Jumat, 20 Januari 2012

Siapa mencintai uang?

Pengkhotbah 5:9-19
“Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Ini pun sia-sia. Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya?”
Ayat ini menggambarkan bahwa manusia senantiasa mencari sesuatu yang dianggap dapat memuaskan hatinya. Dan kali ini pilihan objek pemuasnya adalah uang dan kekayaan. Manusia menganggap uang dan kekayaan dapat membuat hati mereka merasa senang dan puas, namun sayang sekali karena pada kenyataannya hati mereka tetap tidak puas. Hati yang tidak puas menyatakan bahwa sebenarnya hati tersebut memiliki suatu space yang dapat menampung segala sesuatu, dan saat uang dan kekayaan “dimasukkan” ke dalam hati, ternyata hati itu tidak menjadi penuh dan mencapai keadaan yang baik. Tetap saja ada kekosongan yang hampa yang membuat hati itu merasa ada sesuatu yang masih kurang, dan yang masih kurang itu apa? Yang jelas bukanlah uang dan kekayaan. Saat manusia mencintai sesuatu, mereka akan mengejar dan mencarinya, dan setelah berusaha untuk mengejar dan mencari, mereka akan menemukan dan mendapatkan. Setelah dapat, mereka mungkin merasa senang sedikit, tetapi tidak terlalu lama. Kemudian manusia ingin untuk mendapatkan kesenangan yang sebentar itu tadi dengan mengejar kekayaan kembali. Kemudian mereka merasakan senang lagi, dan akhirnya kesenangan itu menghilang lagi. Setelah hilang, mereka mencari kesenangan itu lagi. Tidak henti-henti sampai dikatakan bahwa sebenarnya mereka tidak pernah puas. Karena kalau mereka telah benar-benar puas, mereka akan berhenti dan mengatakan cukup. Namun ini tidak terjadi pada diri manusia yang mencintai uang dan kekayaan. Nuansa ini mirip dengan (Pkh 1:8) “… mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar.”
Ini pun sia-sia. Mengapa sia-sia? Pertama, pernyataan ini mau mengatakan apalah gunanya seorang capek-capek mencintai dan mengejar sesuatu namun sesuatu itu tidaklah memberikan kepuasan bagi dirinya. Kedua, mau menyatakan bahwa disini sebenarnya sedang terjadi suatu pengulangan yang tanpa makna. Bila sesuatu itu tidak berarti dan tidak memuaskan, mengapa perlu terus dicari dan dicintai?
Efek langsung dari bertambahnya harta bukanlah bertambahnya kepuasan, kesenangan dan kedamaian. Namun bertambahnya orang yang menghabiskannya. Ini membuat pencarian akan kekayaan ssemakin menjadi sia-sia dan menyedihkan. Karena si pecinta uang dan kekayaan itu berpikir bahwa uangnya yang bertambah ini akan menghasilkan sesuatu yang nikmat bagi dirinya, tetapi ternyata ia salah. Bahkan uang dan kekayaan yang ia hasilkan memberi suatu keuntungan dan kenikmatan bagi orang lain yang bukanlah dirinya. Tadinya ia telah mencintai uang dan kekayaan demi uang tersebut memberi kepuasan dan kesenangan pada dirinya, namun ternyata uang tersebut “lebih memilih” untuk memuaskan orang lain. Ini sangatlah ironi. Kisah seperti ini mirip dengan kisah seorang pemuda yang mencintai seorang gadis, namun gadis ini mencintai orang lain. Sungguh menyedihkan bila seseorang telah tidak mendua hati, tetapi objek cintanya selalu “mendua hati”. Uang tersebut bertambah, namun uang dan kekayaan tersebut ada bersama orang-orang lain yang sedang menghabiskan dan menikmatinya. Inilah kesia-siaan orang yang mencintai uang. Karena yang mereka dapatkan bukanlah kepuasan tetapi malah suatu perasaan cemburu dan kecewa.
“Dan apakah keuntungannya…” Kekayaan yang didapat hanya bisa untuk dilihat dan dipakai. Kalimat “selain daripada / hanya untuk” mau menyatakan fungsi yang tunggal dan sifat ketidakbermaknaan. Ini mengherankan, karena uang dan kekayaan itu ternyata tidak bisa memberikan apa-apa kepada pemiliknya selain hanya untuk dilihat. Fungsinya adalah untuk dinikmati dengan cara dilihat. Hal ini semakin memberi kesan bahwa kekayaan menduduki suatu level yang rendah dalam penilaian si penulis kitab. Dinikmati dengan cara hanya dilihat, tentu lebih rendah dibandingkan dengan: dinikmati dengan cara dipikirkan, direnungkan, dan dihayati. Harta hanya dapat dilihat, tetapi buah pemikiran bisa untuk dipikirkan dan bersentuhan dengan pribadi manusia secara lebih utuh.
“Hanya untuk dilihat.” Mau menyatakan bahwa uang dan kekayaan bersifat benda mati yang tidak berpribadi. Dari sini, sekali lagi uang ditempatkan pada level yang lebih rendah dibandingkan makhluk hidup. Uang tidak dapat diajak berkomunikasi dan berbicara karena ia tidak berpribadi. Kekayaan tidak memberikan manfaat relasional. Dengan kata lain, kekayaan tidak mengisi kebutuhan manusia untuk berelasi. Maka adalah wajar bila kekayaan yang berlimpah akan membuat hati pemiliknya menjadi kosong bila ia menambatkan hatinya pada kekayaan tersebut.
“Hanya untuk dilihat.” Kekayaan ingin mengenyangkan mata yang tidak pernah kenyang untuk melihat. (Pkh 4:8), “… matanya pun tidak puas dengan kekayaan.” Mata manusia bisa melihat bahwa kekayaan yang ia kumpulkan telah banyak dan tertimbun, namun tetap saja ia tidak puas, dan masih ingin mencari dan melihat yang lebih banyak lagi. Sampai kapan? Sampai ia menemukan bahwa segala sesuatunya adalah sia-sia. Sampai ia menemukan bahwa harta benda yang ia kumpulkan ternyata tidak dapat dibawanya ke pada kehidupan yang mendatang.

“Enak tidurnya orang yang bekerja, baik ia makan sedikit maupun banyak; tetapi kekenyangan orang kaya sekali-kali tidak membiarkan dia tidur.”
Orang yang bisa tidur enak adalah orang yang tenang dan damai hatinya dan orang yang sedang lelah. Orang yang enak tidurnya bukan ditentukan apakah dia kenyang atau tidak, juga bukan ditentukan apakah ia dikelilingi oleh banyak benda kesukaannya atau tidak. Orang yang kaya karena kekayaannya, ia dapat membeli apa saja yang ia inginkan. Dan memenuhi isi perutnya dengan makanan-makanan yang enak dalam jumlah yang banyak. Ini sudah cukup bagi si orang kaya, namun sayangnya ia malah menjadi sulit tidur. Sulit tidur karena apa? Apakah karena kekenyangan? Bisa jadi. Tetapi lebih tepatnya adalah karena ia sedang tidak tenang dan damai hatinya. Mengapa tidak tenang? Karena hatinya terlampau mencintai banyak hal. Dan efek cintanya itu membuat dia takut kehilangan apa yang ia cintai. Semakin banyak hal yang ia dapat dan miliki, semakin banyak yang ia cintai, dan ini berarti semakin banyak pula yang membuatnya takut dan kuatir akan kehilangan hal-hal tersebut. Cinta uang yang bersifat egois, akan membuat si pencinta takut kehilangan. Karena memang pada dasarnya cintanya bersifat egois.
“Kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri… sebagaimana ia datang, demikian pun ia akan pergi…”
Penulis Kitab mempertanyakan dan langsung menjawab apakah keuntungan dari orang yang senantiasa hidup dan bekerja untuk memperoleh uang dan kekayaan. Sebenarnya semuanya itu tidak memberikan keuntungan apa-apa pada kehidupan yang akan datang, yaitu kehidupan yang kekal. Kekayaan itu tidak akan ikut menyertai si pemilik kekayaan saat pemiliknya mati. Bahkan seringkali juga tidak meninggalkan apa-apa pada kuturunannya. Masih lebih baik bila kekayaan itu akhirnya diwariskan untuk kepentingan keturunannya, namun kekayaan itu sering dihabiskan oleh orang-orang yang bukan merupakan keluarga dari si pemilik kekayaan. Siapa yang tidak bijak dalam mengelola kekayaannya, pada akhirnya akan tidak meninggalkan apa-apa pada keturunannya.
Hidup yang berorientasi pada kekayaan tidak akan memberikan faedah apapun pada hidup setelah kematian. Disini mau ditekankan, bahwa perkara hidup adalah lebih dari sekedar mengejar kekayaan dan menjadi kaya. Perkara hidup harus ditujukan pada hal yang lebih tinggi dari sekedar mengejar kekayaan. Alangkah baiknya bila hidup manusia membawakan hasil yang dapat dibawanya saat setelah dia mati. Sehingga hidup yang sementara ini dapat memiliki makna yang kekal.
“Malah sepanjang umurnya ia berada dalam kegelapan dan kesedihan, mengalami banyak kesusahan, penderitaan dan kekesalan.”
Ada akibat yang fatal bagi jiwa manusia, bila mereka senantiasa mengejar kekayaan dan tidak menghiraukan perkara hidup yang lain. Kekayaan bukanlah benda yang berpribadi yang dapat mengisi kekosongan jiwa manusia. Bahkan relasi antar manusiapun belum mampu mengisi kekosongan dalam hati manusia. Hati manusia akan merana bila dibiarkan dan tidak diisi dengan sesuatu yang benar.
Manusia akan merasakan bahwa hidupnya gelap, tanpa terang, dan menyedihkan. Kekayaan akan memampukan seseorang mendapatkan dan meraih apa yang sedang ia inginkan. Namun sayang sekali, apa yang diinginkan dari hati seseorang yang gelap selalu memimpin kepada kejahatan dan keberdosaan. Inilah yang membuat hati yang senantiasa mengejar kekayaan akan penuh dengan kesedihan dan kepedihan. Semua ini belumlah akhir dari penderitaan orang yang senantiasa mengejar kekayaan. Untuk dapat mendapatkan kekayaan yang lebih, mereka harus berusaha lebih keras dari orang lain, berjerih lelah lebih keras demi lebih kaya. Dan bila ada lebih dari satu orang yang mencintai kekayaan, mereka akan menjadi rival. Mereka akan bersaing untuk bisa menjadi lebih kaya dari lawannya. Disinilah bahaya dari uang, ia dapat membuat pemiliknya berbangga dan sombong untuk kemudian mendorongnya berhasrat memilikinya lebih banyak lagi.
“Lihatlah, yang kuanggap baik dan tepat ialah, kalau orang makan minum dan bersenang-senang dalam segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah di bawah matahari selama hidup yang pendek, yang dikaruniakan Allah kepadanya, sebab itulah bahagiannya.”
Bekerja bukan untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Bekerja bukan untuk menjadikan hasil yang diperoleh sebagai segala-galanya. Bekerja bukan untuk menjadi lebih kaya. Namun bekerja untuk bisa menikmati hal-hal yang baik.
Daripada mengejar kekayaan yang sia-sia, lebih baik menikmati hasil jerih lelah.
Hidup sebenarnya adalah menantikan kedatangan Kristus. Yang menjadi soal adalah manusia mau mengisi waktu penantiannya dengan berbuat atau tidak berbuat apa.
Hidup mengejar kekayaan penuh dengan kompleksitas penderitaan. Sedangkan hidup berjerih lelah dan menikmati hasil adalah lebih sederhana dan tidak muluk-muluk. Menjalani hidup dengan cara yang sederhana ternyata jauh lebih nikmat dari pada menjalaninya dengan penuh ambisi yang salah.
Menikmati hidup tidaklah salah. Makan minum dan bersenang-senang tidaklah salah. Mengapa? Dan sejauh apa? Bahkan Allah yang memampukan manusia untuk menikmati hidupnya.
Ada orang kaya yang tidak bisa menikmati kekayaannya dan ada yang bisa menikmati kekayaannya. Hal ini karena Tuhan yang membuat mereka demikian.
Tidak sering mengingat umur. Orang yang menghitung-hitung umurnya, biasanya adalah orang yang sedang mengalami penderitaan. Hanya orang yang sedang menderita dengan hebat yang kemudian menginginkan lebih baik mati. Namun orang yang sedang bersenang dalam hatinya, lupa akan waktu yang sedang berlalu.
Waktu itu lambat bagi mereka yang bersedih dan susah. Namun cepat bagi mereka yang bahagia dan senang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar