Selasa, 02 September 2014

Christianity and Culture

Masa Transisi Modern-Postmodern di Indonesia
Di dalam masa transisi antara zaman modern ke zaman postmodern, kita mendapati bahwa kekristenan memiliki suatu cara yang unik di dalam melakukan pendekatannya terhadap dunia. Pendekatan yang dilakukan dengan memberikan suatu pembuktian yang valid terhadap realita iman kristen dirasakan masih berfungsi untuk diterapkan di dalam zaman kita di Indonesia. Namun bila kita memperhatikan spiritualitas yang berkembang diantara kebanyakan orang di Indonesia, spiritualitas yang dominan adalah spiritualitas yang bercirikan spiritualitas postmodern, yaitu dimana manusia sedang berusaha mencari suatu arti, makna, dan kerohanian ke dalam diri mereka sendiri. Hal ini sudah menjadi suatu ciri yang mengakar pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
            Orang Jawa berusaha mengembangkan suatu kerohanian yang “melihat” ke dalam diri sedalam-dalamnya dari batin mereka. Sehingga untuk mendapatkan pengalaman “bersama dengan Tuhan” mereka mengusahakan suatu gaya hidup yang tenang, bersemedi, berdoa dan mengintrospeksi diri sebagai suatu cara untuk meningkatkan kerohanian. Dari dua kenyataan ini, dimana Indonesia masih berada di dalam bayang-bayang dunia “modern” secara konsep pikir dan berada di dalam spiritualitas postmodern, maka tidaklah mudah untuk melakukan diskusi dengan mereka. Karena secara tidak sadar atau sadar, mereka selalu menuntut suatu pembuktian yang logis terhadap iman kristen, sedangkan sebenarnya mereka sendiri menjalani suatu spiritualitas yang tidak bersesuaian dengan konsep pikir modern yang mereka miliki. Disinilah kekristenan mendapatkan suatu tantangan yang unik yang tidak biasanya dihadapi.
            Bila “musuh” kekristenan adalah konsep pikir modern, maka pendekatan yang dapat kekristenan lakukan adalah jelas, yaitu dengan memberikan suatu argumen yang kuat yang bersifat analitis dan masuk akal. Demikian juga bila kekristenan menghadapi postmodern, kekristenan dapat melakukan pendekatan dengan menyuarakan klaim-klaim iman/ kebenaran yang dimiliki, karena sebenarnya setiap klaim/ argumen-argumen memiliki kesamaan validitas. Sebagaimana diungkapkan oleh Sire, “Dengan postmodern ini, tidak ada satu kisah tertentu yang memiliki lebih banyak kredibilitas dibandingkan dengan kisah lain manapun. Semua kisah sama-sama absahnya.”[1] Namun akan menjadi agak rumit bila kekristenan menghadapi komunitas yang “abu-abu” dimana konsep pikir mayoritas adalah modern sedangkan spiritualitas yang berlaku adalah postmodern.
            Saya berharap observasi yang saya lakukan kali ini, dapat memberikan suatu solusi terhadap permasalahan semacam ini. Saya akan terlebih dahulu memberikan pengenalan/ pengantar terhadap realita masyarakat Indonesia, terkhusus masyarakat Jawa. Kemudian mencoba mencari posisi untuk bisa melakukan pendekatan terhadap realita yang ada berkaitan dengan kekayaan iman kristen yang ada.

Observasi Franz M. Suseno terhadap realitas orang Jawa
"Suatu pertemuan hanya akan berhasil apabila merupakan komunikasi dua arah. Yang memberi sekaligus menerima, dan yang menerima sekaligus memberi. Begitu pula pertemuan antara Injil dengan sebuah kebudayaan hanya berhasil apabila terjadi komunikasi dua arah."[1] Demikianlah kalimat pembuka dari Franz Magnis Suseno pada tema Religiositas Jawa dan Injil.
Orang jawa memiliki konsep "kesatuan dengan Tuhan" yang cukup kuat. Konsep itu terbentuk salah satunya dari kisah Dewaruci. Dimana Bima (seorang pengembara yang mencari air hidup) bertemu dengan Dewaruci (Penjelmaan Yang Maha Kuasa-dengan wujud mirip Bima), dan Bima masuk ke dalam batin Dewaruci, disitulah Bima bertemu dengan Yang Ilahi dan bersatu denganNya (manunggaling kawula Gusti).
Peristiwa kesatuan dengan Tuhan ini terjadi di saat manusia masuk ke dalam semedi dan tapa. Pertemuan ini terjadi ketika manusia masuk ke kedalaman batinnya sendiri. Franz Magnis mengungkapkan demikian, "Adalah keyakinan paling mendalam religiositas Jawa bahwa manusia pada dasar dirinya mencapai dasar dari segala-galanya: pada dasar suksmanya manusia sampai pada Hyang Suksma. Dengan tembus sampai pada dasar dirinya yang sebenarnya manusia sampai pada tujuan hidupnya, persatuan dengan asal-usulnya sendiri (sangkan paraning dumadi), dengan Yang Ilahi. Ia mencapai 'kesatuan hamba Tuhan' (manunggaling kawula Gusti)."
Konsep persatuan dengan Tuhan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa memang mempermudah kekristenan untuk dapat masuk dan diterima oleh orang Jawa. Pendekatan yang dapat dilakukan oleh orang kristen terhadap orang Jawa bukanlah dengan cara memberikan suatu penegasan yang bersifat teoritis, apalagi dengan menggunakan cara berdebat. Hal ini dikarenakan orang Jawa sangat menghargai keharmonisan dalam berelasi.
Unsur berikutnya yang perlu diperhatikan untuk membawa Injil dapat diterima oleh orang Jawa adalah unsur perasaan. Orang Jawa menginginkan bahwa agama itu dapat dialami dan dirasakan secara mendalam. Itu sebabnya Franz Magnis memberikan masukan bagi kekristenan untuk dapat mengembangkan dimensi yang bersifat kebatinan. Dimensi yang ia maksudkan adalah suatu peristiwa yang terjadi di dalam hati manusia. Sebagai contoh, orang kristen mengajarkan untuk dapat berdoa di dalam hati, dimana di dalam doa tersebut seseorang dapat merasakan kehadiran Allah di dalam dirinya. Demikian juga orang kristen katolik memiliki tempat-tempat yang tenang untuk berdoa dan bersemedi, di tempat itulah mereka dapat lebih merasakan kehadiran Tuhan di dalam hati mereka.
Hal kedua yang menjadi penekanan Franz Magnis adalah kekristenan perlu mengembangkan dimensi liturgi. Dimensi liturgi yang ia maksudkan adalah suatu bentuk ibadah yang berkaitan dan menggunakan simbol-simbol seperti dupa, patung, gambar-gambar, jalan salib, dan sejenisnya. Karena melalui simbol-simbol inilah (menurut pengamatannya) Tuhan dapat terhubung dengan pengalaman manusia. Barangkali hal inilah yang menyebabkan Katolik dapat lebih mudah diterima oleh orang Jawa dibandingkan dengan kekristenan Ortodox. Karena banyak praktek dalam kekristenan yang berusaha untuk menanggalkan segala simbol-simbol yang tidak perlu dalam agamawi.
Hal berikutnya yang dapat membuat Injil lebih mudah diterima oleh orang Jawa adalah bila orang Kristen yang memberitakan Injil itu juga memiliki kesaksian hidup yang baik, terkhusus di dalam hal cinta kasihnya kepada sesama. Tanpa kasih yang sejati, pekabaran Injil hanyalah menjadi slogan yang tidak jujur. Namun bila Injil diberitakan dengan kasih, maka hal itu akan sungguh-sungguh menjadi perwujudan kasih seorang kristen terhadap Tuhan dan sesama.
Ada beberapa problem yang perlu dipikirkan orang-orang kristen ketika berhadapan dengan konsep-konsep orang Jawa yaitu: Pertama, kebudayaan bersemedi dan bertapa yang dilakukan oleh orang Jawa memiliki kecenderungan makna bahwa manusia yang mampu berkonsentrasi dengan baik dan kuat di dalam semedi-lah yang akan dapat bertemu dan merasakan Tuhan. Hal ini bertentangan dengan teologi kristen dimana yang diterima Tuhan bukanlah mereka yang kuat namun mereka yang lemah dan mau berserah kepadaNya. Karena keselamatan itu adalah tergantung kepada Tuhan dan bukannya kepada manusia yang lemah.
Kedua, orang Jawa tidak terlalu memikirkan konsep dosa dan kebersalahan manusia kepada Tuhan. Konsep kebersalahan yang mereka miliki adalah sejauh yang diungkapkan Franz Magnis, “Orang Jawa percaya bahwa kita tidak dapat meningal dengan lancar apabila masih ada orang yang dendam dengan kita.”[2] Maka konsep kebersalahan mereka terhadap Tuhan tidaklah terlalu kentara. Ini yang membuat Injil perlu menegaskan tentang arti keberdosaan manusia terhadap Tuhan. Melalui Injil, orang Jawa dapat mengerti kecenderungan mereka yang menutup-nutupi kesalahan, dan mendorong mereka untuk terbuka dan mengaku diri mereka berdosa adanya di hadapan Tuhan.

Implikasi dari Pemikiran Suseno
Apabila observasi yang dilakukan Franz M. Suseno cukup mewakili bagi realitas masyarakat Jawa, maka ini berarti masyarakat Jawa memiliki “dimensi” perasaan/ sense yang lebih kuat daripada dimensi rasio. Walau bukan berarti orang Jawa adalah orang-orang yang tidak menggunakan rasio. Namun diantara kedua kecenderungan yang dimiliki, kecenderungan mereka lebih banyak mempergunakan aspek-aspek yang berkait dengan fungsi senses. Bila demikian, kekristenan dapat masuk dengan lebih mudah ke aspek-aspek spiritualitas yang mereka miliki dengan menawarkan suatu kerohanian yang alkitabiah dibandingkan dengan menawarkan suatu konsep pikir kristen yang kuat. Namun tidak kemudian pendekatan ini dapat kita jadikan suatu cara yang selalu dapat dipakai ketika kita melakukan pendekatan terhadap orang Jawa. Karena diantara mereka dapat saja ada orang-orang yang masih mengutamakan suatu argumen yang kuat dan masuk akal sebelum mereka dapat menerima sesuatu yang dinamakan “kebenaran”.

Peran bahasa dalam memperkembangkan kekristenan
Sebagaimana bahasa adalah milik dari semua orang, demikian juga Kekristenan adalah milik dari semua orang. Adam English menuliskan, “Christianity open to all people; anyone can ‘join.’ The message is not owned by any one person or group; it is free to all who have ears to hear and tongues to speak.”[3] Jikalau kekristenan menyadari hal ini dan menggunakan pendekatan ini untuk ‘memasukkan’ story kristen ke dalam dunia, maka kekristenan memiliki kesempatan yang besar untuk dapat diterima oleh dunia. Namun sangat disayangkan, para theolog kristen lebih memilih jalan arogansi, dengan menyatakan dan berkata-kata seolah-olah kekristenan hanyalah milik dari sekelompok kaum minoritas yang unggul di dalam hal moral, doktrin, dsb, yang pada akhirnya membuat kekristenan hanya ‘bermain’/ mempengaruhi sesama lapisan kristen dan sulit untuk menembus lapisan yang belum kristen.
            Demikian juga kekristenan membutuhkan suatu language yang kuat yang dapat bersaksi kepada dunia tentang iman yang mereka miliki. Namun untuk memiliki language yang kuat, orang kristen membutuhkan suatu latihan, seperti bahasa dipelajari oleh seorang anak-anak maupun seorang dewasa, demikianlah language yang mewakili kekristenan membutuhkan waktu untuk dipelajari oleh seorang kristen. English mengungkapkannya dengan cara demikian, “With time and devotion and the Spirit’s nurturing help, the learner becomes competent in the language.”[4] Melalui kemampuan untuk berbahasa inilah (dimana di dalamnya ada grammar, repetition, vocabulary) seorang kristen dapat mengungkapkan klaim-klaim kristennya dengan jelas kepada dunia. Sebagaimana corak spiritualitas zaman kita yang diwarnai dengan postmodern, maka klaim-klaim tersebut akan memberikan suatu alternatif yang kuat untuk dipertimbangkan sebagai pilihan di dalam bagaimana seseorang menentukan imannya.
            Maka untuk dapat menjadikan kekristenan sebagai story yang kuat dan dapat dipertimbangkan oleh suatu komunitas sebagai pilihan yang unggul, kekristenan perlu menampilkan kekayaan yang ada di dalamnya dengan menggunakan language yang powerfull dan memadai. Dengan demikian, kekristenan tidak perlu menjadi takut untuk melakukan engagement dengan berbagai pandangan di zaman ini. Asalkan kita memiliki rangkaian argumen yang baik dan memadai dengan story yang kuat di dalamnya, maka kita dapat memberikan suatu perubahan di dalam mindset dan believe manusia. Namun semua itu membutuhkan suatu kedisiplinan dan ketekunan dalam mempertumbuhkan talent yang Tuhan sudah berikan kepada setiap orang kristen. Disinilah peran language dalam memberikan kontribusi bagi berkembangnya kekristenan di zaman kita.
            English menganalogikan kekristenan dengan language, yang mana akan berfungsi ketika hal itu dibagikan kepada sesama. Christian faith that is never expressed or communicated or matured soon disintegrates and disappears.”[5] Demikian English menggambarkannya. Ketika iman kristen itu tidak pernah dibagikan kepada suatu komunitas (baik itu di dalam gereja ataupun diluar gereja) maka iman itu akan lama-kelamaan hilang dan lenyap. Dengan kondisi yang seperti ini, kita menjadi merasa perlu untuk membagikan iman kristen kita kepada orang lain. Bukan hanya demi orang lain mendapatkan berkat dan pengaruh yang baik dari iman tersebut, tetapi juga agar iman itu tidak menjadi mati karena hanya berdiam dan tidak bertumbuh di dalam diri kita.
            Namun kita perlu melihat adanya suatu reduksi yang mungkin terjadi di dalam kita  menganalogikan secara mutlak kaitan antara kekristenan dan bahasa. Karena sebenarnya kekristenan tidak dapat dianalogikan dengan satu model yang mewakili keseluruhan ‘wajah’ kekristenan. Ketika kita berkata bahasa akan sangat membantu untuk memasukkan kekristenan ke dalam kebudayaan, kita hendaknya tidak lupa bahwa bahasa dapat saja hanya menjadi suatu permainan atau ‘perhiasan’ yang menipu atau tidak mewakili diri kristen yang sebenarnya. Bahasa dapat menjadi suatu retorika yang persuasif tanpa disertai oleh Spirit yang mengisi kekristenan tersebut. Dan inilah salah satu kebahayaan seorang kristen yang mengembangkan retorikanya dengan baik, namun tidak memperdulikan content yang sejati dari kekristenan. English mengungkapkannya demikian, “I did not play games with you or trick you with rhetoric. The kingdom of God is not built on words, but actions. Christianity is not so many words, but power and reality.”[6]Betapa kita mudah tertipu dengan kemampuan retorika yang sepertinya meyakinkan dan menarik, namun belum tentu memiliki konten yang sejati yang dapat mewakili kekristenan.  Disinilah kita membutuhkan suatu power dari Roh Kudus di dalam kita memakai language yang kita miliki. Sehingga di dalam kita memberikan suatu kesaksian kepada orang di sekita kita, kesaksian itu tidak kemudian menjadi suatu argumen yang tidak berdaya, yang tidak menyentuh hati manusia. Namun dengan dipimpin dan disertai Roh, sound dari language yang kita keluarkan akan dapat menggema di dalam hati manusia.
            Kita juga perlu berhati-hati dengan language yang kita kuasai dan pakai di dalam kita melakukan deal dengan dunia. Karena iman kristen bukanlah suatu produk dari pikiran manusia. Iman kristen bukanlah sekedar suatu konsep pikir semata.  Iman kristen itu adalah suatu pemberian dari Tuhan yang beranugerah kepada manusia. English mengkuatirkan analogy language akhirnya membawa manusia terjebak ke dalam suatu aksi yang salah terhadap divine reality. Karena itu hendaknya kita sadar, bahwa language yang kita pakaipun dapat menjadi suatu reduksi bagi iman kristen, bila kita menganggap kekristenan sudah dapat terwakili secara penuh hanya dari analogy bahasa.

Kesadaran yang kita butuhkan
Kekristenan yang telah memiliki kekayaan di dalam story, dan telah memiliki kemampuan di dalam language, tetap perlu memperhatikan spirit yang mendominasi di dalam dunia atau suatu komunitas. Berhubung cara pikir yang mendominasi zaman kita masihlah suatu cara pikir yang bersifat scientific, maka kita perlu memperkuat aspek analitis di dalam cara berpikir. Ini dikarenakan zaman kita di Indonesia masih mengejar suatu kemajuan/ pencapaian di dalam banyak aspek, terkhusus di dalam hal ekonomi dan teknologi. Maka pikiran yang didominasi oleh scientific tidak dapat dihindarkan di zaman kita. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Michael W. Goheen, “Scientific reason was to be universal, to transcend human culture and history, to discern such law as are true for all people at all times.”[7]Maka untuk dapat membawa manusia modern mau memperimbangkan iman kristen, kita perlu mempelajari sejarah pemikiran berkembangnya dunia modern. Hal-hal apa yang menjadi “tuhan” di dalam zaman tersebut dan mengapa. Kemudian kita menghadirkan kekristenan sebagai alternatif yang masuk akal dan logis dengan menyertakan pembuktian iman kristen tersebut di dalam realita. Dengan begini, manusia tidak menganggap bahwa iman kristen adalah iman yang abstrak dan dipenuhi mitos-mitos tidak masuk akal, walaupun memang ada unsur yang tidak masuk akal di dalam iman tersebut, namun belumlah saatnya kita membukakan “jati diri” keseluruhan dari iman kristen kepada dunia. Melalui cara-cara seperti ini, kita belajar bagaimana berbijaksana di dalam menjadi saksi bagi Kristus dan bagi iman yang kita miliki.
            Sambil kita membangun suatu konsep pikir yang valid dan kehidupan iman yang bertumbuh, kita hendaknya selalu mengingat bahwa seluruh usaha kita tidak hanya perjuangan intelektual semata, sebagaimana English mengungkapkan, “The Christian faith is not the product of human minds, but the gift of the almighty’s revelation and grace.”[8]


[1] Franz Magnis Suseno, Beriman dalam Masyarakat, pp. 193.
[2] Franz Magnis Suseno, Beriman dalam Masyarakat, pp. 205.
[3] Adam C. English, Theology Remixed, pp. 80.
[4] Ibid., pp. 81.
[5] Adam C. English, Theology Remixed, pp 83.
[6] Adam C. English, Theology Remixed, pp. 84.
[7] Michael W. Goheen and Craig G. Bartholomew, Living at the Crossroads, pp. 93.
[8] Adam C. English, Theology Remixed, pp. 84.



[1] James W. Sire, Semesta Pemikiran: Sebuah Katalog Wawasan Dunia Dasar, pp. 232.

Pandangan Kekristenan mengenai Aborsi

Isu mengenai aborsi adalah isu yang hampir tidak bisa dihindari dalam permasalahan hidup di zaman modern ini. Kasus aborsi bukan hanya menjadi pergumulan dari para pemuda-pemudi yang melakukan free sex, namun juga merupakan hal yang umum yang dihadapi oleh pasangan suami-istri baik yang kristen maupun yang bukan kristen. Adalah suatu rahasia umum bahwa orang kristen pun melakukan aborsi bahkan saat mereka sudah berada di dalam status menikah. Perbedaan sikap mengenai isu ini didasarkan pada sedikitnya tiga argumen dasar.
            Pertama, argumen yang mengatakan bahwa janin yang berada di dalam kandungan ibu hanyalah bentung perpanjangan dari tubuh/ bagian tubuh dari ibu. Sehingga dari argumen ini, aborsi dapat dilakukan kapan saja sekehendak pemilik tubuh itu, yaitu si ibu. Sikap ini didukung dengan alasan yang mendasarkan pentingnya kualitas hidup seseorang (baik kualitas hidup pasangan tersebut atau kualitas hidup calon manusia tersebut). Bila kelahiran bayi itu akan memperburuk kualitas hidup pasangan ini dan bayi ini, maka aborsi diijinkan. Pengambilan sikap ini semakin diperkuat dengan pembelaan kepada hak-hak ibu, yaitu bahwa ibu memiliki kebebasan pribadi yang jauh lebih penting dari pada hak hidup janin.
Kedua, argumen yang mengatakan bahwa janin yang berada di dalam kandungan ibu masih berpotensi untuk menjadi manusia, dan belum merupakan manusia yang utuh. Maka sikap yang diambil dari pandangan ini adalah aborsi dapat dilakukan kadang-kadang tergantung seberapa kuat pertimbangan antara hak ibu dan hak hidup bayi yang diputuskan oleh pasangan tersebut.
Ketiga, argumen yang berpendapat bahwa janin yang di dalam kandungan ibu sudah merupakan manusia yang utuh. Maka tindakan aborsi dianggap sebagai suatu tindakan pembunuhan yang menghancurkan kebebasan hidup manusia. Pandangan ini membela nilai hidup jauh lebih tinggi dari kebebasan hak ibu. Ibu tidak bisa memutuskan aborsi seberapa tidak relanya ia memiliki anak, karena hak hidup bayi itu jauh lebih tinggi dari pada hak kebebasan individu yang dimiliki oleh ibu.
Dari ketiga argumen ini, ada hal yang cukup unik berkaitan dengan posisi hak ibu yang dibenturkan dengan hak hidup janin. Kita dapat saja berpikir, mengapa seorang ayah tidak terlalu dilibatkan di dalam benturan kepentingan antara hak ayah dengan hak janin? Maka tindakan aborsi cenderung adalah tindakan yang diputuskan oleh ibu ketimbang oleh ayah. Di dalam kasus aborsi yang diputuskan oleh pasangan kristen yang sudah menikah, maka tindakan itu akan cenderung diambil oleh pihak istri ketimbang pihak suami. Hal ini memang senada dengan apa yang Tuhan bebankan kepada seorang wanita ketika Hawa berbuat dosa terhadap Allah. Yaitu bahwa wanita akan “menderita” berkaitan dengan mengandung dan melahirkan. Maka adalah hal yang sangat manusiawi bila seorang wanita takut mengandung dan takut melahirkan. Karena memang di dalam aktifitas itu, ada suatu “penderitaan” yang Tuhan memang berikan kepada mereka. Namun yang menjadi kendala bagi seorang ibu adalah: penderitaan di dalam melahirkan akan berbenturan dengan perintah Tuhan untuk beranak cucu dan memenuhi bumi.
Dari sini sebenarnya kita bisa memperhatikan, bahwa keputusan untuk memiliki sejumlah anak di dalam suatu pernikahan seringkali dikaitkan dengan keengganan seorang ibu untuk melahirkan dan memelihara anak daripada keengganan seorang ayah untuk memiliki anak. Para ibu enggan melahirkan dan enggan memelihara anak, padahal Tuhan memang memberikan panggilan/ beban itu keatas pundak para ibu. Laki-laki Tuhan panggil untuk bekerja “di luar” dan berkeringat di dalam pekerjaannya, sedangkan wanita, Tuhan panggil untuk memelihara dan membesarkan anak, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan maintenance dan “pemeliharaan dari dalam”. Maka wanita tidak dipanggil untuk fighting di luar rumah, dan laki-laki tidak dipanggil untuk maintenance di dalam rumah. Semua ordo ini telah Tuhan tetapkan demi kebaikan manusia sendiri. Namun manusia suka melawan apa yang Tuhan sudah atur untuk manusia jalankan, dan memilih jalan mereka sendiri. Sehingga pada akhirnya masyarakat kita memiliki penyakit serius, yaitu: problem “wanita karier” dan problem “bapak rumah tangga”. Semua ini adalah penyimpangan yang berakibat fatal. Namun kita tidak akan membahas hal ini terlalu melebar.
Argumen yang berpandangan bahwa janin merupakan bagian tubuh manusia didasarkan pada beberapa bagian dari Alkitab. Antara lain Kejadian 2:7, Ayub 34:14-15, Yesaya 57:16 yang menyatakan bahwa suatu kehidupan dimulai ketika orang tersebut diberikan napas/ bisa bernapas. Maka janin-janin tersebut belum merupakan manusia karena janin itu belumlah bisa bernapas. Kemudian Matius 26:24 menyatakan, “lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.” Kalimat ini mengimplikasikan bahwa manusia menjadi manusia ketika ia dilahirkan. Karena Yesus tidak mengatakan, “lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dikandung.” Bagaimana kita memandang argumen seperti ini?
Dukungan bagi aborsi mendapat “angin segar” dengan ditambahkannya argumen: kesadaran diri (janin belumlah sadar diri), ketergantungan fisik (janin adalah perluasan tubuh sang ibu), keselamatan ibu (kalau aborsi tetap dilarang, akan terus bermunculan aborsi ilegal yang justru membahayakan banyak ibu karena aborsi ilegal tidaklah hiegenis), argumentasi penyiksaan (anak yang tidak diinginkan kelahirannya akan selalu mendapatkan tindakan penyiksaan dari orang tua), argumentasi cacat (negara harus melahirkan anak-anak yang sehat dan berguna demi kelangsungan suatu bangsa), argumenasi pemerkosaan (tidak ada seorangpun yang boleh melarang seorang yang diperkosa untuk mengaborsi anaknya, orang yang berani melarang adalah orang yang tidak bermoral dan mendukung kasus pemerkosaan).
Setiap argumen yang disampaikan oleh mereka yang pro-choice sepertinya memiliki alasan yang sangat logis. Namun sebelum kita segera menerima atau menolak hal ini, kita tetap perlu mempertimbangkan nilai-nilai yang harus dipertahankan di dalam kasus-kasus yang berbeda. Karena yang sering terjadi adalah: nilai tertentu tidak dapat dipertahankan di dalam setiap kasus. Orang yang mempertahankan pro-life, bila menghadapi kasus pemerkosaan dan berakibat dirinya hamil, tidak dapat mempertahankan dirinya sebagai pro-life. Atau seorang ibu yang memiliki anak perempuan yang diperkosa kemudian hamil, apakah masih dapat berada di posisi pro-life bersamaan ia melihat anak perempuannya hari demi hari semakin seperti orang gila (karena sakit mental mengandung anak haram hasil pemerkosa yang bejat). Maka sebagai orang kristen kita harus berhati-hati di dalam mengambil posisi. Janganlah posisi yang kita ambil hanya memberatkan orang lain yang sebenarnya posisi itu tidak rela kita pikul bila kita yang menjadi korbannya.
Di dalam argumentasi: janin berpotensi menjadi manusia dan belum sebagai manusia, membenarkan tindakan aborsi bila memiliki alasan yang cukup memadai. Argumentasi ini didukung oleh anggapan bahwa manusia baru disebut manusia bila kepribadiannya sudah berkembang dan mandiri. Dimana ia sudah berinteraksi dengan orang lain dan kepribadiannya berkembang secara berangsur-angsur. Argumen ini mengambil analogi biji pohon Ek dan telur ayam. Dimana biji pohon Ek bukanlah pohon Ek, dan telur ayam bukanlah telur ayam, maka janin bukanlah manusia dan hanya berpotensi menjadi manusia. seperti biji pohon Ek berpotensi menjadi pohon Ek demikianlah juga janin berpotensi menjadi manusia dan belum menjadi manusia. Namun semua pandangan ini memiliki kelemahan yang terbantahkan (tidak akan diuraikan panjang lebar).
Kita bersyukur Alkitab berpandangan berbeda dengan pandangan yang manusia bangun demi kepentingannya sendiri. Alkitab kita memberikan nilai tertinggi kepada kehidupan. Di bawah ini akan diberikan beberapa argumentasi yang membela status janin sebagai benar-benar manusia:
1.      Bayi-bayi yang belum dilahirkan disebut “anak-anak” (Lukas 1:41, 44; 2:12, 16; Kel 21:22).
2.      Bayi yang belum lahir diciptakan oleh Allah (Maz 139:13).
3.      Jenis kelamin “pria-wanita” ditentukan pada saat pembuahan. Sedangkan “pria-wanita” mewakili gambar Allah (Kej 1:27).
4.      Anak-anak yang belum dilahirkan sudah memiliki karakteristik pribadi manusia, yaitu berdosa (Maz 51:5).
5.      Alkitab menggunakan kata ganti orang untuk menjelaskan bayi-bayi yang belum dilahirkan (Yer 1:5; Mat 1:20-21).
6.      Bayi yang belum lahir sudah dikenal oleh Allah (Maz 139:15-16; Yer 1:5).
7.      Bayi-bayi yang belum dilahirkan sudah dipanggil Allah sebelum mereka dilahirkan (Kej 25:2-23; Hak 13:2-7).
Bukan hanya Alkitab kita yang mendukung pandangan bahwa janin adalah seutuhnya manusia, para ahli ilmu pengetahuan sudah mengadakan kongres di Amerika Serikat dengan hasil:
“Kami menerima fakta bahwa ketika terjadi pembuahan, maka muncullah seorang manusia baru, hal ini bukanlah suatu pendapat. Natur manusia yang dimulai dari saat pembuahan sampai kepada usia lanjut bukan merupakan suatu perdebatan fisik, ini merupakan bukti eksperimental yang nyata.” (Jerome LeJeune).[1]
“Sekarang kita dapat mengatakan dengan sangat jelas bahwa masalah kapan dimulainya kehidupan tidak lagi merupakan masalah perselisihan teologi atau filsafat. Ini merupakan suatu fakta ilmiah yang sudah mapan. Para ahli teologi dan filsafat boleh saja memperdebatkan arti kehidupan atau tujuan hidup, tetapi merupakan suatu fakta yang sudah mapan bahwa semua kehidupan, termasuk hidup manusia, dimulai pada saat pembuahan.” (Dr. Hymie Gordon).[2]
            Pandangan yang ditawarkan oleh Kekristenan bukannya tidak ada bantahan, tapi setiap bantahan yang dikembalikan kepada Kekristenan selalu ingin mencoba membela pandangan mereka yang humanistis. Kita membangun argumen bukan berdasarkan kepentingan humanisme, kita membangun argumen berdasarkan Kebenaran yang telah Allah wahyukan, yang hari demi hari dikuatkan oleh pembuktian ilmiah. Kiranya Tuhan memberkati setiap studi kita di dalam mengerti banyak kasus.



[1]  Subcommittee on Separation of Powers, report to Senate Judiciary Committee S-158, 97th Congress, 1st session, 1981.
[2]  Ibid.

Spiritualitas di dalam Pendidikan Kristen

Spiritualitas di dalam Pendidikan Kristen
Saat ini orang-orang diluar gerejapun membicarakan tema spiritualitas. Maka disini kita menghadapi kebahayaan dari apa yang dinamakan counterfeit. Counterfeit adalah tiruan dari iman. Kebenaran itu sekarang dicounterfeit-kan, untuk menghasilkan sesuatu yang tidak asli namun mirip dengan aslinya. Tema counterfeit ini sudah terjadi di Kejadian 3, yaitu diawal peristiwa manusia jatuh ke dalam dosa.
            Kita sekarang kesulitan untuk membedakan antara iman dengan yang bukan iman. Sedangkan spiritualitas di dalam Kristus itu harus dibicarakan berkaitan dengan iman di dalam Allah Tritunggal. Diluar itu, spiritualitas kita adalah spiritualitas counterfeit. Mengapa kita perlu berbicara mengenai tema spiritualitas di dalam kaitannya dengan pendidikan Kristen? Yaitu karena dunia kita sedang mengerjakan hal ini dengan suatu pendekatan yang berbeda/ counterfeit terhadap iman kristen. Itulah sebabnya kita perlu menegakkan kembali pendidikan Kristen yang berbasiskan pada spiritualitas di dalam Allah Tritunggal.
Ketika manusia sudah jatuh ke dalam dosa, maka manusia mengalami separasi yaitu keterpisahan satu dengan yang lainnya didalam diri manusia itu sendiri. Namun apakah ini ajaran yang alkitab ingin sampaikan? Ternyata tidak, alkitab tidak mengajarkan hal seperti ini. Kalau begitu apa itu spiritualitas? Spiritualitas itu berbicara tentang: Relasi dengan Tuhan Allah. Relasi tersebut berbicara tentang hubungan antara Allah dengan saya sebagai manusia. Maka dari itu tema spiritualitas bukanlah berbicara tentang tension antara body and soul. Itu bukanlah tema yang dibicarakan di dalam spiritualitas kristen. Tema mengenai relasi/ hubungan Tuhan dengan saya menjadi tema yang mendasar di dalam spiritualitas.

Tantangan Pendidikan Modern dan Versi Pendidikan Kristen yang Kritikal
Area pendidikan adalah hal yang penting untuk digarap melihat adanya persimpangan antara dua kebudayaan yaitu biblical culture and modern culture. Seorang murid kristen seharusnya dapat menjadi saksi yang setia dari Injil walaupun ia terlibat dalam suatu budaya yang memiliki story yang berbeda dari story yang mereka yakini. Perhatian Goheen terarah pada bagaimana seorang murid kristen terlibat dalam suatu perkembangan budaya namun tetap menjadi seorang kristen yang setia pada Injil.
Pendidikan kristen mendapatkan ketegangan dari sistem pendidikan modern (Enlightenment). Dimana sistem pendidikan ini tidaklah dibangun dari pemahaman akan worldview kristen. Pendidikan yang sedang menjadi trend adalah pendidikan yang mempersiapkan siswanya dalam memasuki suatu keadaan sosial yang humanis, mengedepankan kebebasan, dan mementingkan nilai kemakmuran material. Sistem seperti ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan kristen yang dibangun di atas dasar kebenaran Firman Tuhan. Sistem Enlightenment tidak mementingkan suatu yang bersifat religius, karena bagi mereka hal-hal tersebut adalah netral. Maka mereka memisahkan pendidikan dengan hal-hal yang bersifat religius. Kemudian mereka berusaha menekankan pada fungsi rasio dalam pendidikan, dan hal ini sebenarnya adalah suatu pemujaan terhadap rasio. Dengan begitu tidak ada suatu sistem pendidikan yang sebenarnya tidak “menyembah” suatu model tertentu untuk dijadikan “berhala”.
Budaya barat memiliki sebuah tujuan dalam pendidikan, dan tujuan itu hanyalah berkaitan dengan menghasilkan kemampuan dalam pemasaran produk-produk, dimana para murid diharapkan mampu bersaing dalam pemasaran global. Maka pendidikan model seperti ini hanyalah memberikan kepada murid apa yang mereka perlukan untuk hidup dalam suatu dunia yang konsumerisme. Bila keadaan pendidikan kita pada zaman ini adalah seperti itu, bagaimana kita dapat membawa Injil Yesus Kristus kedalam suatu sistem pendidikan yang sudah tercemar dengan pemikiran yang humanis? Apakah kita dapat memasukkan Injil itu dalam kehidupan para murid pada saat ini?
Pertama panggilan kita dalam bidang pendidikan ini harus bersifat kritikal. Kita perlu memikirkan implikasi yang Injil berikan bagi suatu sistem pendidikan. Pendekatan yang bersifat kritik ini didirikan di atas dasar filsafat yang menyeluruh dan berbeda dengan filsafat dunia. Melalui filsafat kristen ini, kita dapat mengharapkan adanya suatu tujuan yang berbeda, arah yang berbeda yang dapat ditetapkan oleh sekolah kristen.
Apa tujuan dari suatu pendidikan yang dikatakan kristen? Tujuannya adalah memperlengkapi murid-murid untuk dapat menjadi saksi yang setia bagi Injil di dalam seluruh kehidupan mereka. Kita perlu menguji setiap motivasi di dalam model-model pendidikan yang kita pilih. Karena tidak semua motivasi adalah sesuai dengan yang Tuhan kehendaki. Motivasi tersebut dapat berbentuk sesuatu yang baik misalkan: kita memilih home schooling untuk menghindarkan anak-anak kita dari pengaruh yang buruk yang dunia miliki. Atau kita memilih suatu sistem sekolah tertentu karena sekolah tersebut peduli dalam membangun karakter seorang manusia. Apapun motivasi yang kita miliki, kita harus mempertimbangkan motivasi yang lebih besar yaitu: apakah seorang murid dapat menjadi seorang kristen yang beriman dan menjadi saksi bagi Injil di seluruh kehidupannya.
Panggilan pendidikan kristen harus dikerjakan dengan setia oleh orang-orang yang telah percaya kepada Kristus dan InjilNya. Orang-orang kristen perlu membangun suatu komunitas dimana mereka dapat saling mendukung, membangun, memberi semangat, dan saling mendoakan satu sama lain dalam menjawab panggilan ini.

Penutup
Sekolah kristen mendapat bukan hanya tanggung jawab dari Allah untuk mereka emban dan jalankan dalam mendidik anak-anak untuk semakin serupa dengan Kristus, namun juga diperingatkan agar sekolah Kristen senantiasa menjalankan segala tugas pendidikannya dengan didasari perasaan syukur yang mendalam. Hak-hak istimewa yang kaum pilihan nikmati melalui Karya Yesus Kristus yang mendamaikan, merekonsiliasi, memulihkan ciptaanNya kini dikerjakan oleh karya Roh Kudus di dalam kehidupan guru (pertama-tama) untuk kemudian ditularkan kepada pemikiran dan kehidupan para murid. Sehingga semua pembaruan dan pemulihan akal budi, hati nurani, moral, dan kebajikan memberikan shalom yang tergenapi di dalam kehidupan mereka. Anak-anak didik inilah (yang sudah mengecap karunia dan pertolongan dari karya Roh Kudus) yang nantinya akan menjadi saksi sebagai garam dan terang di dalam dunia mereka pada bidang-bidang yang mereka geluti.

Semua pergumulan dalam proses pendidikan, dan pengaruh mereka di luar dunia pendidikan dipengaruhi oleh pekerjaan Roh Kudus yang telah mereka terima dan nikmati di dalam sekolah-sekolah Kristen. Hendaknya pendidik-pendidik Kristen menjadi sadar akan besarnya campur tangan Roh Kudus dalam mendidik, mendorong, memulihkan, dan mempertobatkan kehidupan seorang manusia Kristen menjadi saksi bagi Injil Kerajaan Allah. 

Directions on Education

Directions on Education
Pendidikan yang tanpa arah adalah pendidikan yang tidak membawa manusia kemanapun. Bahkan pendidikan postmodern pun tetap memiliki arah yang dituju. Walau arah tersebut tidaklah harus sama diantara satu murid dengan murid lainnya, karena setiap mereka memiliki arahnya masing-masing dimana hampir tidak ada satu arah yang jauh lebih mulia dibandingkan arah lainnya.
            Ketika pendidikan dimulai, maka terjadi pembelajaran diantara subjek dan objek. Dan dunia modern telah berhasil membawa system pembelajaran manusia masuk ke dalam kondisi adanya banyak subjek dan sedikit objek. Semakin banyak observer dan semakin tunggalnya objek, pendidikan tersebut akan semakin dikatakan sukses dan berhasil, karena objek tersebut tidak dapat melarikan/ menyembunyikan fakta tentang dirinya di hadapan observer. Itulah sebabnya satu bunga dapat dipelajari oleh ratusan ilmuwan, dan menghasilkan ratusan teori yang berbeda. Sehingga kedasyatan pencapaian pendidikan modern adalah sangat bergantung pada kekayaan dari satu objek yang diteliti. Jika objek tersebut tunggal dan memiliki variable dan dimensi yang kaya, maka objek tersebut mampu berubah menjadi subjek. Disinilah objek memiliki kekuatan berubah menjadi suatu subjek studi. “Subjek study”, demikianlah kita menyebutnya pada hari ini. Suatu objek yang akhirnya menjadi subjek berarti objek tersebut memiliki kelimpahan tertentu sehingga layak menduduki posisi subjek. Apabila observer akhirnya menganggap bahwa objek tersebut lebih besar dari dirinya peneliti, maka objek tersebut akan menguasai peneliti dan akhirnya mengubah peneliti menjadi objek yang dibaca oleh objek yang telah berubah menjadi subjek. Tanpa suatu identity yang kuat sebagai seorang peneliti, penelity akan kehilangan makna dirinya ketika berhadapan dengan objek yang jauh terlihat superior dibandingkan dengan dirinya. Disinikah posisi pendidikan yang ingin kita tuju? Barang tentu tidak. Pendidikan Kristen tidak mengalami bias dengan pendekatan subjek-objek yang dialami oleh dunia pendidikan modern.
            Demikian juga ketika pendidikan berbicara mengenai subjek-objek, hal lain yang mengherankan adalah bahwa situasi pembelajaran/ penelitian tersebut bisa sedemikian seriusnya sampai ketika objek tersebut hilang dari observasi para peneliti, mereka dapat saja tidak sadar akan realita tersebut. Ketidaksadaran akan hilangnya objek ketika terjadi penelitian diantara para peneliti, adalah suatu yang janggal dan menggelikan, namun ini seringkali terjadi. Dan apabila objek tersebut hilang maka penelitian tersebut tidak kemudian terhenti atau berhenti, para peneliti justru melanjutkan penelitian yang tanpa objek tersebut dengan menggantinya dengan objek yang lain yaitu para peneliti itu sendiri. Disini subjek-subjek terlalu superior sehingga akhirnya diantara para subjek harus ada yang menjadi objek untuk menggantikan objek yang telah hilang. Sehingga akhirnya penelitian berubah menjadi perdebatan suatu teori dan isu tertentu. Hal ini juga dapat terjadi di dalam Seminari bahkan. Dimana para mahasiswa lebih memilih untuk berdebat tentang teori-teori tertentu dan bukannya mencari jalan yang fruitfull diantara mereka bagi pembangunan tubuh Kristus.
            Ketika objek telah hilang dan para peneliti tidak merasa ada suatu keganjilan yang baru muncul di tengah-tengah mereka, akhirnya membawa arah pendidikan kepada suatu yang tidak diduga oleh para peneliti. Perdebatan tentang teori yang tidak membawa perubahan apapun bagi kehidupan manusia justru digeluti dan dibicarakan panjang-lebar seolah-olah itu memberikan manfaat dan kebaikan bagi masyarakat. Disinilah isu mengenai kebencian Kain kepada adiknya kembali muncul dalam realita pendidikan. Diantara para pendidik, muncul pendidik-pendidik yang menonjol dan menimbulkan panas hati satu sama lain yang nantinya panas hati itu akan menelurkan teori-teori baru demi menghancurkan segala pencapaian pendidik baru yang menonjol tersebut. Inilah dunia pendidikan. Pendidikan tidak selalu mendidik manusia, karena pendidikan dapat memilih jalan yang licin yang jauh lebih menarik daripada jalan yang lurus dan sempit. Lalu kemanakah pendidikan harus berpaut di tengah kekacauan subjek-objek yang sepertinya tidak habis-habis?

            Pendidikan harus menempatkan kembali kebenaran dan otoritas Firman Tuhan diatas pendirian subjek-objek yang seringkali mengambil jalan yang ambigu. Penempatan posisi yang seharusnya membawa subjek tidak pernah memperlakukan objek secara mandiri. Ketika subjek melakukan observasi terhadap objek, maka subjek tersebut harus selalu ingat bahwa objek tersebut tidaklah berdiri sendiri, karena dibalik objek tersebut ada Tuhan yang menjadikan objek tersebut objek yang sedemikian. Hal ini menghindari penyalahgunaan objek bagi kepentingan subjek. Hal ini menjaga objek tetap di dalam statusnya sebagai objek tanpa perlu dimanipulasi oleh subjek yang lebih dominan. Pemberesan tatanan subjek-objek dan kesadaran akan adanya Tuhan yang berkuasa diatas keduanya, akan membawa pendidikan terarah dalam suatu arah yang sehat dan mapan di dalam terang kebenaran Firman yang berotoritas. 

How Education Change People?

How Education Change People?
Seorang guru adalah seorang pemimpin yang akan mengalami perubahan di dalam hidupnya untuk kemudian memberikan perubahan kepada orang lain. Seorang pemimpin akan memberikan perubahan. Namun ini tidak serta merta terjadi secara otomatis, karena manusia pada dasarnya sulit dan enggan untuk berubah.
Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah.”[1] Kita mendidik dan atau memimpin seseorang bukan untuk menuju kepada tema kematian. Karena inti sari dari kehidupan manusia adalah manusia akan diubahkan. Maka tema “diubahkan” merupakan tema yang penting. Kita harus berubah semakin serupa dengan sesuatu dan sesuatu itu adalah Kristus. Pendidikan Kristen harus didasarkan pada suatu kenyataan bahwa kita sedang diubahkan untuk semakin serupa dengan Kristus.
Tetapi apakah manusia selalu siap dengan perubahan? Bila manusia hanya membawa perubahan demi keuntungan diri, itu bukanlah perubanan yang sejati. Seorang pemimpin Kristen haruslah rela membawa perubahan yang bukan bagi keuntungannya sendiri. Setiap murid dan pendengar yang kita pengaruhi haruslah memasuki proses untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus. Orang yang telah dibenarkan oleh Kristus harus mampu untuk juga membenarkan orang lain. Tidaklah cukup menjadi seorang yang benar sendirian. Orang yang benar itu harus memimpin orang lain untuk masuk dan hidup di dalam kebenaran yang membenarkan itu.
Demikian juga seorang yang mendidik dan memimpin, perlu membawa pendengarnya dipimpin di dalam trust and meaning, karena tanpa trust and meaning, seorang murid akan mudah menjadi goyah dari kebenaran apa yang telah ia terima. Disini seorang pendidik dituntut melakukan apa yang ia telah katakan, karena perkataan itu akan menuntut balik kelakuan apa yang dipancarkan oleh seorang pendidik. Maka kalau kita mengatakan sesuatu, kita harus sungguh-sungguh mengatakannya. Yang kita katakan harus kita jalankan. Kita juga harus memberikan suatu pengakuan atau confession di hadapan para murid. Dengan begini mereka akan belajar banyak hal di dalam konteks trust and meaning.



[1] 1 Kor 15:51.

Confidence, Sound, and Absolute Teaching

Confidence, Sound, and Absolute Teaching
Seorang pendidik bukan hanya perlu melatih dan memiliki suara yang indah dan berwibawa, namun mereka perlu memiliki suara yang penuh dengan keyakinan. Di dalam suara yang penuh dengan keyakinan itulah terletak otoritas di dalam mendidik (selain otoritas Roh Kudus). Dan orang-orang dengan model seperti ini memang dilahirkan dan bukan hanya dibentuk, walaupun pembentukan memiliki kekhususannya tersendiri. Namun mereka yang memang sudah dilahirkan dengan talenta mudah yakin dengan believe-nya, akan lebih mudah menjalani profesinya sebagai pendidik. Hal ini bukan berarti bahwa orang dengan bakat “berbicara yakin” harus terus memupuk keyakinannya tersebut. Justru ketika seorang memiliki confident yang baik dan kuat di dalam dirinya, ia harus ditundukkan dibawah otoritas Firman yang empunya Absolut terhadap segala sesuatu. Barulah pendidik bukan hanya menyampaikan apa yang ia yakin dan ia anggap benar, namun menyampaikan otoritas Firman itu dengan keyakinan yang dikaruniakan oleh Roh Kudus.
            Maka dari itu Epistemology harus mendasari pencarian dan pengungkapan manusia akan pengetahuan dan kebenaran. Karena tanpa Epistemologi yang berpusatkan pada diri-Nya kebenaran, maka epistemologi itu hanya akan berpusat pada kekuatan rasio dan experience manusia saja. Setelah standpoint yang ingin dibangun oleh seorang guru telah mapan, ia perlu mengembangkan model persuasi yang layak bagi kebenaran yang ia mau bagikan. Disini ekspresi, emosi, penekanan kata, jeda, cara bernapas menjadi penting di dalam penyampaian kebenaran.
            Dalam budaya Grika yang menekankan pada culture theatrical, cara seorang actor/ aktris di dalam membawakan peran/ karakternya menjadi hal yang utama yang harus dipelajari dan dikuasai oleh mereka. Bukan hanya isi dialog dan alurnya saja, namun karakter tokoh tersebut harus diperankan dengan baik oleh yang membawakannya. Tanpa ekspresi yang baik, actor akan gagal sebagai actor. Tanpa mengetahui karakter yang ia perankan, aktor akan menjalankan peran yang tidak dimaksudkan di dalam naskah cerita. Sama halnya dengan karakter seorang guru/ pendidik. Bila seorang guru tidak sadar ia adalah guru dan pendidik, maka ia hanya akan membanyol di depan murid-muridnya, dan akhirnya murid-muridnya tidak belajar apa-apa selain belajar cara melucu di depan kelas. Walaupun keberhasilan seorang guru dicerminkan dengan respon dari para muridnya, ini tidak berarti guru yang mampu membuat muridnya tertawa adalah guru yang sukses di dalam mendidik.
            Kemampuan theatrical seperti ini sangat dibutuhkan untuk dimiliki oleh seorang guru. Mereka harus memiliki dignity sebagai seorang guru dan menyadari benar apa yang mereka sampaikan kepada para murid. Ketika seorang guru punya keyakinan diri yang kuat pada diri, kebenaran, dan apa yang akan ia sampaikan dan ia memiliki cara persuasi yang baik, maka tidak akan ada murid yang keluar dari kelasnya yang akan kecewa atau tidak mendapatkan manfaat pendidikan. Suasana dari kelas, keberhasilan study, penanaman kebenaran dan pengetahuan sangat ditentukan oleh posisi guru di dalam kelas tersebut. Tetapi masih ada kasus lain dari seorang guru yang sebenarnya sudah sangat berbakat, namun belum mampu memenangkan hati semua murid yang ia didik.
            Seorang guru yang hanya membangun citra positif yang dari luar, akan sulit untuk mempertahankan kesetiaan seorang murid kepadanya. Apalagi kita telah masuk ke dalam suasana pendidikan postmodern. Di dalam nuansa pendidikan postmodern, eksteriority seorang guru tidak lagi menjadi hal yang utama yang harus diperhatikan/ menarik perhatian, karena postmodern mementingkan apa yang ada di dalam diri guru tersebut (interiority). Maka seorang guru yang memiliki kedalaman di dalam study dan pembahasannya akan mendapatkan jumlah murid yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan guru yang hanya memiliki kemampuan penyampaian yang baik. Zaman modern dimulai dengan segala pencapaian technology yang mementingkan indera penglihatan manusia, namun setelah kita memasuki zaman postmodern, manusia sudah tidak lagi tertipu dengan penampilan yang ada di luar. Mereka menuntut suatu isi yang lebih kaya dan limpah yang bisa disejajarkan dengan segala pengetahuan manapun yang mereka temui. Hal ini harusnya menyadarkan para guru Kristen, bahwa mereka tidak lagi bisa bergantung hanya dengan kemampuan persuasi yang mereka miliki, namun konten yang mereka berikan ternyata tidak memenuhi hasrat pencarian mereka akan “pengetahuan.” Mulai dari sini isi/ content kembali mendapatkan tempat di dalam model-model persuasi yang berlaku.
            Disamping semua hal itu, masih ada model-model persuasi tertentu yang ternyata sangat berkaitan dengan pembawaan/ temperamen seorang guru. Seorang guru yang tegas tidak mudah untuk mengajar dengan tanpa ketegasan, demikian sebaliknya, seorang guru yang tidak tegas akan sulit untuk mengajar dengan sikap ketegasan. Maka cara seorang mengajar dan persuasi macam apa yang mereka pilih adalah hasil langsung dari temperamen apa yang mempengaruhi mereka sebagai manusia. Seorang kolerik-melankolik akan mengajar dengan berwibawa, tegas, jelas, to the point, dan terkadang memberikan command yang berat kepada muridnya. Para pendidik seperti ini sangat powerfull di dalam menyampaikan isi hatinya, namun tidak jarang pendidik seperti ini akan segera meraup pendengar dengan jumlah massa yang banyak namun juga segera kehilangan pendengarnya dalam waktu yang tidak lama. Ini disebabkan tekanan-tekanan yang diberikan oleh seorang pendidik yang kuat. Seorang pendidik yang kolerik-sanguin akan mengajar dan meluncurkan kalimat-demi kalimat dengan tanpa titik dan dengan ketegasan yang luar biasa. Begitu tegas dan mantapnya, sampai murid yang tidak berhati-hati akan menerima semua yang diajarkan tanpa perlu lagi mengkaji apa yang ia telah terima. Guru model seperti ini sangat menarik perhatian dan mempesona, namun belum cukup mampu menundukkan murid yang memiliki daya analisa yang jauh lebih kuat dari dia. Seorang guru sanguin-melankolik akan banyak menarik simpati para murid, termasuk murid yang bodoh dan murid yang pandai, karena guru model ini memiliki daya analisa yang sangat baik terhadap objek studinya, dan ia juga memiliki kekuatan di dalam menyampaikannya dengan sederhana dan menarik. Guru yang phlegmatic tidak cocok menjadi guru selain menjadi guru kindergarden.
            Keberadaan dan model seorang guru memang menentukan dalam dunia pendidikan, namun yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan seorang murid yang sedang mengenyam pendidikan tersebut. Seorang murid yang pandai tidak akan mencari guru yang bodoh untuk mengajari dia bagaimana caranya berbuat bodoh dengan lebih bodoh. Namun ia akan mencari guru yang lebih pandai dari dia. Disinilah posisi guru menjadi “terancam”, karena biasanya seorang guru tidak lagi menjadi guru setelah seluruh ilmu sang guru tersebut sudah dikuasai oleh seorang murid. Namun bila guru tersebut senantiasa bertumbuh di dalam Tuhan, maka tidak ada yang perlu dikuatirkan dari posisi keterancaman seperti ini.
            Seorang murid kolerik akan kagum dengan model guru yang sama dengan dirinya. Seorang yang berani juga akan mengagumi orang yang jauh lebih berani dari dirinya. Seorang yang kuat di dalam mengambil keputusan juga akan kagum pada mereka yang lebih kuat dalam mengambil keputusan. Namun seorang murid yang kolerik biasanya tidak akan bertahan lama mengagumi guru yang sama koleriknya dengan dia. Karena ketika ia belajar pada guru ini, ia akan mendapati bahwa sebenarnya terlalu banyak kesamaan diantara mereka yang tidak perlu untuk terus dikagumi. Maka ia akan mencoba mencari aspek-aspek lain yang bisa ia kagumi pada guru yang lain. Dan bila ia adalah juga seorang yang perfeksionis, itu akan menyebabkan ia sangat pemilih kepada siapa ia mau belajar. Karena seorang murid melankolik tidak akan memilih guru yang tidak memiliki dimensi perfeksionis. Sehingga seorang murid melankolik biasanya tidak memiliki terlalu banyak guru, karena ia sangatlah pemilih dan menetapkan standar bagi siapa saja yang ia bersedia belajar kepadanya.

            Pendidikan itu akan mengubahkan sesuatu. Karena pendidikan berkaitan dengan hidup dan pertumbuhan seorang manusia sebagai manusia. Namun apa yang berubah dan bagaimana terjadinya perubahan? Seorang pendidik perlu mengkaji bagian ini.

Pendidikan Bergantung pada Guru dan atau Murid?

Pendidikan Bergantung pada Guru dan atau Murid?
Pengetahuan dan informasi adalah dua hal yang berbeda. Informasi bukanlah pengetahuan dan pengetahuan bukanlah informasi. Informasi boleh benar boleh tidak, pengetahuan harus benar. Informasi boleh beragam dan tidak terselesaikan. Pengetahuan harus tunggal dan mengintegrasi hidup manusia. Informasi tidak berkaitan dengan iman dan mati-hidupnya manusia. Pengetahuan berkait dengan iman dan mati-hidupnya seorang manusia. Darisinilah seorang guru dibutuhkan oleh umat manusia. Karena manusia tidak hanya berhadapan dengan Koran dan berita di Televisi atau beberapa majalah yang terus mencuci otak manusia, namun manusia perlu di-guidance­ untuk bisa membaca segala informasi dan gejala yang terjadi di dalam dunia dimana mereka tinggal.
            Seorang guru bukanlah sekedar membagikan informasi (yang bisa dilakukan oleh koran rongsokan), namun ia membagikan pengetahuan yang ultimat yang bagaimanapun dibantah oleh seorang murid, kebenaran dari pengetahuan yang ia sampaikan akan tetap bersinar di hati murid. Maka pengetahuan dari seorang guru bukan hanya menyentuh aspek rasional yang dimiliki oleh seorang manusia, namun juga aspek will, believe, emotion, dan seterusnya. Maka posisi guru adalah posisi yang tidak dapat digantikan dengan media apapun di dalam dunia. Posisi seorang guru mengambil tempat Allah (di dalam pengertian turunan) untuk menanamkan kebenaran ke dalam hati seorang murid. Dan posisi ini perlu ditunjang dengan confident yang cukup dan benar.
            Seorang guru yang tidak memiliki confident tidak seharusnya menjadi guru (guru apapun). Sehingga profesi yang paling membutuhkan kekuatan confident adalah profesi mendidik dan berkhotbah. Dan confident tersebut terlihat pertama kali dari “tekstur suara” yang dimiliki oleh seorang guru. Seorang guru yang Tuhan berikan suara yang indah, merdu dan berwibawa adalah anugerah yang besar bagi kekristenan. Karena Tuhan memaksudkan suara untuk memiliki kekuatan men-design interiority seorang manusia. Manusia terpengaruh jiwanya karena suara yang mereka dengar. Manusia beriman atau tidak beriman, ditentukan oleh jenis suara dan suara apa yang mereka dengarkan.[1] Manusia beriman karena adanya suara yang diucapkan oleh Firman dan oleh Kristus kepada mereka. Manusia tidak mampu beriman hanya karena mereka melihat sesuatu/ mujizat.[2] Dan bukankah karena ”suara” juga manusia jatuh kedalam dosa dan tidak menaati Allah?
            Suara memiliki kekuatan untuk merombak system nilai yang dimiliki oleh seorang murid kebenaran. Suara dapat memimpin dan memberikan arah bagi seorang murid untuk menuju pada panggilan Allah. Suara yang benar adalah suara yang membawa manusia kembali kepada Allah dan panggilan-Nya. Karena itu istilah “panggilan Tuhan” juga berkaitan dengan suara yang didengarkan oleh mereka yang terpanggil.
            Suara memiliki horizonnya sendiri. Suara bukanlah dilawankan dengan silent/ ketiadaan suara. Suara justru menjadi suara karena berkerumunan dengan suara-suara yang lain. Maka suara menjadi suara bukan karena tidak adanya suara, tetapi karena suara tersebut meaningfull bagi yang mendengarkan. Dunia tempat dimana kita tinggal selalu dipenuhi oleh suara. Bahkan di malam yang paling sunyipun masih tetap ada suara yang terdengar di telinga kita. Dari sini kita mengerti bahwa suara selalu menghampiri telinga manusia, yang menjadi persoalan adalah apakah manusia mampu mem-filter suara yang mereka dengar? Apakah mereka menjadi seorang yang memilih suara apa yang mereka ijinkan untuk men-design jiwa mereka atau tidak? Jika manusia tidak memiliki hati yang takut akan Tuhan, maka mereka akan menerima semua suara yang mereka temukan, dan hal ini akan menjadikan manusia tidak memiliki iman sama sekali atau memiliki iman yang salah dan kacau.
            Lalu bagaimana dengan pendidikan yang memusatkan pada kinerja mata? Mata manusia melihat sesuat dan menghafalkan apa yang mereka lihat. Namun apa yang mereka lihat ternyata tidak terlalu berkait dengan interiority di dalam jiwa mereka. Karena mata hanya men-design rumusan-rumusan yang perlu diingat oleh seorang murid di dalam kaitannya dengan abstraksi yang mereka pikirkan. Sehingga orang yang daya penglihatannya kuat, akan memilih guru yang memiliki tampilan yang menunjang sebagai guru. Atau ia akan memilih seorang guru yang abstraksinya sangat kuat, sehingga bila guru ini menuliskan suatu rumus yang rumit, murid akan terperangah kagum dan akhirnya juga mengagumi guru yang pandai ini. Dari sini kita bisa mengerti bahwa indera penglihatan memiliki fungsi sebagai “jembatan” yang menolong seorang murid tetap interest kepada gurunya. Itulah sebab, seorang guru yang baik tidak akan memakai pakaian yang asal-asalan ketika ia mengajar, namun akan memakai pakaian yang baik dan indah dipandang. Bila guru mengerti hal ini, di titik awal penampilan, mereka sudah memenuhi kualifikasi “mata” sebagai seorang guru.



[1] Roma 10:17
[2] Mat 17:17: Yesus menghardik mereka yang tidak percaya walau sudah melihat banyaknya tanda yang Ia lakukan di hadapan mereka. 

Firman Tuhan yang Menumbuhkan

Bible Study                  : Firman Tuhan yang Menumbuhkan
Nats                             : Yohanes 15:1-8
focus pada ayat 5        : “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”
1.      “I am true vine”: Kristus adalah anggur yang sejati (pokok anggur) dan bukan kita. Kita adalah cabang yang kering dan tandus, dimana kita tidak pernah dapat menghasilkan kekuatan dari diri kita sendiri. Kita mendapatkan kekuatan hanya apabila kita berkait dengan Kristus.
a.       Kekuatan kita berasal dari luar diri kita sendiri, yaitu Kristus.
b.      Dalam Greek, kata “branches”/ cabang, seringkali berarti: vines/ tanaman anggur. Sedangkan kata “vine” seringkali berarti: vineyard/ kebun anggur.
c.       Dari sini John Calvin mengintepretasikan bahwa Kristus adalah kebun anggur dan kita adalah tanaman anggur itu. (Pengertian ini adalah yang paling dekat dengan maksud text asli).
                                                              i.      NB bagi guru: dalam menjelas
                                                            ii.      kan perumpamaan, kita jangan terjebak di dalam detail, dengan kata lain kita perlu melihat gambaran besarnya perumpamaan itu (main part). Karena perumpamaan yang Kristus pakai seringkali hanya menggambarkan maksud yang general/ umum, dan bukan untuk diintepretasi secara detail.
d.      Kita tidak dapat melakukan apapun yang baik kecuali hal itu berasal dari Kristus. Kemudian, Bapa Sorgawi lah yang mengelola kita dengan memangkas/ memendekkan/ merapikan kita.
e.       Seringkali manusia enggan mengakui bahwa segala yang baik itu datangnya dari Tuhan. Mereka membayangkan bahwa segala kebaikan itu memang sudah ditanamkan di dalam diri mereka secara natural. Namun Kristus menegaskan bahwa air yang memberi hidup itu adalah datangnya dari Dia.
                                                              i.      Ini juga berarti bahwa secara natur (pada dasarnya) manusia tidak mampu menghasilkan hal yang baik, dan mereka secara natur tidak berbuah.
f.       Orang-orang yang Tuhan pilih (kaum pilihan) adalah satu-satunya manusia yang menerima anugerah khusus ini. Yaitu mereka mendapatkan hidup itu di dalam Kristus.
                                                              i.      Kita menjadi hidup, karena kita berakar dan terhubung dengan Kristus, Sumber Hidup.
g.       “I am truly vine” juga berarti bahwa manusia yang mencari kekuatan dimanapun di luar Kristus, hanya berjuang secara sia-sia.
                                                              i.      Buah yang berguna/ useful bagi sesama hanyalah dihasilkan di dalam Kristus.
                                                            ii.      Ini berarti mungkin saja orang yang tidak percaya tetap bisa “berbuah”/ menghasilkan pekerjaan baik, namun itu tidak akan berguna di mata Tuhan.
h.      Berbuah” berarti memajukan pekerjaan Tuhan di dalam dunia atau memberikan kebaikan/ manfaat/ menjadi berkat bagi kehidupan orang lain.
2.      “He cuts off every branch in me that bears no fruit.” Kalimat ini mengundang pertanyaan, “Apakah mungkin manusia yang telah berada di dalam Kristus tidak berbuah?” Jawabannya adalah: Banyak orang yang menyangka ia telah berada di dalam Kristus, namun mereka tidak pernah berakar di dalam Dia.
a.       Ini berarti: manusia yang Tuhan telah pilih pasti akan menghasilkan buah, dan bila tidak, sangat mungkin mereka itu belumlah Tuhan pilih (sebagai umat tebusan).
b.      Tindakan cut off/ mencabut ini akan menghasilkan rasa sakit. Apanya yang dicabut? Calvin mengidentikkan dengan akar-akar dosa/ bibit dosa. Para ahli lain berpendapat bahwa yang dicabut adalah: interest and activities yang menghambat kita untuk berbuah.
c.       Cut off/ memangkas/ mencabut: sama artinya dengan “membersihkan”.
3.      “… while every branch that does bear fruit he trims clean.” Allah secara terus-menerus peduli dengan pertumbuhan kita (orang percaya). Kita pun harus terus memperhatikan pertumbuhan kita, apakah kita bertumbuh terus atau justru sedang merosot dalam pertumbuhan.
a.       Tidak cukup bagi kita untuk menjadi umat pilihan Tuhan saja. Tuhan perlu terus bertindak mengerjakan anugerah-Nya bagi kita.
b.      Tindakan Tuhan yang seperti apakah itu? Yaitu: Tuhan perlu memangkas bibit-bibit dosa di dalam diri kita (bibit-bibit dosa itu begitu banyak dan subur, dan akan terus berkembangbiak) sebelum dosa-dosa itu akan menyebabkan ketidakberbuahan di dalam diri kita. Dan yang bisa menghambat/ memangkas dan mencabut bibit-bibit dosa itu adalah tangan Tuhan sendiri (karena Bapa adalah pengelola kabun anggur).
4.      You are already clean because of the word.” Kalimat ini ingin menyatakan bahwa pengikut Kristus telah berusaha menjalankan perintah-Nya. Mereka telah berada di dalam Dia, dibersihkan dan dipangkas oleh Bapa melalui the word/ teaching. Pengajaran dan khotbah dipakai oleh Tuhan untuk memangkas keberdosaan manusia.
a.       Namun bukanlah perkataan manusia yang berkuasa memangkas dosa itu. “The word” itulah yang menjadi instrument/ alat memangkas dosa-dosa tersebut.
b.      The word/ firman itu harus terus-menerus direnungkan oleh murid-murid Tuhan Yesus agar segala keburukan dan dosa-dosa itu akhirnya dipangkas: seperti gunting tanaman yang memangkas cabang-cabang yang kering dan tidak berbuah.
5.      Remain in me.” Kristus mendesak para murid untuk selalu memelihara dan menjaga anugerah yang telah mereka terima. Maka Kristus akan memelihara dan melindungi mereka seperti: induk ayam yang menaungi anak-anaknya dibawah sayapnya (Mat 23:37).
a.       Ia menjanjikan Roh Kudus yang akan selalu bekerja di dalam kita asalnya kita jangan sampai melarang/ mencegah Dia (Roh Kudus) bekerja.
b.      “abide in me” berarti: relasi setiap harinya dengan Yesus. Melibatkan tindakan percaya, taat dan berdoa. Semua ini menghasilkan sukacita.  
6.      Apart from me you can do nothing.” Ayat ini merupakan puncak dan kesimpulan dari seluruh perumpamaan.
a.       Di luar Kristus, kita tidak akan pernah menghasilkan buah yang baik dan yang menyenangkan Tuhan. Karena kita tidak mampu menghasilkan apapun yang baik dari diri kita sendiri.
b.      “Di luar Kristus” seseorang tidak akan bisa menghasilkan buah-buah spiritual dan bernilai kekal.
c.       Gereja Roma Khatolik tidak rela menerima kebenaran ini, karena mereka memadukan kekuatan manusia yang bekerjasama dengan anugerah Tuhan untuk menghasilkan perbuatan baik. Maka mereka tetap beranggapan bahwa manusia masih ada baiknya, dan masih memiliki kekuatan untuk berbuat baik, hanya saja perlu dilengkapi oleh anugerah Tuhan. (Hal ini ditolak oleh Theology Reformed).
d.      Yang benar adalah: kita sungguh-sungguh tidak dapat berbuat apapun yang baik diluar Kristus. Mungkin saja kita dapat berbuat sesuatu, namun itu adalah sesuatu yang jahat di mata Tuhan.
e.       Cabang bukanlah cabang kalau tidak dicangkokkan/ terhubung dengan pokok anggur. Cabang yang tidak terhubung dengan pokok anggur adalah “sampah”/ ranting yang tidak berguna. à Kita tidaklah berguna, sebelum kita berada di dalam Kristus.
7.      If anyone does not remain in me…” Kristus menyatakan adanya hukuman bagi mereka yang tidak tahu berterima-kasih, dan mendesak mereka untuk bertekun di dalam Dia.
a.       Karena bila kita tidak berterima-kasih kepada Dia dan tidak tekun di dalam Dia, dosa-dosa itu akan muncul dan tumbuh kembali di dalam diri kita.
b.      Cabang yang dicabut dari Kristus akan kurus kering, layu dan menjadi cabang yang mati.
c.       Tidak akan ada umat pilihan yang akan dicabut dari Kristus.
d.      “tidak tinggal di dalam Kristus” berarti orang-orang yang menolak Yesus sebagai Juruslamat.  
8.      If you remain in me…” Seringkali umat Tuhan tidak merasa bahwa dirinya telah berbuah banyak bagi Tuhan, justru merasa mereka sendiri masih berada di dalam “kemiskinan” rohani, disinilah Kristus meyakinkan kita bahwa: kalau kita meminta kepada Dia, maka saat itu juga Ia akan memberikan apa yang masih kurang pada kita.
a.       Di dalam Dia, kita dibebaskan dari “kemiskinan” rohani. Kita tidak akan kekurangan apapun yang kita butuhkan. Hal itu dikarenakan Dia adalah sumber segala kelimpahan (1 Kor 1:5).
b.      “Kita berakar di dalam dia” adalah melalui iman. Ketika kita percaya kepada Injil, seketika itu kita berada di dalam Dia.
9.      Ask whatever you wish, and it will be given to you.” Ini tidaklah berarti bahwa Allah akan memberikan apapun kepada kita seturut kemauan hati kita. Karena hati kita memiliki begitu banyak keinginan yang bodoh dan keinginan yang berlebih-lebih.
a.       Kita tidak boleh meminta agar keinginan berdosa kita dipenuhi oleh Tuhan. Demikian Tuhan pun tidak akan mengabulkan permintaan itu.
b.      Namun kita meminta the vital sap of Holy Spirit (Air Hidup oleh Roh Rudus) yang dari pada-Nya lah kita berbuah.
c.       Tuhan akan selalu mendengar doa kita yang berisikan keinginan untuk berbuah.
d.      Allah akan membangkitkan di dalam diri kita: suatu keinginan untuk mengerjakan kebaikan (desire to do good). Dan motivasi ini bukan didorong oleh apapun selain oleh Kemuliaan Tuhan sendiri. Kita ingin Allah kita dipermuliakan, dengan demikian kita terdorong/ didorong untuk menghasilkan kebaikan.

e.       Kristus tidak memiliki domba yang tidak berbuah bagi Tuhan. Ini berarti: bukti bahwa seseorang adalah orang percaya sejati (umat yang Tuhan pilih) yaitu hidupnya menghasilkan buah yang baik.