada usia 17 tahun ia mempelajari theology, tapi anehnya ia justru asyik dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis. Kierkegaard bukanlah seorang tokoh besar di dalam filsafat Kristen di abad ke 19. Namun filsafat yang ia hasilkan seringkali menjadi salah satu sumber yang terpenting di dalam gerakan filsafat kita pada zaman ini. Dibandingkan dengan filsuf-filsuf postmodern, filsafatnya tergolong tidaklah sistematis dan hampir tidak perlu dijabarkan dengan terlalu analitis. Karena sebenarnya, isi filsafatnya justru menentang suatu kecenderungan berpikir abstrak yang kuat. Maka bukanlah concern dari Kierkegaard untuk membuat para pembacanya menjadi seorang yang lebih pandai secara intelektual, sebaliknya ia ingin memberikan suatu pemahaman berkaitan dengan way of life yang seharusnya bisa dihayati oleh setiap orang. Ia lebih memilih mengambil pendekatan filosofisnya di dalam model introspeksi diri yang mendalam, untuk mendapatkan suatu pandangan hidup yang baru.
Sebagai seorang Lutheran, ia justru mengkritik keadaan-keadaan gereja pada saat itu. Ia mengecam kekristenan yang hanya memiliki model yang terlembaga dan dihormati manusia, namun yang sebenarnya adalah tidak layak untuk mewakili kekristenan yang apostolik. Kierkegaard menolak ide Hegel yang diberlakukan atas gereja berkaitan dengan pandangannya terhadap manusia. Hegel membaca manusia dalam abstraksi antara tesis dan antitesis. Dari sini Kierkegaard menganggap bahwa pola pikir seperti ini membuat eksistensi dari manusia menjadi bersifat partikular dan masuk ke dalam abstraksi-abstraksi yang diabsolutkan. Akhirnya manusia sebagai suatu eksistensi yang kongkret justru terabaikan. Pendekatan Hegel yang bersifat dialektika terhadap manusia justru membuat keberadaan manusia menjadi begitu impersonal. Dengan cara dialektika, Hegel akhirnya menciptakan apa yang disebut ruh objective, yang bagi Kierkegaard tidak ada hubungannya dengan eksistensi manusia. Karena eksistensi itu bukan dihasilkan dari suatu pembongkaran konsep-konsep pikir, namun dihasilkan dari suatu intuisi yang langsung terhadap diri.
Kesadaran manusia akan eksistensinya terjadi ketika ia berhadapan dengan realita ketegangan batin yang ekstrem, seperti kegentaran atau kecemasan. Pada saat manusia menghadapi pengalaman-pengalaman inilah, mereka baru menyadari apa itu menjadi. Melalui pergumulan kegelapan jiwa seperti ini, barulah seseorang menyadari eksistensinya. Namun kita akan salah mengerti tentang pandangannya bila kita segera mengatakan bahwa concern nya adalah untuk mengetahui apa itu definisi dari eksistensi. Karena bukan hal itu yang ia jelaskan. Karena Kierkegaard memakai istilah eksistensi untuk membawa manusia memikirkan tentang apa itu signifikasi hidup. Dan signifikasi hidup itu dimunculkan ketika seseorang menghadapi fakta pemusnasan diri yang akan segera terjadi atasnya, yaitu ketika seseorang harus memutuskan untuk hidup atau mati.
Filsafat yang ia ajukan lebih bersifat praktis ketimbang teoritis, hal ini terjadi karena memang ia tidak menyetujui teologi dan metafisika rasionalistis yang dikonsepkan. Ia mengkritik suatu usaha yang terlalu rasional untuk mendapatkan suatu pemahaman hidup. Maka bila manusia hanya berfokus untuk memahami segala sesuatunya dengan cara rasional, maka mereka akan kehilangan kemampuan spiritualitas yang mendasar. Disinilah ia menolak usaha pencapaian dengan pendekatan filosofis. Maka filsafat yang ia ajukan adalah suatu filsafat yang mengakhiri filsafat. Disinilah konsep without mengambil peranan yang penting di dalam postmodernisme. Love without loving. Leader without leading. Parent without parenting.
Kritik terhadap rasio sebenarnya telah dikemukakan oleh Kant, hanya saja Kierkegaard mengambil pola yang berbeda dalam menyampaikannya. Bagi Kierkegaard, kerohanian tidaklah selalu berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memberikan jawaban terhadap segala permasalahan manusia, namun lebih berkaitan dengan suatu tindakan iman dan komitmen-komitmen suprarasional yang mengalahkan keragu-raguan. Maka, manusia bukanlah mencari suatu pemahaman saja, namun mereka membutuhkan penyelamatan. Dan penyelamatan itu datang hanya melalui tindakan iman.
Bila kita memperhatikan secara ketat, sebenarnya Kierkegaard sedikit bertentangan dengan teori dasarnya yang melawan konsep perkembangan tertentu. Ia justru juga mengeluarkan konsep perkembangan/ kemajuan spiritual. Walaupun konsep perkembangan ini bukanlah model perkembangan dialektika. Jika Comte mengembangkan konsep kemajuan intelektualitas, maka Kierkegaard mengembangkan tiga tahap perkembangan spiritualitas.
Berbeda halnya dengan Hegellian yang menekankan kemajuan spiritualitas manusia dengan konsep ruh absolut yang bersifat mutlak, Kierkegaard menekankan bahwa perkembangan spiritualitas ditentukan sendiri oleh manusia itu sendiri, dimana mereka harus mengambil keputusan sendiri untuk mau masuk ke level selanjutnya atau tidak. Maka seorang kristen dapat bertumbuh dapat pula tidak bertumbuh, tergantung apakah individu itu mau mengambil jalan yang penuh keyakinan dan ketegasan atau tidak. Dari sini kita dapat membaca bahwa Kierkegaard juga sebenarnya adalah anak dari zamannya, yang sedang bergelut dengan tema-tema keputusan, keyakinan, dan penegasan.

Objective Thinking Versus Subjective Thinking
Kierkegaard adalah seorang pemikir eksistensial: yaitu seorang pemikir yang membawa seluruh eksistensinya ke dalam perenungan filosofisnya. Ia tidak menyetujui cara berpikir “objective thinking” (berkait dengan eksterior communication) yang dianut oleh kaum Hegelian. Baginya berpikir objective tidaklah relevan bagi kehidupan seorang individu. Bagi Kierkegaard, Hegel adalah profesor yang menjelaskan misteri kehidupan manusia, namun ia sendiri lupa bahwa ia adalah seorang manusia. Maka apa itu “manusia” menurut Kierkegaard? Manusia bukanlah dibaca dalam suatu definisi yang luas/ bukan hakekat manusia itu apa. Tetapi yang paling penting dari manusia adalah: “keberadaan manusia itu sendiri”. “Manusia tidak akan menyadari keberadaannya sendiri ketika ia berada di belakang meja kerjanya. Tetapi ia akan sadar tentang keberadaan dirinya hanya ketika mereka menentukan pilihan-pilihan penting.” Yaitu saat manusia mengambil keputusan penting (membuat decision).
Pendekatan seperti ini mirip dengan filsafat Buddha, yang mengambil keberadaan manusia sebagai titik tolak. Sebagai contoh: konon ada seorang biarawan yang bertanya kepada Buddha, “Apakah dunia itu dan apakah manusia?” Buddha menjawab dengan menyamakan sang biarawan dengan seorang yang terkena panah beracun. Maka biarawan itu tidak akan memusingkan perihal terbuat dari apakah panah itu, atau dari arah manakah panah itu datang, tetapi ia akan segera mencari pertolongan/ perawatan yang dapat menyembuhkannya. Inilah permasalahan eksistensial.
Sebagai lawan dari pemikiran objective thinking, ia mengusulkan bahwa kebenaran haruslah bersifat subjective. Maksudnya adalah: kebenaran yang benar-benar penting itu adalah yang bersifat individu/ pribadi. “Kebenaran-kebenaran yang benar bagiku.” Sebagai contoh: suatu diskusi mengenai apakah kekristenan itu benar atau tidak, tidak dapat dilakukan dalam tataran teoritis/ akademik, karena pertanyaan-pertanyaan tersebut berkaitan dengan persoalan hidup-matinya manusia. Maka suatu diskusi tidak dapat dilakukan demi diskusi itu sendiri. Karena suatu diskusi selalu berkaitan dengan eksistensi dari manusia yang berdiskusi (berkait dengan hidup-matinya manusia). Contoh lain: misal saat seorang jatuh ke dalam laut, maka ia tidak seharusnya memikirkan bagaimana teori berenang yang baik, tetapi ia harus segera berenang! Karena itu adalah masalaah hidup-mati. Maka pertanyaan-pertanyaan yang bersifat intelektual semata tidaklah penting (yang hanya knowledge), karena seharusnya suatu pertanyaan haruslah didekati dengan pendekatan iman. Demikian juga, seseorang tidak akan pernah tahu apakah sesamanya memaafkan perbuatan jahat yang ia lakukan. Dan, kita tidak akan pernah tahu apakah seseorang itu mencintai kita. Mengapa? Karena semua hal ini diungkapkan bukan dengan direct communication, tetapi dengan indirect communication. Jadi, bagi Kierkegaard, cinta itu bukan diungkapkan dengan kata-kata, tetapi dengan indirect communication. Yang mana kita pilih? Seorang yang selalu mengatakan “aku mencintaimu” tetapi ia tidak memperdulikan kita, atau seorang yang tidak pernah mengatakan “aku mencintaimu” tetapi semua perbuatannya penuh perhatian, romantis, dan selalu memperdulikan kita?
Kierkegaard menulis, “Jika aku dapat menangkap Tuhan secara objective, aku tidak akan percaya, tetapi justru ketika aku tidak dapat melakukan hal ini maka aku harus percaya. Jika aku ingin menjaga imanku maka aku harus terus-menerus berpegang teguh pada ketidakpastian objective, agar imanku tetap lestari.” Kalau seorang kristen hanya bermain di dalam argumen logis, maka ia akan mengalami kerugian besar di dalam imannya. Karena yang terpenting bukanlah: apakah kekristenan itu adalah benar, tetapi apakah kekristenan itu benar bagimu. Maka melalui statement ini ia membuka pintu bagi berkembangnya Postmodern.
Pada masa Kierkegaard, zaman itu dikuasai oleh pemikiran Rene Decartes. Dan Decart memiliki suatu gabungan antara pemikiran tentang Allah dan pemikiran dengan Matematik. Maka seorang yang mempelajari matematik, ia otomatis sudah menjadi theolog, karena kedua hal ini memiliki kesamaan di dalam pendekatan. Maka pemikiran tentang Allah sama derajatnya dengan pemikiran tentang Allah. Maka Logic, menjadi suatu dasar yang kokoh untuk mengetahui segala sesuatu, termasuk untuk mengetahui Allah. Inilah yang dimaksud dengan objektive thinking.
Kierkegarrd merasa ada yang salah dengan cara berpikir seperti ini. Maka ia mengembangkan suatu cara berpikir subjektive. Maka kita tidak bisa berbicara tentang Allah dengan cara berpikir objektive thinking. Objective thinking tidak mempunyai suatu nuansa rahasia. Ini sebabnya membicarakan tentang Allah tidak dapat menggunakan pendekatan objective thinking. Saat manusia membicarakan tentang Allah, ia harus menggunakan pendekatan yang bersifat subjective, karena pendekatan inilah yang meng-cover sisi-sisi kerahasiaan dari Allah. Dalam Decart, Allah sama dengan suatu objek matematika yang dapat diukur. Dan inilah yang ditolak oleh Kierkegaard. Ada jurang yang sangat luas antara pendekatan matematik dengan pendekatan ke-Tuhanan (Injil). Maka kedua hal ini adalah pendekatan yang sangat berbeda.
Manusia pun memiliki subjective side di dalam diri mereka. Kalau kita hanya berbicara secara objective, maka kita tidak dapat mengungkap hal-hal yang bersifat rahasia di dalam diri manusia. “It essensial content is essentially a secret.” Demikian Kierkegaard berpendapat. Ketika membicarakan subjective side, maka akan muncul suatu difference di dalam suatu argumen, karena akan muncul suatu secret. Pada saat seorang manusia mengeluarkan subjective sidenya, maka ia perlu mengeluarkan doubleness-nya manusia (pencampuran kesementaraan dengan yang kekal- Temporal and the Eternal). Inilah Doubleness Characteristic of Existance. Yaitu manusia harusnya tidak hanya berpikir secara logic yang hanya berkaitan dengan objek yang dia lihat, namun manusia harus melihat / menghargai adanya eternal nya manusia.
Subjective thinking bukanlah suatu pemikiran yang tidak ada content. Namun isinya adalah: suatu yang berkaitan dengan rahasia yang dimiliki oleh manusia. Maka ia mementingkan indirect communication yang berlawanan dengan pendekatan objective side (logic-nya) manusia. Karena ini berkaitan dengan secret nya manusia. Maka ia mengembangkan tradisi yang sudah dikembangkan oleh Augustinus berkaitan dengan interiority (pemikiran yang bersifat ke dalam- yaitu suatu ruangan yang berada di dalam diri manusia). Dan ini tidak dapat dikomunikasikan secara langsung. Karena hal yang dapat diungkapkan secara langsung adalah hal-hal yang diluar, dan apa yang ada di dalam tidak dapat diungkapkan secara langsung (harus dengan pendekatan yang tidak langsung).
Semua rasionalisme akan berbicara ke dalam konteks direct communication, karena berdasarkan objective side, yang bisa diteliti dengan tools yang namanya logic. Dengan pola seperti ini: maka Allah juga dijadikan object penelitian. Disinilah manusia bermain di dalam eksterior yang kuat.
Maka Kierkegaard membuka ruang bagi Interiority nya manusia. dengan begini manusia lebih bisa memahami Gospel. Maka komunikasi bukan hanya menjelaskan segala sesuatu sampai seseorang mengerti. Karena kalau sudah sampai ke taraf mengerti tuntas, maka pergumulan manusia akan berhenti dan selesai. Namun manusia bukan seperti ini, karena manusia memiliki wilayah yang secret, indirect dan interiority.
Kierkegaard membaca gereja-gereja pada saat itu: justru kalau gereja sudah memiliki eksteriority yang baik (mimbar bagus, gedung bagus, tampilan bagus, pakaian bagus) jangan-jangan gereja sedang menuju ke dalam pembusukan. Karena manusia tidak lagi membereskan interiority (inside-nya) mereka. Apakah kalau seseorang sudah jago berbicara maka everything going well? Tidak! Kierkegaard menjawab.

The Leap of Faith
Kierkegaard mengeluarkan “The Leap of Faith”/ loncatan iman. Yang ia maksud adalah: sesuatu yang tidak dapat dikomunikasikan secara langsung. Maka loncatan ini secara tidak sadar seringkali dilakukan oleh manusia. Namun manusia harus tetap berhati-hati di saat mereka loncat. Dan tindakan ini bersifat terisolasi: singgle individual. Maka ini adalah suatu tindakan memutuskan (decide) untuk mengambil jalan untuk loncat. Dan ini bukan menjadi suatu yang konyol atau nekad.
Indirect communication bersifat secret, dan hanya dikomunikasikan secara indirect, dan bentuknya adalah literatur. Ia tidak gampang mengungkapkan wilayah yang secret di dalam dirinya karena itu bersifat private. “Leap of Faith” keberanian mengambil suatu keputusan yang tidak dapat ia jelaskan berkaitan dengan subjective side seseorang. Misal: di tengah orang yang mengagungkan Decart, ia memutuskan untuk tidak mengikuti arus ini. Ia mengatakan ketidaksetujuannya dengan berani. Dan tindakan ini adalah tindakan yang issolation dimana ia harus siap menerima konsekuensinya.
Di dalam Kej 22 (Kasus Abraham mempersembahkan Ishak). Menurut Kierkegaard kisah ini hendak menjelaskan subjective side nya Abraham. Kierkegaard berargumen: Abraham berbohong kepada Ishak bahwa peristiwa korban ini adalah idenya, dengan maksud agar Ishak tidak marah kepada Tuhan. Karena kalau ia mengatakan bahwa rencana ini adalah Tuhan yang suruh, Ishak bisa marah kepada Tuhan. Maka bagi Abraham, its better for Ishak to lose faith in him, than lose his faith in God.
Abraham mempersembahkan kepada Ishak karena taat kepada Allah, namun Allah mempersiapkan domba baginya, namun Abraham sudah terlanjur berbohong kepada Ishak, akhirnya ia terjebak sendiri. Akhirnya Abraham menjadi bingung sendiri. Dan ia menjadi susah. Dan disat ini Ishak merasa kecewa/kehilangan kepada Abraham. Abraham menyesal dan berpikir, bahwa seharusnya ia tadinya menolak permintaan Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin meminta untuk membunuh manusia. Abraham menjadi despair (putus asa). Disinilah muncul pergumulan eksistensial sebagaimana yang Kierkegaard maksudkan.
Maka Kierkegaard menyoroti pergumulan Abraham. Abraham berdusta kepada Ishak, dan ketika Tuhan tidak jadi meminta ia membunuh Ishak, maka Abraham menyalahkan dirinya sendiri. Disini Kierkegaard, mau menyampaikan wilayah interiority nya manusia: dimana manusia sukar memahami kehendak Tuhan. Dan ketika tidak jelas akan kehendak Tuhan bagaimana manusia berani mengungkapkannya. Dan di saat mereka salah, mereka siap tidak menanggung kesalahan itu. Maka orang yang berteriak “kehendak Tuhan” belum tentu mengetahui apa itu kehendak Tuhan.

Three Stages on Human Consciousness
Orang kristen harusnya bertumbuh dan melalui tiga tahapan ini, supaya mereka dapat memiliki hubungan dengan Allah dengan benar.
Tahap pertama, Estetis. Dalam tahap ini terjadi pertemuan pertama manusia dengan sesuatu. Manusia memakai estetik yang menarik untuk menarik perhatian manusia yang lain. Manusia selalu tertarik pada estetik aspek dari manusia (hal-hal yg ada di luar). Dan dari sini manusia mudah untuk terpikat dan terpukau. Mereka yang hidup di wilayah ini adalah orang yang menangkap kesempatan dan menikmatinya, apa yang baik adalah apa yang indah, memuaskan, atau menyenangkan. Orang seperti ini sepenuhnya hidup di dunia indera, dan menjadi budak dari nafsu dan perasaannya sendiri. Segala sesuatu yang membosankan itu buruk.
Orang yang berada pada tahap ini mudah masuk ke dalam kegelisahan, ketakutan, dan perasaan hampa. Namun hal ini ada baiknya, karena pengalaman itu adalah pengalaman eksistensial. Estetis: berarti seseorang harus menikmati kehidupan. Dan orang itu akan menikmati hidup kalau ia cantik, sehat, dan berbakat (ini syarat yang berasal dari dalam). Kemudian, syarat yang berasal dari luar individu adalah: seseorang akan menikmati hidup kalau ia memiliki kekayaan, dihormati, memiliki cinta yang romantis. Tetapi, perburuan akan kenikmatan hidup yang tidak ada habisnya akan menuntun manusia masuk ke dalam: keputusasaan (despair), kesedihan, dan kesengsaraan. Maka perlu ada perubahan paradigma hidup dari estetis ke etis.
Tahap kedua, Moral life (etika-etis). Manusia mudah terpikat dengan moral life, namun kita tidak boleh terpikat hanya dengan orang yang bermoral baik. Karena kalau kita hanya berhenti di dalam kekaguman kepada orang seperti ini, kita tidak akan memiliki relasi yang benar dengan Allah. Kadang –kadang orang bermoral juga menikmati kekaguman yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya. Namun kita tidak boleh berhenti sampai di sini. Stages ini mirip dengan stages yang diungkapkan Kant dengan nama Imperatif Kategoris (dalam kaitannya dengan hukum moral). Ada Standar Universal untuk sebuah perilaku. Bagaimana menguji sebuah perilaku adalah benar atau salah? Yaitu dengan mempertimbangkan perilaku itu menjadi perilaku universal, apakah dunia itu akan lebih baik? Kalau tidak lebih baik, jangan lakukan.
Tetapi di dalam wilayah etis ini, hanya tinggal satu langkah lagi untuk menuju ke wilayah religius. Maka hendaknya manusia lebih berani lagi untuk mengambil keputusan menuju tahapan yang lebih baik.
Untuk bergeser (melakukan transisi) dari wilayah etis ke wilayah religius, perlu ada yang namanya “hubungan yang rusak”. Setelah manusia menyadari relasi diantara manusia mudah rusak, maka ia akan berusaha untuk masuk ke dalam tahap religius.
Tahap ketiga, Religious Conciousness. Tahapan ini lebih hebat dari tahapan moral. Disini manusia tidak hanya sekedar terpukau, namun harus bersedia ditolak dan tersembunyi. Dying away to religius life means being rejected and hidden indeed. “You can not be a leader and the Reformer of the church at the same time.” Yang sudah jadi leader, dia bukan reformer, reformer itu being rejected and in the wildernesss. Leader yang mau jadi reformer, dia akan banyak memiliki kepentingan. Gereja yang menjadi terlalu besar, leadernya akan terlalu banyak mencocok-cocokkan dengan persetujuan massa. Maka pada saat seseorang menjadi reformer ia harus siap untuk berada di wilderness.
Pemimpin kristen seharusnya tidak hanya stag menjadi leader di gereja, karena kalau hanya berhenti disini maka ia akan stag, dan tidak lagi bisa mempersuade sesama dengan benar. Yohanes pembaptis bersuara di padang gurun, dan ia tidak mementingkan apakah ia akan dipuji atau tidak. Maka ia mementingkan the word/ suara, dan bukannya mementingkan pujian. Seorang kristen yang bertumbuh seharusnya tidak takut untuk hidup terbuka secara interior dan eksterior kita di hadapan manusia dan Tuhan. Seorang pemimpin harus bersedia diuji dengan keadaan si pendengar (penerima Firman), sehingga seorang pelayan Firman bukan hanya sekedar berbicara dan tidak mau mendengar keluh-kesah jemaat. Tetapi ia harusnya mau mendengar dan memperhatikan respon jemaat.



Eskatology Perjanjian Baru Menjawab Pengharapan akan Masa Depan
dalam Konteks Pemulihan Segala Sesuatu

Ketika kita berhadapan dengan asumsi dan kepercayaan bahwa dunia yang kita hidupi saat ini akan semakin menuju kepada suatu penyusutan moral, kehancuran etika, berkembangnya humanisme yang begitu selfis, dan manusia menjadi semakin dingin di dalam kasih, kejahatan semakin banyak, semua itu memberikan gambaran yang menyeramkan berkaitan dengan masa depan yang akan kita hadapi. Semua gambaran tersebut begitu jelas diungkapkan oleh Alkitab, sehingga kita sulit untuk tidak menerima semua realitas masa depan di dalam kemungkinan-kemungkinan yang demikian. Melalui tulisan ini, saya ingin meng-compete-kan dua argumen yang membela decline nya dunia kita beserta moralitas manusia yang berada di dalamnya dengan pengharapan Iman Kristen yang semestinya dimiliki oleh setiap kaum percaya, dan dengan basis apa pengharapan tersebut boleh dibangun.
Bila manusia adalah manusia yang harus hidup di dalam pengharapan, maka pengharapan mereka akan selalu berkait dengan future yang akan mereka alami dan hadapi. Dan future ini berada di dalam bayangan imaginasi manusia yang kreatif positif maupun negatif realistis. Maka dua tipe imajinasi yang dikembangkan oleh manusia di dalam kaitannya dengan future akan selalu mempengaruhi bagaimana manusia itu akan bertindak dan beragumen di dalam banyak aspek hidupnya. Seorang olahragawan yang bertanding dengan lawan yang jauh lebih kuat dari dirinya akan bertanding dengan cara yang berbeda dengan seorang yang sedang bertanding dengan lawan yang mudah. Orang yang bertanding dengan rival yang jauh lebih kuat dari dirinya, akan bertanding dengan sekuat tenaga, dan memakai segala strategi dan usaha yang sehebat mungkin untuk dapat memenangkan pertandingan tersebut. Tetapi bila hasil akhir/ konklusi pertandingan itu telah ditetapkan dan dipastikan di dalam future yaitu dimana si A pasti akan kalah dengan rivalnya yang hebat itu, maka si A ini akan bertanding dengan cara yang sama sekali berbeda. Maka imaginasi/ kemungkinan untuk menang memberikan suatu semangat yang double pada si A, namun kepastian bahwa ia akan kalah memberikan racun yang mematikan bagi semangatnya untuk menang.
Melalui gambaran ini, saya ingin mengungkapkan bahwa imajinasi manusia dapat menjadi suatu kepastian argumen di dalam pikiran manusia yang seringkali bahkan tidak memerlukan pembuktian. Pembuktian berbicara mengenai hasil akhir yang pasti, tetapi imaginasi dalam pengharapan hanya berbicara di dalam kemungkinan yang akan terjadi di dalam future. Disinilah iman dan pengertian akan Eskatology Kristen menjadi begitu penting. Karena seorang kristen yang percaya/berimajinasi bahwa dunia ini akan menuju kepada suatu decline yang dasyat, akan melahirkan tindakan yang sangat berbeda dengan seorang kristen yang berimajinasi bahwa dunia ini akan menuju kepada suatu pemulihan yang menyeluruh. Beberapa pertanyaan yang bisa kita pikirkan adalah: jikalau dunia ini sedang dan menuju kepada suatu pemulihan yang menyeluruh terhadap segala sesuatu, bagaimana konsep ini ber-harmoni dengan kepercayaan manusia yang berkata bahwa dunia ini sedang berprosess di dalam declining yang tidak terhentikan? Bukankah dua hal ini berbenturan di dalam dirinya sendiri? Kemudian sebaliknya, bila seorang kristen percaya bahwa dunia kita sedang berada di dalam pemulihan segala sesuatu, namun mengapa realitanya kejahatan semakin bertambah dan kemerosotan kemanusiaan terjadi dimana-mana? Maka bukankah lebih mudah bagi seorang kristen untuk memiliki konsep iman yang bersesuaian dengan realita dunia yang terjadi di sekelilingnya, daripada ia harus memiliki konsep iman yang pada nyatanya berbenturan dengan keadaan dunia yang sedang ia hadapi? Jikalau konsep iman seorang kristen bersesuaian dengan realita dunia yang ia sedang hadapi, pertanyaannya adalah: masih perlukah orang kristen tersebut beriman? Namun bila iman seorang kristen tidak bersesuaian dengan realita dunia yang ia sedang hadapi, masih perlukah iman tersebut dipertahankan, karena toh tidak bersesuaian dengan realita?
Maka Eskatology tidaklah boleh bermain di dalam imajinasi manusia saja, namun harus berpegang dan berdasarkan dengan apa yang Firman itu katakan kepada kita. Kerajaan Allah telah hadir di dalam diri Kristus, dan Kristus menghendaki agar setiap aspek di dalam hidup manusia boleh direstore ke posisi yang Ia kehendaki. Maka banyak dari tindakan dan perkataan Yesus yang mewakili kehendakNya untuk me-restore all things in human life, dan semua itu Ia lakukan di dalam rangka menghadirkan shalom kepada ciptaanNya. Maka karya Kristus selalu berkait dengan aspek-aspek kehidupan manusia, sebagaimana yang diungkapkan oleh Goheen, “Salvation is the restoration of all aspects of human life-religious, political, economic, sosial, and physical.” Bahkan Goheen sampai kepada kesimpulan bahwa Kristus bukan hanya me-restore human life, namun pemulihan yang Ia kerjakan mencakup sampai kepada nonhuman creation. Hal ini dibuktikan seperti di dalam peristiwa ketika Yesus meredakan badai yang mengamuk dan menenangkan danau (Mrk 4:35-41). Tindakan Yesus ini menyatakan kuasaNya dalam membangun kembali pemerintahan Tuhan di dalam ciptaan atas kuasa kejahatan. Maka tema: Rule of God over all creations menjadi tema yang penting di dalam Perjanjian Baru. PemerintahanNya bukanlah melawan kebaikan dan kedamaian, justru Ia sendirilah yang akan menghadirkan kebaikan dan kedamaian itu. Maka di dalam mendirikan KerajaanNya yang penuh shalom itu, dunia dan kejahatan yang berada di dalamnya tidak henti-henti menghambat pekerjaanNya yang mulia.
Jikalau kita setuju bahwa Kristus hadir di dalam rangka me-restore human and non-human creation, itu berarti kita setuju bahwa dunia ini sedang di dalam keadaan yang sakit. ‘Sakit’nya dunia ini haruslah terlebih dahulu kita definisikan, sebelum kita mengerti bagaimana cara Kristus me-redeem semuanya itu. Setelah kita tahu bahwa dunia ini sedang ‘sakit’, kita juga perlu mengetahui apakah ‘sakit’nya dunia itu bertambah parah atau bertambah membaik. Jikalau bertambah parah, jaminan apa yang kita miliki? Jikalau bertambah pulih, bagian apa yang tetap harus kita kerjakan? Diantara dua posisi ini, kita perlu menentukan pilihan. Karena dua jaminan ini akan menentukan bagaimana kita akan memberikan tindakan di dalam hidup kita.
Ketika kita memperhatikan 2 Tim 3:1-9, kita menemukan bahwa pada hari-hari terakhir keadaan manusia akan semakin merosot. Manusia akan semakin mencintai dirinya dan menjadi hamba uang. Secara lahiriah mereka tetap beribadah, namun mereka tidak mempercayai adanya kekuatan di dalam ibadah yang mereka lakukan. Jika keadaan manusia semakin merosot dari hari ke hari, ini akan menyebabkan keadaan dunia yang mereka huni. Maka bumi ini bukan menjadi merosot hanya karena bumi ini berpotensi merusak dirinya sendiri, namun bumi menjadi semakin tidak ‘layak huni’ justru disebabkan kerusakan dari mereka yang menghuni bumi. Maka sedikitnya ada 3 kekuatan ‘perusak’ habitat manusia yang Alkitab ungkapkan kepada kita yaitu bumi itu sendiri (karena tanah yang manusia huni telah Tuhan kutuk), yang kedua adalah penghuni bumi (yaitu manusia dan binatang), yang ketiga adalah evil power (yang mendapat kuasa sementara untuk mengontrol kerajaan angkasa). Akan tetapi seberapa pun besarnya ketiga kekuatan perusak ini, tidak akan pernah dapat menandingi 3 kuasa Penopang Ciptaan yaitu pertama Allah Bapa (yang mencipta), Allah Anak (yang me-redeem all things) dan Allah Roh Kudus (yang senantiasa menguduskan manusia yang percaya kepada Kristus). Dari argumen ini saja, sudah membuktikan dan memberikan jaminan yang kuat bahwa bumi dan segala isinya, demikian juga dengan manusia yang menghuni bumi: akan selalu diperbarui dari hari ke hari oleh Kuasa re-deeming power yang Tuhan kerjakan di dalam ciptaanNya. Maka saya mengambil posisi bahwa moral manusia akan semakin merosot, dan manusia akan semakin meninggalkan dan melupakan Tuhan Sang Pencipta, namun Tuhan akan menyisakan sebagian orang yang tetap akan menikmati ‘dunia’ dan ciptaan dalam kerangka culture redeming yang menyeluruh. Sehingga saya tidak percaya bahwa orang-orang pilihanNya akan semakin ‘menangisi dunia’ dalam arti bahwa tidak ada lagi yang mereka inginkan selain kedatangan Yesus Kristus untuk mendirikan kerajaanNya dalam konteks ‘hopeless’. Justru karena adanya jaminan perihal kedatangan Kristus yang akan me-restore all things, maka orang percaya berbagian senantiasa (karena selalu berpengharapan) dalam seluruh proses Kedatangan KerajaanNya itu. Kekristenan akan tetap memberikan pengaruh di dalam dunia, walau ‘garam’ itu sangat minoritas. Maka selalu ada hal lain yang kita bisa harapkan sebelum Yesus Kristus datang, yaitu kita berharap kita sungguh-sungguh menjadi ‘garam’ yang mempengaruhi dan mengubah dunia, dengan kata lain kita berbagian di dalam usaha Kristus me-redeem all creations in the world.
Kemudian berkaitan dengan bagaimana kondisi manusia yang hidup di dalam dunia, kita dapat memperhatikan bahwa manusia akan semakin fit in dengan dunia yang mereka huni. Ini berarti bahwa manusia sudah benar-benar merasa bahwa bumi inilah ‘rumah’ kekal yang dapat mereka harapkan. Hal ini bisa saja menggambarkan bahwa keadaan dunia akan semakin menyenangkan untuk manusia tinggali. Dan disaat manusia sudah terlalu enak dan nyaman tinggal di dunia, maka saat itulah Tuhan datang. Saat dimana manusia sudah dapat dengan bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan (di dalam nature keberdosaan manusia), sehingga dunia ini begitu cocok dengan nature mereka yang berdosa (karena pada akhirnya banyak dari manusia yang hidup dalam dosa), maka disaat itulah Tuhan tiba untuk mendirikan KerajaanNya. Disinilah bagian kita orang-orang yang Tuhan telah tebus, yaitu kita berbagian di dalam restorasi yang Kristus kerjakan bagi seluruh ciptaan.
Jika kita selalu mengeluh untuk segala kerusakan dunia yang semakin parah, lalu dimanakah kebenaran Tuhan yang mengatakan, “Janganlah mengatakan: ‘Mengapa zaman dulu lebih baik dari pada zaman sekarang?’ Karena bukannya berdasarkan hikmat engkau menanyakan hal itu.” boleh berdiri? Jikalau keadaan dunia semakin hari semakin buruk, bukankah ini akan membuat orang-orang kristen sulit untuk bersyukur? Padahal Tuhan senantiasa bekerja di dalam dunia dan di dalam kita, namun mengapa kita tidak dapat melihat dan merasakannya, justru kita lebih mudah melihat dan merasakan kemerosotan dunia? Jikalau Tuhan kita senantiasa bekerja mendirikan KerajaanNya di dunia ini, mengapa kita justru lebih mudah melihat pekerjaan iblis yang mengacaukan dunia ini?
Orang-orang kristen akan tetap dapat menikmati “karunia-karunia dunia yang akan datang”. Sehingga setiap orang percaya tidak akan terbelenggu dengan keputusasaan dan akhirnya hanya berharap agar Kristus segera tiba demi menyelesaikan kesesakan mereka yang hidup di dalam dunia. Jikalau Tuhan kita adalah Tuhan yang berhikmat dan Tuhan yang Mahabaik, maka Ia akan membuat hati kita dipenuhi dengan ucapan syukur ketika kita memasuki hari-hari terakhir tersebut. Alkitab dengan sangat baik mengungkapkan hal ini kepada kita, “supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus.” Maka kita harus berhati-hati di dalam cara baca kita terhadap masa yang akan datang. Jika kita berpikir bahwa masa mendatang adalah masa yang sukar dan layak untuk disesali, maka kita belum mengerti kelimpahan anugerah Tuhan yang Ia sediakan bagi kita.
Manusia yang tidak menantikan kedatangan Kristus tidak akan mendapatkan janji keselamatan itu. Mereka tidak menantikan Kristus karena mereka sudah terlalu fit in dengan dunia dan kesenangannya, sehingga tidak berharap hal lainnya selain dosa dan keinginan mereka yang memberontak terhadap Allah. Namun tidak demikian dengan mereka yang menantikan Kristus. Mereka yang menanti-nantikan Kristus mendapatkan janji keselamatan yang sempurna yang Ia telah sediakan. Mereka menanti bukan di dalam kegelisahan, kesedihan, kemelaratan, dan kesengsaraan, namun mereka menanti di dalam sukacita yang berlimpah-limpah di dalam anugerah Tuhan. Karena Kristus telah hadir di dalam sejarah, maka kita mendapatkan jaminan yang pasti akan kedatanganNya yang memulihkan segala sesuatu. Ridderbos mengungkapkannya demikian, “Kepastian bahwa hari keselamatan, waktu penerimaan, telah tiba di dalam Kristus, bukan merupakan akhir dari penantian penebusan, tetapi justru memperkuat penantian ini.” Maka penantian yang diberikan jaminan seperti ini merupakan penantian di dalam kepenuhan sukacita dan kegairahan, dan bukannya penantian yang penuh dengan kemelaratan (walaupun Alkitab juga menunjukkan kepada kita bahwa ada model penantian yang di dalam penderitaan-namun penuh sukacita).
Pada hari-hari terakhir, yaitu di masa-masa ‘mendatang’ Tuhan akan menunjukkan kepada umat pilihanNya kekayaan kasih karuniaNya yang melimpah-limpah, dan bukan hanya melimpah-limpah, namun juga kelimpahan kasih karuniaNya itu didasarkan pada kebaikanNya yang mutlak atas kita di dalam Kristus Yesus. Jikalau hari-hari akhir sudah dijamin di dalam janji yang indah seperti ini, adakah kita meragukan kebaikanNya dan suspicious bahwa hari mendatang pastilah lebih buruk dari hari ini?

Already and Not Yet
Pengertian kita akan Eskatology PB haruslah dijelaskan di dalam kerangka apa yang sudah terjadi dan apa yang belum terjadi. Mengapa hal ini disebut sebagai konsep mendasar di dalam Eskatology PB? Karena hal ini akan berkaitan dengan konsep ‘sekali dan untuk selama-lamanya’ sebagaimana yang Alkitab ungkapkan di dalam pemakaian kata ephapax (sekali untuk selama-lamanya). Maka apakah peristiwa Eskatology itu sudah terjadi di dalam kehidupan Kristen? Jawabannya adalah sudah dan belum. ‘Sudah’ di dalam pengertian bahwa Kristus sudah hadir di dalam sejarah dan menyerahkan nyawaNya sebagai pengorbanan, ‘belum’ di dalam pengertian bahwa KerajaanNya belum digenapi secara penuh di dalam sejarah kehidupan manusia. Hoekema mengungkapkannya demikian, “Di dalam pribadi Kristus janji tentang kerajaan itu telah diwujudkan – meskipun tetap di dalam pengertian bahwa penggenapan akhirnya ada di masa yang akan datang.”
Petrus memiliki pandangan yang berbeda dengan kita dalam memandang zaman ini. Kita umumnya berpikiran bahwa masa sekarang ini adalah masa: zaman akhir. Namun Petrus menganggap masa di saat ia hidup sebenarnya sudah masuk ke dalam masa: hari-hari terakhir. Kis 2:15-17 (khotbah Petrus pada hari Pentakosta) menyebut kata ‘hari-hari terakhir’ yang di dalam bahasa Ibraninya ‘ach rey khen, yang berarti: setelah itu. Sehingga secara gamblang Petrus sebenarnya telah mengatakan bahwa mereka pada saat itu telah berada di dalam masa: hari-hari terakhir. Dan istilah ‘hari-hari terakhir’ ini mau menunjuk kepada suatu nuansa penggenapan. Di dalam surat Ibrani, penulis surat ini melihat kehadiran Kristus sebagai penggenapan eskatologis yang bersifat final. Banyak ayat-ayat di dalam PB yang menunjukkan adanya sebuah penantian mengenai datangnya suatu zaman yang akan datang sesudah zaman ini.
Penulis PB banyak mengungkapkan kepada kita bahwa kita saat ini telah hidup di ‘hari-hari akhir’ (sebagaimana yang Petrus ungkapkan), namun kita belumlah tiba kepada the last day-‘akhir zaman’ (‘hari-hari terakhir’ yang dinyatakan dalam bentuk tunggal). Kita seringkali justru terbalik di dalam mengerti hal ini. Kita berpikir bahwa kita sedang hidup di akhir zaman dan belum tiba pada hari-hari terakhir, justru sebaliknyalah yang diungkapkan oleh Alkitab, yaitu bahwa kita sedang tinggal dan hidup di dalam hari-hari terakhir namun belumlah tiba di dalam the last day yaitu akhir zaman (dimana semuanya akan digenapi).

Eskatology Masa Depan dan Masa Lalu
Eskatology PB juga merupakan eskatology yang melihat ke masa lalu dan bukan hanya melihat ke masa depan. Sehingga konsep eskatology yang kita miliki bukanlah eskatology yang berdiri sendiri di masa depan tanpa adanya kaitan dengan masa lalu dan masa sekarang. Namun seperti apakah kita dapat mengerti keterkaitan antara masa depan, masa sekarang dan masa lalu di dalam konteks eskatology?
Perjanjian Baru melihatnya demikian: yaitu setiap berkat yang kita terima dan nikmati di masa sekarang merupakan janji yang Allah suarakan di masa lalu. Dan berkat yang kita terima di masa sekarang ini menjadi jaminan yang pasti bagi tersedianya berkat di masa yang akan datang dalam cakupan yang jauh lebih besar. Sehingga pengertian kita akan ketiga realitas waktu ini tidaklah boleh terpisah dan berdiri sendiri. Iman kita bukanlah iman yang terpisah-pisah tanpa adanya hubungan antara masa lalu dan masa sekarang, demikian juga di masa depan. Iman kita adalah iman yang hidup yang bertumbuh dari masa lalu, sekarang, sampai pada kelimpahannya di masa depan. Hoekema memberi contoh seperti ini: Kedatangan Kristus merupakan penggenapan janji di masa lalu dan sekaligus suatu jaminan akan kedatanganNya yang kedua. Hal yang senada juga diungkapkan oleh para malaikat ketika para murid tak henti-hentinya melihat ke atas pada saat Kristus terangkat, “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga.” Dari sini kita melihat bahwa iman kita akan masa depan sangat berkait dengan apa yang Tuhan telah janjikan dan lakukan kepada kita di masa yang lalu. Jikalau Ia adalah Allah yang setia pada masa lalu, Ia juga adalah Allah yang setia pada masa depan.



fr
Dosa Turunan
(Manusia seharusnya menyadari keadaan mereka yang sebenarnya)
Manusia haruslah mengenal dirinya sendiri, pengertian ini sudah pernah diungkapkan di dalam prasasti yang berisi peribahasa pada kuil Apollo di Delphi (Yunani). “Kenallah dirimu”, demikian isi dari peribahasa tersebut. Mengenal diri menjadi suatu keharusan bagi manusia. Konsep mengenal diri yang dimaksudkan oleh peribahasa kuno itu memiliki perbedaan bila dibandingkan dengan konsep kristen tentang mengenal diri. Mengenal diri di dalam pengertian Calvin adalah berkaitan dengan mengetahui status dan keadaan manusia ketika ia dicipta oleh Tuhan sebelum peristiwa kejatuhan. Keadaan itu sedemikian mulianya dan membawa kita menyadari anugerah-Nya begitu besar bagi manusia ketika itu. Bila manusia tidak jatuh ke dalam dosa, maka betapa mulianya keadaan manusia saat itu. Keadaan yang penuh dengan kemuliaan ini juga membawa orang percaya menyadari bahwa segala yang mereka miliki bukanlah milik mereka sendiri, namun segala yang manusia miliki adalah milik Tuhan yang mencipta manusia. Kesadaran ini akan membuat manusia memiliki perasaan rendah hati di hadapan Tuhan, karena sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang dapat kita banggakan di hadapan-Nya.
Pengenalan diri ini sangat berkait dengan pengertian akan kapasitas kemampuan manusia. Mengerti kemampuan diri sendiri berarti mengerti terlebih dahulu ketidakmampuan yang manusia miliki. Jikalau manusia hanya mengerti kehebatannya dan kemampuannya saja, manusia akan begitu mudah jatuh kepada kesombongan yang juga merupakan penyebab Adam jatuh ke dalam dosa. Mengenal diri adalah pertama mengenal kemampuan kita di dalam ketidakmampuan yang kita miliki. Manusia yang menyadari kekurangan dan ketidakmampuannya akan lebih mudah rendah hati dibandingkan mereka yang tidak sadar kekurangannya. Yang sadar akan kekurangan dan ketidakmampuannya akan lebih mudah untuk taat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan dibandingkan dengan mereka yang tidak sadar kekurangannya. Kekurangan dan ketidakmampuan ini bukan hanya sekedar suatu kelemahan kepribadian atau sejenisnya, namun kekurangan ini berkait lebih erat kepada kesadaran akan keberdosaan yang manusia miliki di dalam dirinya.
Perenungan: Di dalam setiap keputusan di dalam hidup manusia, manusia senantiasa dipengaruhi oleh pengenalannya akan diri sendiri di dalam mengambil keputusan apapun (secara sadar atau tidak sadar). Misalkan dalam kasus memutuskan untuk menikah. Seseorang yang tidak menyadari kekurangannya dan kelemahannya akan merasa tidak perlu untuk menikah. Seorang yang merasa dirinya baik, tidak akan sadar bahwa dirinya membutuhkan orang lain untuk memperlengkapi hidupnya. Bahkan orang seperti ini, di saat memilih pasangan akan cenderung menetapkan standar yang mendekati sempurna, padahal ia sendiri tidaklah sempurna. Orang yang merasa dirinya baik dan tidak bermasalah, akan menuntut orang lain untuk lebih baik dari dirinya. Problem seperti ini akan menjadi tak terhindarkan bila seseorang tidak menyadari kekurangan dan ketidakmampuannya sendiri.
Berbeda halnya dengan seorang yang menyadari kekurangan dan kelemahannya dengan baik, ia tidak akan mudah untuk menuntut orang lain lebih baik dibanding dirinya sendiri. Sikap hati seperti ini juga sangat penting di dalam relasi antara manusia dengan Tuhan. Manusia yang sadar dirinya rusak, jahat, bersalah, dan berdosa akan lebih mudah meminta dan menerima pengampunan dari Tuhan dibandingkan orang yang hanya sadar akan kebaikannya sendiri. Kasus seperti ini dapat kita lihat pada kisah tentang doa orang Farisi dan pemungut cukai, dimana Allah memilih untuk menerima doa pemungut cukai ketimbang doa orang Farisi yang penuh dengan membanggakan diri.

Dosa Turunan
Keberadaan pohon tentang yang baik dan jahat dimaksudkan untuk menjadi pengujian bagi ketaatan Adam. Namun Adam gagal menunjukkan ketaatannya kepada Allah. Adam gagal menaati Allah karena ia tergoda untuk mendapatkan “kedudukan/posisi” yang lebih baik dari yang ia sudah terima sebelumnya. Maka Adam jatuh justru karena ia melihat ke “tempat yang lebih tinggi” dari posisi yang sudah ia miliki. Hal ini diungkapkan dengan baik oleh Pdt. Stephen Tong dengan istilah “jatuh ke atas”.
Keberdosaan Adam ini terjadi karena ia mau melepaskan diri dari kekuasaan Penciptanya. Sebelum kejatuhan, Adam memiliki relasi yang baik dengan Tuhannya, yang menjadi dasar dari kerohaniannya. Namun setelah kejatuhan, relasi persahabatan itu menjadi rusak dan menyebabkan kematian bagi jiwanya. Kejatuhan Adam yang berakibat kematian ini akhirnya diwariskan kepada seluruh keturunan Adam. Pelagius tidak menyetujui konsep dosa turunan yang dikemukakan oleh Calvin. Ia menawarkan suatu pengertian lain, yaitu keturunan Adam berdosa bukan karena mereka memiliki nenek moyang yang telah menjadi wakil bagi keberdosaan mereka. Namun manusia berdosa adalah karena manusia meniru keberdosaan Adam. Dalam hal ini Pelagius membedakan tindakan “meniru dosa Adam” dengan konsep keberdosaan yang diturunkan/ diwariskan. Jadi Pelagius memang menolak pengertian dosa yang diturunkan dari Adam.
Sedangkan posisi Calvin jelas dalam hal dosa yang diturunkan oleh Adam. Calvin berpendapat bahwa anak-anak pun (yang meski belum menghasilkan perbuatan berdosa) telah memiliki benih dosa di dalam diri mereka. Dari benih dosa ini, nantinya seorang anak akan bertumbuh menjadi manusia yang juga akan melakukan dosa di dalam hidupnya.
Kemudian Calvin membantah mereka yang memiliki konsep bahwa keberdosaan dan kecemaran manusia adalah merupakan pekerjaan Allah. Calvin memberikan pengertian yang berbeda dalam hal ini, yaitu keberdosaan manusia adalah memang dikarenakan “kedagingan” yang manusia miliki, dengan demikian dosa itu bukan berasal dari Allah, apalagi sampai mengatakan bahwa dosa itu diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini orang percaya harus berhati-hati dalam mengambil fokus perhatian mereka.
Perenungan: Allah memang “memakai” dosa untuk menggenapi rencana di dalam karya Kristus. Namun bukan berarti bahwa Allah berutang pada dosa, seolah-olah tanpa keberadaan dosa Allah tidak mampu menggenapi rencana-Nya yang mulia. Karena sebenarnya: kemuliaan tidaklah bergantung pada ketidakmuliaan. Kemudian, di dalam kasus “Allah menetapkan dosa” kita harus memfokuskan perhatian pada Karya Penyelamatan yang Kristus lakukan bagi orang-orang percaya, dan bukannya pada “keharusan akan adanya dosa”. Maka akan lebih tepat bila kita tidak hanya mengatakan bahwa “Allah menetapkan dosa”, namun yang lebih baik adalah bahwa Allah merencanakan Karya Penebusan yang akan dikerjakan oleh Kristus di dalam sejarah. Nada kalimat “Allah menetapkan dosa” dengan “Allah menetapkan Kristus hadir” adalah sangat berbeda, walaupun tidak berarti bahwa pengertian yang pertama adalah salah.
Kemudian kita perlu memperhatikan sikap berandai-andai yang tidaklah sepatutnya kita miliki sebagai seorang kristen yang saleh. Misalkan kita berandai-andai bahwa Allah seharusnya mencegah kejatuhan Adam dengan suatu cara tertentu, dengan demikian tentulah keadaan manusia akan lebih baik. Hal seperti ini tidak perlu dilakukan oleh orang percaya, karena memang pada faktanya adalah Allah tidak mencegah kejatuhan Adam. Sikap berandai-andai seperti ini dihindari oleh Calvin, dan ia menyebutnya sebagai sikap ingin tahu yang terlalu nekad.

Dosa dan Kebebasan Kehendak Manusia
Kalau dosa itu telah membelenggu jiwa manusia, apakah itu berarti bahwa manusia kehilangan seluruh kebebasannya dalam menentukan pilihan? Manusia sekarang dihadapkan kepada dua pilihan. Pertama, di dalam diri manusia tidak ada kebenaran sama sekali. Kedua, di dalam diri manusia masih ada kebenaran walaupun kebenaran itu tersisa hanya sedikit. Dari dua posisi ini ada konsekuensi yang berbahaya. Konsekuensi dari pemikiran yang pertama adalah manusia akan merasa bebas untuk tidak perlu mengejar kebenaran, karena memang kebenaran itu bukanlah urusan manusia dan memang manusia tidak memiliki kebenaran di dalam diri mereka. Akhirnya pemikiran ini melahirkan sikap tidak mau tahu kepada kebenaran. Sedangkan konsekuensi dari pemikiran yang kedua adalah, karena manusia masih memiliki kebaikan pada dirinya sendiri, maka pada hakekatnya manusia tidak membutuhkan pertolongan dan kehadiran Allah. Dengan pengertian ini, manusia dapat membenarkan diri untuk mengandalkan diri sendiri dan tidak perlu bergantung pada Allah, karena pada dasarnya manusia masih memiliki kebaikan. Dua respon ekstrim ini perlu kita koreksi dan kita hindari.

Pendapat para Filsuf mengenai Kebebasan Manusia
Para filsuf Yunani berteori bahwa manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian kemauan, bagian akal, dan bagian rasa indera. Posisi kemauan adalah di tengah-tengah dari akal dan rasa indera. Bila kemauan itu dikendalikan oleh akal, maka kemauan itu akan beroperasi dengan baik, namun bila kemauan itu dikendalikan oleh rasa indera maka kemauan itu akan melahirkan kejahatan. Mengapa bila kemauan dikendalikan akal akan baik adanya? Itu karena di dalam akal ada suatu daya pikir yang seperti pelita yang menerangi seluruh pertimbangan. Mengapa bila kemauan dikendalikan rasa indera maka akan melahirkan kejahatan? Karena di dalam rasa indera manusia tidak dapat menentukan kebaikan, karena rasa indera bersifat kabur dan tidak jelas.

Pendapat para Bapa Gereja Terdahulu
Calvin menyebutkan bahwa posisi para bapa gereja agaklah ambigu dalam menanggapi pendapat para filsuf. Namun ia mengambil Origenes sebagai contoh yang mewakili para bapa Gereja. Origenes berpendapat bahwa kemauan yang tunduk pada akal memang akan menghasilkan sesuatu yang baik. Hal itu dimungkinkan karena akal dapat membedakan mana yang jahat dan mana yang baik. Kemudian Origenes menambahkan bahwa kebenaran yang berhasil manusia peroleh hanyalah semata-mata karena anugerah Tuhan saja. Kebenaran itu juga dapat manusia mengerti karena manusia itu telah dilahirkan kembali. Berikutnya, kebebasan manusia haruslah berdasarkan kepada prinsip ketaatan kepada hukum Tuhan.

Pendapat Calvin terhadap Bapa-bapa Gereja
Calvin berpendapat bahwa kehendak bebas manusia tidak akan menghasilkan kebaikan bila tidak ditopang oleh anugerah Allah yang bekerja bagi orang tersebut. Anugerah ini akan bekerja hanya kepada mereka yang telah dilahirbarukan. Kalau pun harus ada istilah “kebebasan manusia” itu hanya mengarah pada: manusia bebas untuk berbuat kejahatan, dan bukannya berbuat kebaikan. Karena itu Calvin sebenarnya ingin menghindari istilah itu, karena istilah itu dianggapnya suci namun mengapa pada kenyataannya kebebasan itu justru mengarah kepada kejahatan.
Augustinus menamakan “kehendak” sebagai “budak”. Ia mendefinisikan kemauan manusia tidaklah bebas tanpa Roh Allah.
Dalam menanggapi pendapat para Bapa Gereja, Calvin masih merasa tidak puas kepada pendapat-pendapat yang bermunculan. Karena ia memandang pendapat-pendapat tersebut tidaklah jelas dan berubah-ubah. Namun Calvin menyatakan keberbedaan pendapatnya dengan begitu rendah hati, demi kepentingan orang-orang saleh.