Minggu, 29 April 2012

Ekonom Jenewa, Swiss


Pergerakan zaman kita pada saat ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang berkecimpung dalam pusaran konsep ekonomi. Ekonomi telah menjadi illah baru dalam abad ini, berdampingan dengan spirit New Ages dan Post Modern Era. Kaum spiritualis mengkonsentrasikan pikiran mereka pada gerakan Zaman Baru yang sebetulnya sama sekali tidaklah baru, sedangkan kaum praktikal lebih memilih memikirkan keuntungan apa yang dapat mereka peroleh dari disiplin ilmu yang mereka geluti. Sangatlah fatal apabila disiplin ilmu menjadi “budak” dari spirit “cinta uang.” Maka semua teori dicetuskan dan digerakkan dengan suatu motivasi: apakah pemikiran ini akan menghasilkan kekayan bagi saya atau tidak. Bila “iya” maka apapun caranya akan saya lakukan walau itu harus menjual Yesus. Bila tidak menguntungkan, lebih baik saya mencari cara lain dimana mayoritas berkumpul dan membuang uang mereka untuk suatu hal. Dan saya akan mencipta “hal” itu.” Ini bukanlah spirit orang kriten. Ini adalah cara pandang dunia untuk mengejar kekayaan.
            Orang Kristen harusnya memiliki suatu ketajaman dalam menganalisa zaman dan gerakan. Bila orang Kristen tenggelam di dalam arus yang menyesatkan, maka siapakah yang rela berdiri menyatakan kebenaran yang sesungguhnya?
            Teori ekonomi telah dipelopori oleh orang-orang yang bukannya bodoh dalam berlogika. Mereka memiliki teori yang mungkin mengagumkan. Namun hampir pasti menyesatkan dan berkontradiksi dengan kebenaran Firman Tuhan. Pergerakan dunia telah di topang oleh ekonom-ekonom non-kristen. Bahkan ateis. Dan kita tidak sadar, bahwa kita sedang berada di bawah pengaruh dan teori yang mereka anut. Bila kita tidak mau belajar tentang apa itu kebenaran Tuhan Allah, lalu mencoba berkecimpung dalam realita ekonomi, barang tentu kita akan kehilangan iman kita! Ini sangat serius!
            Satu dari dua spirit zaman yang begitu bobrok dan  tidak akan punah sampai Kristus datang adalah Ekonomi, yang satunya lagi adalah Psikology (anak tiri dari Filsafat). Namun saya belum akan membahas mengenai Psikologi.
            Ekonomi meneriakkan slogan “kepentingan bersama” yang berakhir pada “kepentingan saya.” Betapa ilmu ekonomi sungguh-sungguh dipakai iblis untuk menjadi alat bantu pengerusakan zaman dalam menelurkan semangat manipulasi dan berdusta. Adakah manipulator yang lebih canggih ketimbang seorang yang mengaku diri pahlawan, tapi tenyata adalah musuh yang busuk dan mematikan? Jikalau seseorang mengaku bahwa dia adalah teman kita, namun kemudian dia menusuk dari belakang, apakah orang ini pantas disebut teman? Atau lebih pantas disebut pendusta dan seorang yang licik? Ekonomi telah menjadi seorang teman yang menusuk dari belakang kepada mereka yang menganut teori tersebut.
            Dari beratus-ratus ekonom yang saya lihat, saya menemuklan seorang ekonom berkebangsaan Swiss (suatu bangsa yang sangat dipengaruhi oleh para Reformator), dia bernama Simonde de Sismondi. Apakah Teori yang dia keluarkan? Apakah telah mewakili kekristenan secara murni?
            Sismondi meneriakkan kesejahteraan umum sejujur-jujurnya. Namun toh, teorinya belum dapat dikatakan sebagai mewakili study Kristen yang sungguh terhadap disiplin ekonomi. Kesejahteraan umun bukanlah tujuan Final dalam iman Kristen. Walau goal ini telah diunggulkan oleh para pemikir yang handal. Kesejahteraan umum adalah utopia  yang saya rasa tidak akan terjadi dalam kehidupan di bumi ini. Kecuali saat Kristus datang kali berikutnya. Kesejahteraan umum telah menjadi goal para ekonom “suci” yang memikirkan hati nurani dalam berperilaku ekonomi. Namun tujuan mereka bukanlah tujuan yang Tuhan mau kita setting dalam hati kita. Kita diperintahkan Tuhan untuk melakukan segala sesuatunya “bagi Tuhan dan bukan bagi sesama.” Maka concern kita jangan terjebak pada akibat logis praktis pada masyarakat. Concern kita adalah pada hati yang mencari perkenanan Tuhan di dalam “menjadi serupa dengan Kristus.” Mungkinkah ekonom-ekonom semakin mirip dengan Kristus? Mungkin! Lalu apa tujuan menjadi serupa Dia dalam ekonomi? Tujuannya adalah: agar namaNya dimuliakan di dalam bidang yang sedang kita bicarakan, gumulkan, dan lakukan yaitu ekonomi. Siapa yang makhluk ekonomi lihat saat berinteraksi? Kita (sesama pemikir dan pelaku ekonomi). Siapa yang mereka puji dan muliakan? Tuhan yang mencipta kita! Bila orang Kristen telah mencapai standar ini dalam berperilaku ekonomi, maka Kristus akan semakin dimuliakan di tengah-tengah angkatan yang bengkok dan jahat ini.

            Saya akan membagi sedikit pemikiran Sismondi dalam kaitannya dengan ekonomi:
Simonde de Sismondi (Ekonom Jenewa, Swiss, 1773-1842)
·         1. Menulis buku New Principles of Political Economy (1819), Bagian pertama berbicara tentang masalah overproduksi dan rendahnya kemampuan konsumsi. Dia mengatakan bahwa semua kegiatan produksi tidak selalu proposional dengan permintaan konsumen. Jika konsumen tidak lagi memiliki kemampuan untuk membeli , maka terjadilah overproduksi (M D, hal 99).
·         2. Menurut Sismondi, ekonomi tidaklah dibangun dengan pendekatan matematik melainkan dibangun di atas study tentang manusia dan masyarakat. Ekonomi bukanlah suatu ilmu matematis,  melainkan suatu ilmu moral, ilmu yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan manusia. (M D hal 100).  Maka definisi ekonomi menurut Sismondi adalah suatu manajemen untuk menciptakan kebahagiaan bagi semua orang. Ekonomi harus menciptakan kebahagian bagi manusia.
·         3. Sismondi mengkritik teori yang menyatakan bahwa barang haruslah diproduksi sebanyak mungkin dengan “harga semurah mungkin.” Karena bila harga barang menjadi murah, maka yang dikorbankan adalah kepentingan para pekerja. Ini adalah suatu ironi.
·         4. Teori Sismondi dikembangkan oleh John A. Hobson (1859-1942). Hobson berargumen bahwa: Indikator kesejahteraan social bukanlah diukur dengan uang, melainkan dengan suatu standar yang harus manusiawi. Karena apa gunanya pendapatan suatu Negara bertambah 13 kali lipat dari sebelumnya namun pendapatan itu didapat dari hasil perdagangan obat-obat terlarang dan perdagangan senjata.
·         Hobson mengatakan bahwa ekonomi sebagai ilmu, harus tunduk pada nilai atau etika. (M D, hal 104).
·         5. Teori Sismondi dan Hobson sebenarnya sudah lama dikemukakan oleh tradisi pemikiran filsuf Yunani  (Plato, Aristoteles) dan Thomas Aquinas, yaitu: seluruh warga Negara hendaknya terlibat didalam nasib yang sama, baik untung maupun malang.
·         Sismondi dipengaruhi oleh Adam Smith dalam hal: kesadaran bahwa pasar bebas harus dipengaruhi oleh konsep moral. Adam Smith mengkritik praktek ekonomi pasar yang pada nyatanya berlaku pada saat ini.

Kiranya kita dapat membangun suatu kubu bersama untuk meneriakkan arah dan spirit Perekonomian bagi Nama Tuhan boleh dimuliakan. Amin.

Face the Battle


One Night Before Face the Battle                                                                    Semarang Timur, 26 April 2012

Adakah pekik peperangan itu telah tiba? Adakah sangkakala tanda perang sudah dimulai, telah disuarakan?
Mengapakah engkau gelisah hai jiwaku? Tidak! Aku bukan gelisah karena besok akan berperang. Tetapi aku gelisah karena harus ada malam-malam dimana aku harus menunggu perang itu dimulai!
Seolah-olah bunyi kereta kuda sudah terdengar... Dan lengkingan kuda-kuda perang sudah bersaut-sautan... Padahal kuda-kuda masih tertidur. Dan kereta-kereta perang masih berselimut. Namun hatiku belum mengijinkan aku tertidur. Ia menanya padaku, "Sudahkah sepatumu kau siapkan dengan baik? Sudahkah senjatamu kau letakkan disampingmu? Sudahkan rompi bajamu kau letakkan dekat denganmu? Sehingga kapanpun terompet dibunyikan, kau bisa segera berlari menghampiri peperangan!" Aku terbaring sambil memeluk senjata di dadaku... Berharap pagi segera datang.

"Tuhan... Tuhan... Kasihanilah anak-anakMu... Temuilah mereka satu-persatu malam ini. Mereka yang akan mendengarkan SuaraMu besok, tangkaplah hati mereka ya Tuhan. Untuk Kau boleh simpan dan hidupkan oleh InjilMu... Ya... Hanya oleh Injil dan DarahMu saja, mereka siap dihidupkan kembali..."

Dari:
Kami yang berperang melawan kuasa kematian / maut.

Senin, 23 April 2012

Panggilan Hidup dan Kegelisahan

Siapa bilang: gelisah itu tidak perlu? Siapa bilang: orang yang gelisah adalah orang yang belum mapan? Siapa bilang: gelisah tak seharusnya terjadi dalam diri orang kristen? Justru orang yang tidak pernah gelisah tidak akan mengerjakan pekerjaan Tuhan! Justru orang yang selalu aman, tenang dan damai akan sangat sulit untuk diakai oleh Tuhan!
Saya tidak mengatakan bahwa orang yang Phlegmatik akan sulit dipakai Tuhan, tetapi seringkali Tuhan justru memakai mereka yang memiliki hati yang gelisah! Siapakah Martin Luther? Siapakah Augustinus? Siapakah Stephen Tong? Mereka adalah orang yang gelisah bagi pekerjaan Tuhan.
Apakah anda memiliki kegelisahan akan pekerjaan Tuhan? atau apakah anda hanya gelisah bila status quo anda diganggu?
Bekerjalah dalam kegelisahan yang suci! Gelisahkanlah hati yang tidak pernah gelisah bagi Tuhan! Karena seringkali dimana gelisah mu, disitulah panggilan hidupmu!
Engkau ingin mengetahui apa panggilan hidupmu? Tanyalah pada dirimu: dalam hal / aspek apakah aku gelisah (tidak rela / tidak terima) bila kebenaran Tuhan dipermainkan? Kiranya Tuhan menjawab pergumulan hidup saudara. Soli Deo Gloria.

Masa Muda dan Panggilan Hidup


Seorang muda harus mengerti apa panggilan hidupnya. Sangat disayangkan apabila seorang pemuda mengetahui siapa wanita yang harus ia cintai tetapi ia tidak mengetahui apa panggilan hidup pribadinya. Panggilan hidup sedemikian pentingnya sehingga tidak seharusnya seorang pria mencari pasangan hidup bila ia belum menemukan apa panggilan hidupnya.
Masa muda bukanlah masa dimana kita hanya perlu mencari “siapa yang akan kupilih untuk menjadi pasanganku.” Tetapi masa muda adalah saat dimana engkau harus memikirkan arti hidupmu. Betapa kasihannya seorang muda yang berpenampilan menarik, ganteng, borjuis, wangi, tetapi tidak pernah menangisi arti hidupnya. Orang yang tidak pernah menangisi makna hidupnya hanya akan ditangsi oleh orang lain, pertama-tama oleh orang tuanya (bila orang tuanya beres), kemudian kalayak ramai akan menangisi dia untuk kemudian menertawakan dia.
Masa muda bukanlah masa untuk bersenan-senang! Masa muda adalah masa untuk engkau menemukan siapa dirimu! Siapakah dirimu? Apakah engkau sudah mengenal dirimu? Apakah engkau mengerti apa arti hidupmu? Apakah engu tahu mengapa Tuhan mencipta engkau dan menempatkan engkau disini?
Mengetahui apa panggilan Tuhan bagi hidupmu adalah lebih utama dan lebih dahulu sebelum engkau mencari pasangan hidup. Bila engkau memberlakukan rumus ini secara terbalik, engkau hanya akan menemukan pasangan yang salah yang nantinya tidak akan pernah mendukung engkau di dalam mandat yang Tuhan percayakan kepadamu! Panggilan hidup bukanlah : apa yang kau senangi untuk kau lakukan! Justru panggilan hidup adalah: apa yang tidak kau senangi untuk kau lakukan namun engkau tahu bahwa Tuhan menginginkan saudara untuk melakukan hal itu.
Kiranya Tuhan menuntun hidup saudara semakin rindu memikirkan kehendak Tuhan dan menjalankannya dalam kehidupan anda. Immanuel.

Jumat, 23 Maret 2012

Kekudusan

Luke 18:9-14 
9 And he spake this parable unto certain which trusted in themselves that they were righteous, and despised others:
10  Two men went up into the temple to pray; the one a Pharisee, and the other a publican.
11  The Pharisee stood and prayed thus with himself, God, I thank thee, that I am not as other men are, extortioners, unjust, adulterers, or even as this publican.
12  I fast twice in the week, I give tithes of all that I possess.
13  And the publican, standing afar off, would not lift up so much as his eyes unto heaven, but smote upon his breast, saying, God be merciful to me a sinner.
14  I tell you, this man went down to his house justified rather than the other: for every one that exalteth himself shall be abased; and he that humbleth himself shall be exalted.

Lukas 18:9-14
9 Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:
10  "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
11  Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;
12  aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
13  Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
14  Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."

            6 Ayat ini berbicara mengenai kekudusan, yang mewakili orang Kristen dan orang berdosa. Ayat ini sudah sangat familier di telinga orang-orang Kristen, bahkan sudah akrab sejak kita masih duduk di sekolah minggu. Dimana setelah kita mendengar renungan terhadap Firman ini, kemudian kita akan dengan serta merta berpikir bahwa adalah bahaya bila kita berdoa dengan menyombongkan diri seperti orang Farisi tersebut. Tetapi ayat ini bukanlah secara khusus mau berbicara mengenai doa. Ayat ini mau menyoroti dengan lebih tajam tentang keadaan hati dari orang Farisi dan orang berdosa tersebut.
            Siapakah yang mampu mengalahkan segala ritual orang Farisi? Siapakah yang dapat mengalahkan sikap hormat mereka dalam beribadah? Bahkan untuk menulis kata “Allah” saja mereka harus sangat berhati-hati, mencuci tangan sebersih mungkin, dan tidak berani secara terang-terangan menyebut nama Tuhan. Bukankah sikap seperti ini yang dikehendaki dan diajarkan oleh Tuhan Yesus? Yaitu “Menghormati Tuhan dengan takut dan gentar.” Namun sangat disayangkan, ritual yang mereka agungkan, sedang mereka agungkan tanpa mengagungkan Tuhan sendiri.
            Kekudusan…
            Apakah sebenarnya definisi kekudusan itu?
            Bagaimana kita sebagai orang Kristen mengusahakan agar diri kita kudus dan tak bercacat?
            Apakah Allah memang menghendaki untuk kita menjadi kudus?
            Bila Allah memang menghendaki, dengan cara bagaimana?
            Allah menghendaki kita kudus? Ya! Allah membenci dan berduka bila orang Kristen melakukan perbuatan berdosa? Ya! Apakah dengan bertindak dengan kudus, seorang Kristen mendapatkan perkenanan Tuhan? TIDAK!
            Tuhan tidak pernah menjadi lebih berkenan kepada anakNya karena anakNya telah mengusahakan kekudusannya dengan banyak cara. Tuhan berkenan kepada anak-anakNya hanya karena Ia melihat kekudusan Yesus Kristus yang “dipakaikan” kepada anak-anakNya. Allah bukan berkenan karena kita semakin kudus, tetapi Allah berkenan karena kita telah berada di dalam Yesus Kristus yang telah terus-menerus menguduskan kita.
            Saya berharap saudara tidak salah mengerti, kemudian menganggap bahwa kita bisa seenaknya berbuat dosa dan menghina Allah. Bukan! Itu bukan isi dari apa yang saya tulis.
            Yang berpikir bahwa dirinya telah menjadi kudus dan bersih dari segala kesalahan adalah sebenarnya orang yang sangat penuh dengan pelanggaran. Dan orang yang semakin merasa bahwa dirinya adalah orang berdosa, adalah sebenarnya umat yang kudus! Ini adalah  salah satu paradox dalam iman kristen.
            Yang menganggap diri kudus, sebenarnya sedang menghina Allah. Yang menganggap dan sadar bahwa diri sendiri adalah seorang berdosa sedang memuliakan Dia.
            Saya lebih setuju untuk mengganti kata “kekudusan” dengan kata “mematikan dosa” Istilah: “Berjuang untuk hidup kudus”, bisa disalahartikan dan berdampak buruk sekali kepada mereka yang belum bertumbuh secara matang di dalam Tuhan! Namun istilah: “mematikan dosa” adalah istilah yang selalu membawa kita kepada pengudusan yang sejati.
            Meminjam kalimat Agustinus, “Siapakah orang kudus itu? Yaitu mereka yang sangat peka terhadap dosa-dosa yang sangat kecil!”
            Kiranya artikel singkat ini menjadi berkat bagi kita sekalian. Amin.

Selasa, 20 Maret 2012

Hidup dan Pembelajaran

Orang Kristen adalah kaum yang diberkati. Mereka adalah pewaris janji-janji Allah baik berupa janji keselamatan, penyertaan, kerohanian, dan materi. Namun disayangkan, banyak dari kita lebih menyenangi hal-hal yang bersifat materi dari pada menyenangi hal-hal yang kekal. Kita hidup dengan terus berorientasi pada hasil apa yang saya dapatkan ketika telah mengerjakan sesuatu. Tak heran anak-anak usia sekolah telah ddilatih dan dididik bagaimana agar sedini mungkin mereka dapat menghasilkan uang sendiri. Mereka diajarkan bagaimana memilih jurusan yang tepat nantinya agar memudahkan mereka untuk mencari pekerjaan dan memudahkan mereka untuk mendapatkan uang dan menjadi kaya. Ini adalah kecelakaan besar dalam pendidikan kita zaman ini.
Bukan hanya kita orang tua dicuci otak oleh konsep dunia berdosa tetapi kita juga menjadi pendukung dan pelaksana program manusia yang pada dasarnya tidak mau kembali kepada Firman Tuhan.
Yang jadi masalah bukanlah apakah orang kristen boleh kaya atau tidak. Tetapi yang jadi masalah adalah apakah yang menjadi motivasi penggerak seseorang untuk hidup, bersekolah, dan bekerja.
Alkitab telah berulang-ulang menekankan bahwa bukan harta yang menjadi prioritas utama dalam hidup manusia. Bahkan bukan pintar yang menjadi prioritas dalam mengejar pendidikan. Alkitab mengajar kita untuk senantiasa mengingat dan mengaplikasikan prinsip kebenaran yang telah Tuhan wahyukan.
Belajar bukanlah untuk menjadi pintar lalu kemudian bisa bekerja dan kemudian bisa menjadi kaya. Belajar adalah suatu panggilan orang kristen disepanjang hidup mereka. Bukan sekedar untuk menambah knowledge, sehingga kita lebih unggul dari yang lain. Tetapi untuk memperlengkapi diri sedemikian rupa sehingga melalui proses pembelajaran itu kita dapat bekerja bagi Tuhan dan kebenaranNya.
Kita harusnya memang menggumulkan apa yang Tuhan percayakan untuk kita pelajari bidang-bidang study yang Tuhan telah berikan. sehingga setiap bidang study boleh diuji, disaring, dikritisi di bawah kebenaran Firman Tuhan.
Kiranya kita mulai memikirkan hidup, pembelajaran, dan pekerjaan sesuai dengan panggilan yang Ia berikan kepada orang percaya. Amin.

Jumat, 16 Maret 2012

Sorga dan Neraka I

Janganlah kita sebagai orang Kristen sampai bertanya, “Sorga ada dimana?” Sebenarnya ini pertanyaan yang sah-sah saja ditanyakan oleh orang Kristen awam. Apalagi mereka yang masih berusia 6 sampai 15 tahun, mungkin sangat ingin mengetahui hal-hal seperti ini. Namun bagi orang Kristen yang telah mengikut Tuhan berpuluh-puluh tahun, bila masih menanyakan hal seperti ini, seharusnya mengkoreksi diri, “Apakah aku telah benar-benar mengikut Dia, mencintai Dia, mengenal Dia dalam hidup ku sepanjang ini?” Bila kita telah benar-benar mencintai Dia, pastilah kita rajin mempelajari Alkitab yang adalah Firman Tuhan 100%. Dan bila kita memang rajin mempelajari alkitab, pastilah kita telah menemukan jawaban terhadap pertanyaan ini, lama sebelum kita “berjalan” bersama Dia berpuluh-puluh tahun.
                Adanya pertanyaan ini di benak orang Kristen sebenarnya sedang membuktikan kemerosotan iman atau pemahaman atau pengenalan akan Firman Tuhan.
                “Sorga ada dimana?” Di atas bumi? Atau di bawah bumi? Atau di sebelah mana?
                Saudara, yang penting bukanlah kita mengetahui sorga ada dimana sehingga saat kita mati kita tahu jalan kesana. Tapi yang penting adalah kita mengetahui siapa yang mencipta sorga dan siapa penunjuk jalan kesana. Ini yang teramat sangat penting. Percuma bila kita mengetahui sorga ada dimana, tetapi kita tidak mengenal siapa yang mencipta sorga dan siapa yang memberipetunjuk jalan kesana. Dan bila kita telah mengetahui siapa yang mencipta sorga dan siapa penunjuk jalannya, maka kita tidak perlu kuatir “ada dimana sorga itu.”
                “Sorga ada dimana?” adalah anak dari pertanyaan, “Tuhan ada dimana?” Yang penting bukan sorganya! Tetapi Tuhannya. Sorga tanpa Tuhan adalah neraka! Ini berarti Sorga baru bisa disebut sebagai sorga jika dan hanya jika Tuhan bertahta disana. Maka keberadaan Tuhanlah yang menyebabkan adanya keberadaan sorga.
                “Tuhan ada dimana” adalah anak dari pertanyaan, “Tuhan itu sebenarnya siapa.” Adalah lebih penting mengetahui Tuhan itu siapa, daripada Tuhan itu ada dimana. Bila kita telah mengetahui Tuhan itu siapa, kita akan secara otomatis mengetahui Tuhan “suka” berada dimana dan Tuhan “tidak suka berada dimana.”
                Demikian juga: Tuhan adalah pencipta “dimana.” Artinya Ia yang menyebabkan keberadaan bisa berada. Artinya Ia adalah pencipta “tempat.” Maka tidak jadi soal tempatnya ada dimana, yang jadi soal adalah siapa Tuan yang tinggal di tempat itu. Bila kita akan berkunjung ke suatu rumah yang mewah luar biasa, mirip istana, tetapi tuan rumahnya adalah pemakan manusia, pasti kita tidak jadi berkunjung ke rumah tersebut. Tetapi bila kita akan berkunjung ke suatu rumah gubuk, namun kita mengetahui tuan rumahnya sangat ramah, baik hati, orang yang bermoral tinggi, pasti kita akan dengan senang hati berkunjung kesana. Demikian halnya dengan Tuhan dan sorga. Yang penting bukanlah sorganya, tetapi Tuhannya.
                Maka, definisi sorga adalah: tempat dimana Tuhan berada. Otomatis, definisi neraka adalah tempat dimana Tuhan tidak berada.
                Disinilah keadilah Tuhan kita, Yesus Kristus. Ia mempersilahkan masuk mereka yang mencintai Dia untuk masuk ke sorga dan mempersilahkan masuk ke neraka bagi mereka yang membenci Dia.

Selasa, 14 Februari 2012

Ringkasan Khotbah. Spiritual Formation

Dosa adalah menjawab "tidak" terhadap perintah Allah. Namun jawaban "tidak" tsb tidak pernah menggagalkan rencana Allah.
Yesus datang karena kita berdosa?
*To be like Christ: eksistansi kita sebenarnya ini. Inilah visi hidup orang kristen.
*Pengudusan đªή hidup suci itu total berbeda. Kudus artinya terpisah đªή unik. Yaitu kedudukan yang tidak sama dengan yang lainnya. Ini posisi, bukan moral, đªή bukan etika.
*Apa maksudnya "kudus"? Semuanya itu datang dari Allah. Kudus adalah bersifat pasif, karena pemberian dari Allah. Kudus berarti dipisahkan. Kudus bukan berarti karena saya berbeda, tapi karena saya dipisahkan bagi Allah. Kita menjadi milik Allah.
*Kudus: adalah suatu proses belajar menjawab "ya" kepada Tuhan.
*Kita adalah gambar Allah yang sedang diubahkan untuk menjadi gambar Kristus. Kristus adalah potret / gambar Allah yang sempurna. Waktu kita melihat, mendengar Kristus berarti kita sedang melihat đªή mendengar Allah. Kristus berkata, "Siapa yang melihat Aku, ia sedang melihat Bapa." Bahkan firman yang dari Kristus adalah bukan dari Yesus tetapi dari Dia (Bapa) yang mengutus Yesus.
*Barangsiapa berkata bagi dirinya sendiri, ia hanya mencari hormat bagi dirinya sendiri.
*Yesus Kristus kosong dari diriNya sendiri, đªή Ia diisi hanya oleh Allah saja.
*Terus belajar berkata tidak kepada diri sendiri. Ini namanya menyangkal diri. Makin seorang mengosongkan diri, semakin orang itu mampu berkata "ya" kepada Tuhan.
*Maka hidup kudus: berarti berkata "ya" kepada Tuhan. Maka syarat untuk mengikut Yesus adalah belajar menyangkal diri.
*"Mau ikut Aku? Sangkal dirimu. Pikul salib, lalu ikutlah Aku."
*Menjadi serupa dengan Kristus adalah proses yang berkelanjutan sampai kepada state of glory.
*Tujuan hidup kita: menjadi serupa dengan Kristus. Kita sudah berada dalam proses itu.
*Kita selalu berada dalam suatu ketegangan. Ingin bertumbuh menjadi Kristus namun tidak sampai-sampai. Kita bertumbuh dalam berpartisipasi pasif.
*Pertumbuhan rohani bukanlah prestasi rohani kita. Bukan kemahiran kita. Maka tidak ada yg namanya juara doa, juara rendah hati.
*Iman bukanlah suatu pertumbuhan seperti pertumbuhan biologis.
*Bertumbuh di dalam Tuhan: makin lama makin bergantung pada Tuhan.
*Tapi ada yang bicara: hanya prestasi dan kemahiran. Makin beragama makin suci.
*Pertumbuhan rohani: kita makin kecil, Allah makin besar. Makin aku rasa kosong, tidak ada apa-apanya. Makin bisa berkata: I am nothing, God is everything. Makin lama makin berasa saya tidak oke.
(Dikhotbahkan oleh Pdt.Yohan Candawasa- Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah).

Senin, 23 Januari 2012

Makna Hidup

Saya sempat kaget, seorang anak SD kelas 5 penggemar game bertanya tentang apakah sebenarnya tujuan hidup itu? Di tempat lain, di papan gerobak seorang penjual nasi kucing tertulis tulisan, “Apakah tujuan hidup itu?” Di kaca etalase dari ibu penjual makanan tertulis kalimat-kalimat yang mendorong agar manusia menjadi manusia yang baik, berbudi, berbelaskasihan, dsb.
Yang mengherankan adalah pertanyaan-pertanyaan krusial semacam itu tidak perlu keluar dari hati orang-orang yang pandai. Orang yang biasa, sederhana, mungkin miskin atau kurang berpendidikan pun memikir dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang serius tentang hidup. Di sisi yang lain, para pengusaha, pemilik saham, direktur, manajer-manajer mungkin sedang sibuk dengan segala planning dan target perusahaan mereka.
Mereka yang sederhana, terbelakang dan miskin bertanya apakah arti hidup. Sementara yang kaya sibuk mengurus kekayaan mereka.
Pertanyaan mengenai makna hidup akan cepat atau lambat muncul dalam benak manusia. Sebagian mereka menyadarinya sedari kecil, sebagian lain menyadarinya setelah mendekati kematian. Mungkin orang bisa hidup bertahan lama dikarenakan tidak pernah menanyakan pertanyaan tentang makna hidup. Dan juga orang bisa bunuh diri di usia muda karena menanyakan pertanyaan tentang makna hidup dan tidak mendapat jawabannya.
Entah dalam Kekristenan maupun dalam dunia sekuler, pertanyaan tersebut sering tidak digubris. Gereja pun asyik mengajarkan moralitas semu belaka. Banyak gereja bersuara dengan mengaku memberitakan Firman Tuhan namun ternyata bicara tentang moralitas. Kekristenan tidak identik dengan pemberitaan moralitas, walau tuntutan moralitas bukanlah hal yang sekunder dalam kekristenan. Kekristenan diperhadapkan pada pertanyaan-pertanyaan sederhana namun serius.
“Apakah makna hidup? Mengapakah seseorang harus hidup? Mengapakah seseorang harus mempertahankan hidupnya? Apa tujuan hidup?” Tujuan hidup manusia ada dalam hidup itu sendiri. Hidup itu berharga tak ternilai. Karena hidup itu sedemikian bernilai, maka nilai itu “minta diri” untuk diperhatikan oleh manusia. Nilai hidup itu berteriak, membangunkan alam sadar manusia untuk menyatakan bahwa “Aku, si nilai dari hidupmu ini, adalah bernilai!” Nilai dari hidup itu bukan pertama-tama ada pada diri orang lain, tetapi pertama-tama ada pada diri sendiri! Bila seseorang melihat dirinya sendiri tidak berharga, namun orang lain begitu berharga, ia akan menjadi orang yang minder luar biasa. Atau bila ia menganggap dirinya sendiri tidak ada artinya, namun orang lain sedang menjalani hidup yang berarti, ia akan tidak puas dan bisa memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Hidup yang bernilai ditemukan pertama-tama dengan melihat ke dalam diri dari nilai hidup manusia sendiri, baru setelah itu boleh memandang ke dalam nilai hidup orang lain. Mencari Nilai dari SANG NILAI SEJATI adalah dengan memandang jauh ke dalam diri dan hati, karena disanalah terdapat Roh Allah yang hidup dan bertahta. Bila seorang belum menerima Tuhan Yesus dalam hidupnya, ia tidak akan menemukan Roh Kudus ada di dalam hatinya. Sebenarnya hidup manusia adalah fana saja, kecuali Roh Allah hidup, menghidupi, dan memberi arti kepada kehidupan manusia. Apa artinya gelas bila tidak ada yang namanya air. Bukankah hanya menjadi pajangan saja? Gelas dicipta untuk diisi air. Hidup manusia pun dicipta untuk di isi sesuatu. Dan sesuatu itu bukan kekayaan, materi, kesuksesan, kejayaan, kepopuleran, karena walaupun manusia memang menginginkannya, tetapi terbukti semuanya itu tidak dapat mengisi space hati manusia yang tidak terbatas. Hati manusia hanya bisa dipuaskan oleh Allah Sang Pencipta manusia itu sendiri. Baru setelah manusia di isi oleh keberadaan Tuhan melalui Yesus Kristus, mereka bisa menghasilkan hidup yang berarti dan memberi arti bagi sesamanya…

Jumat, 20 Januari 2012

Siapa mencintai uang?

Pengkhotbah 5:9-19
“Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Ini pun sia-sia. Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya?”
Ayat ini menggambarkan bahwa manusia senantiasa mencari sesuatu yang dianggap dapat memuaskan hatinya. Dan kali ini pilihan objek pemuasnya adalah uang dan kekayaan. Manusia menganggap uang dan kekayaan dapat membuat hati mereka merasa senang dan puas, namun sayang sekali karena pada kenyataannya hati mereka tetap tidak puas. Hati yang tidak puas menyatakan bahwa sebenarnya hati tersebut memiliki suatu space yang dapat menampung segala sesuatu, dan saat uang dan kekayaan “dimasukkan” ke dalam hati, ternyata hati itu tidak menjadi penuh dan mencapai keadaan yang baik. Tetap saja ada kekosongan yang hampa yang membuat hati itu merasa ada sesuatu yang masih kurang, dan yang masih kurang itu apa? Yang jelas bukanlah uang dan kekayaan. Saat manusia mencintai sesuatu, mereka akan mengejar dan mencarinya, dan setelah berusaha untuk mengejar dan mencari, mereka akan menemukan dan mendapatkan. Setelah dapat, mereka mungkin merasa senang sedikit, tetapi tidak terlalu lama. Kemudian manusia ingin untuk mendapatkan kesenangan yang sebentar itu tadi dengan mengejar kekayaan kembali. Kemudian mereka merasakan senang lagi, dan akhirnya kesenangan itu menghilang lagi. Setelah hilang, mereka mencari kesenangan itu lagi. Tidak henti-henti sampai dikatakan bahwa sebenarnya mereka tidak pernah puas. Karena kalau mereka telah benar-benar puas, mereka akan berhenti dan mengatakan cukup. Namun ini tidak terjadi pada diri manusia yang mencintai uang dan kekayaan. Nuansa ini mirip dengan (Pkh 1:8) “… mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar.”
Ini pun sia-sia. Mengapa sia-sia? Pertama, pernyataan ini mau mengatakan apalah gunanya seorang capek-capek mencintai dan mengejar sesuatu namun sesuatu itu tidaklah memberikan kepuasan bagi dirinya. Kedua, mau menyatakan bahwa disini sebenarnya sedang terjadi suatu pengulangan yang tanpa makna. Bila sesuatu itu tidak berarti dan tidak memuaskan, mengapa perlu terus dicari dan dicintai?
Efek langsung dari bertambahnya harta bukanlah bertambahnya kepuasan, kesenangan dan kedamaian. Namun bertambahnya orang yang menghabiskannya. Ini membuat pencarian akan kekayaan ssemakin menjadi sia-sia dan menyedihkan. Karena si pecinta uang dan kekayaan itu berpikir bahwa uangnya yang bertambah ini akan menghasilkan sesuatu yang nikmat bagi dirinya, tetapi ternyata ia salah. Bahkan uang dan kekayaan yang ia hasilkan memberi suatu keuntungan dan kenikmatan bagi orang lain yang bukanlah dirinya. Tadinya ia telah mencintai uang dan kekayaan demi uang tersebut memberi kepuasan dan kesenangan pada dirinya, namun ternyata uang tersebut “lebih memilih” untuk memuaskan orang lain. Ini sangatlah ironi. Kisah seperti ini mirip dengan kisah seorang pemuda yang mencintai seorang gadis, namun gadis ini mencintai orang lain. Sungguh menyedihkan bila seseorang telah tidak mendua hati, tetapi objek cintanya selalu “mendua hati”. Uang tersebut bertambah, namun uang dan kekayaan tersebut ada bersama orang-orang lain yang sedang menghabiskan dan menikmatinya. Inilah kesia-siaan orang yang mencintai uang. Karena yang mereka dapatkan bukanlah kepuasan tetapi malah suatu perasaan cemburu dan kecewa.
“Dan apakah keuntungannya…” Kekayaan yang didapat hanya bisa untuk dilihat dan dipakai. Kalimat “selain daripada / hanya untuk” mau menyatakan fungsi yang tunggal dan sifat ketidakbermaknaan. Ini mengherankan, karena uang dan kekayaan itu ternyata tidak bisa memberikan apa-apa kepada pemiliknya selain hanya untuk dilihat. Fungsinya adalah untuk dinikmati dengan cara dilihat. Hal ini semakin memberi kesan bahwa kekayaan menduduki suatu level yang rendah dalam penilaian si penulis kitab. Dinikmati dengan cara hanya dilihat, tentu lebih rendah dibandingkan dengan: dinikmati dengan cara dipikirkan, direnungkan, dan dihayati. Harta hanya dapat dilihat, tetapi buah pemikiran bisa untuk dipikirkan dan bersentuhan dengan pribadi manusia secara lebih utuh.
“Hanya untuk dilihat.” Mau menyatakan bahwa uang dan kekayaan bersifat benda mati yang tidak berpribadi. Dari sini, sekali lagi uang ditempatkan pada level yang lebih rendah dibandingkan makhluk hidup. Uang tidak dapat diajak berkomunikasi dan berbicara karena ia tidak berpribadi. Kekayaan tidak memberikan manfaat relasional. Dengan kata lain, kekayaan tidak mengisi kebutuhan manusia untuk berelasi. Maka adalah wajar bila kekayaan yang berlimpah akan membuat hati pemiliknya menjadi kosong bila ia menambatkan hatinya pada kekayaan tersebut.
“Hanya untuk dilihat.” Kekayaan ingin mengenyangkan mata yang tidak pernah kenyang untuk melihat. (Pkh 4:8), “… matanya pun tidak puas dengan kekayaan.” Mata manusia bisa melihat bahwa kekayaan yang ia kumpulkan telah banyak dan tertimbun, namun tetap saja ia tidak puas, dan masih ingin mencari dan melihat yang lebih banyak lagi. Sampai kapan? Sampai ia menemukan bahwa segala sesuatunya adalah sia-sia. Sampai ia menemukan bahwa harta benda yang ia kumpulkan ternyata tidak dapat dibawanya ke pada kehidupan yang mendatang.

“Enak tidurnya orang yang bekerja, baik ia makan sedikit maupun banyak; tetapi kekenyangan orang kaya sekali-kali tidak membiarkan dia tidur.”
Orang yang bisa tidur enak adalah orang yang tenang dan damai hatinya dan orang yang sedang lelah. Orang yang enak tidurnya bukan ditentukan apakah dia kenyang atau tidak, juga bukan ditentukan apakah ia dikelilingi oleh banyak benda kesukaannya atau tidak. Orang yang kaya karena kekayaannya, ia dapat membeli apa saja yang ia inginkan. Dan memenuhi isi perutnya dengan makanan-makanan yang enak dalam jumlah yang banyak. Ini sudah cukup bagi si orang kaya, namun sayangnya ia malah menjadi sulit tidur. Sulit tidur karena apa? Apakah karena kekenyangan? Bisa jadi. Tetapi lebih tepatnya adalah karena ia sedang tidak tenang dan damai hatinya. Mengapa tidak tenang? Karena hatinya terlampau mencintai banyak hal. Dan efek cintanya itu membuat dia takut kehilangan apa yang ia cintai. Semakin banyak hal yang ia dapat dan miliki, semakin banyak yang ia cintai, dan ini berarti semakin banyak pula yang membuatnya takut dan kuatir akan kehilangan hal-hal tersebut. Cinta uang yang bersifat egois, akan membuat si pencinta takut kehilangan. Karena memang pada dasarnya cintanya bersifat egois.
“Kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri… sebagaimana ia datang, demikian pun ia akan pergi…”
Penulis Kitab mempertanyakan dan langsung menjawab apakah keuntungan dari orang yang senantiasa hidup dan bekerja untuk memperoleh uang dan kekayaan. Sebenarnya semuanya itu tidak memberikan keuntungan apa-apa pada kehidupan yang akan datang, yaitu kehidupan yang kekal. Kekayaan itu tidak akan ikut menyertai si pemilik kekayaan saat pemiliknya mati. Bahkan seringkali juga tidak meninggalkan apa-apa pada kuturunannya. Masih lebih baik bila kekayaan itu akhirnya diwariskan untuk kepentingan keturunannya, namun kekayaan itu sering dihabiskan oleh orang-orang yang bukan merupakan keluarga dari si pemilik kekayaan. Siapa yang tidak bijak dalam mengelola kekayaannya, pada akhirnya akan tidak meninggalkan apa-apa pada keturunannya.
Hidup yang berorientasi pada kekayaan tidak akan memberikan faedah apapun pada hidup setelah kematian. Disini mau ditekankan, bahwa perkara hidup adalah lebih dari sekedar mengejar kekayaan dan menjadi kaya. Perkara hidup harus ditujukan pada hal yang lebih tinggi dari sekedar mengejar kekayaan. Alangkah baiknya bila hidup manusia membawakan hasil yang dapat dibawanya saat setelah dia mati. Sehingga hidup yang sementara ini dapat memiliki makna yang kekal.
“Malah sepanjang umurnya ia berada dalam kegelapan dan kesedihan, mengalami banyak kesusahan, penderitaan dan kekesalan.”
Ada akibat yang fatal bagi jiwa manusia, bila mereka senantiasa mengejar kekayaan dan tidak menghiraukan perkara hidup yang lain. Kekayaan bukanlah benda yang berpribadi yang dapat mengisi kekosongan jiwa manusia. Bahkan relasi antar manusiapun belum mampu mengisi kekosongan dalam hati manusia. Hati manusia akan merana bila dibiarkan dan tidak diisi dengan sesuatu yang benar.
Manusia akan merasakan bahwa hidupnya gelap, tanpa terang, dan menyedihkan. Kekayaan akan memampukan seseorang mendapatkan dan meraih apa yang sedang ia inginkan. Namun sayang sekali, apa yang diinginkan dari hati seseorang yang gelap selalu memimpin kepada kejahatan dan keberdosaan. Inilah yang membuat hati yang senantiasa mengejar kekayaan akan penuh dengan kesedihan dan kepedihan. Semua ini belumlah akhir dari penderitaan orang yang senantiasa mengejar kekayaan. Untuk dapat mendapatkan kekayaan yang lebih, mereka harus berusaha lebih keras dari orang lain, berjerih lelah lebih keras demi lebih kaya. Dan bila ada lebih dari satu orang yang mencintai kekayaan, mereka akan menjadi rival. Mereka akan bersaing untuk bisa menjadi lebih kaya dari lawannya. Disinilah bahaya dari uang, ia dapat membuat pemiliknya berbangga dan sombong untuk kemudian mendorongnya berhasrat memilikinya lebih banyak lagi.
“Lihatlah, yang kuanggap baik dan tepat ialah, kalau orang makan minum dan bersenang-senang dalam segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah di bawah matahari selama hidup yang pendek, yang dikaruniakan Allah kepadanya, sebab itulah bahagiannya.”
Bekerja bukan untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Bekerja bukan untuk menjadikan hasil yang diperoleh sebagai segala-galanya. Bekerja bukan untuk menjadi lebih kaya. Namun bekerja untuk bisa menikmati hal-hal yang baik.
Daripada mengejar kekayaan yang sia-sia, lebih baik menikmati hasil jerih lelah.
Hidup sebenarnya adalah menantikan kedatangan Kristus. Yang menjadi soal adalah manusia mau mengisi waktu penantiannya dengan berbuat atau tidak berbuat apa.
Hidup mengejar kekayaan penuh dengan kompleksitas penderitaan. Sedangkan hidup berjerih lelah dan menikmati hasil adalah lebih sederhana dan tidak muluk-muluk. Menjalani hidup dengan cara yang sederhana ternyata jauh lebih nikmat dari pada menjalaninya dengan penuh ambisi yang salah.
Menikmati hidup tidaklah salah. Makan minum dan bersenang-senang tidaklah salah. Mengapa? Dan sejauh apa? Bahkan Allah yang memampukan manusia untuk menikmati hidupnya.
Ada orang kaya yang tidak bisa menikmati kekayaannya dan ada yang bisa menikmati kekayaannya. Hal ini karena Tuhan yang membuat mereka demikian.
Tidak sering mengingat umur. Orang yang menghitung-hitung umurnya, biasanya adalah orang yang sedang mengalami penderitaan. Hanya orang yang sedang menderita dengan hebat yang kemudian menginginkan lebih baik mati. Namun orang yang sedang bersenang dalam hatinya, lupa akan waktu yang sedang berlalu.
Waktu itu lambat bagi mereka yang bersedih dan susah. Namun cepat bagi mereka yang bahagia dan senang.

Masihkah Allah Penuh Murka?

Anak yang terhilang itu kembali kepada Bapanya. Andai saja anak itu mengenal sang ayah sebagai ayah yang jahat, bejat, pendendam, angker, mengerikan, dst, pastilah anak ini tidak memilih untuk kembali kepada Bapanya. Kita bersyukur, Bapa ini adalah ayah yang berhati kasih dan penuh kemurahan. Ia tidak mahal hati. Ia tidak hitung-hitungan kepada kesalahan anakNya. HatiNya terlalu luas untuk bisa disita oleh kejengkelan, kekesalan dan kemurkaan pada sang anak durhaka ini. Kita tidak habis pikir, bagaimana Ayah ini bisa menerima kembali anakNya bahkan mengembalikan dia ke posisi asal sebagai anak, lebih lagi memberikan pesta dan kemeriahan bagi peristiwa kembalinya anak ini. Andai saja Allah bukanlah Allah yang penuh kemurahan dan kasih seperti sang Bapa dalam peristiwa ini, mungkin lebih baik kita tidak usah memilih "pulang" kepada Nya setelah berbuat salah dan dosa. Mungkin lebih baik kita tidak usah mengambil resiko untuk menuhankan Nya, karena bila Ia tidak penuh kasih, maka habislah kita! Sekali kita berbuat salah, langsung Ia menghajar kita 2 kali lebih berat dari kesalahan kita. Maafkan, mungkin bahkan 10 kali lebih berat! Jikalau kita orang berdosa ini tidak berani menghampiriNya, tidak berani melayaniNya, tidak berani berdoa padaNya, itu berarti konsep Allah yang kita percayai adalah "Allah yang jahat dan tidak penuh kasih." Mengapa kita takut menghadap Dia? Seharusnyalah kita memilih untuk berlutut di hadapanNya, bahkan setelah berbuat dosa. Karena dosa itu akan membusukkan jiwa manusia sebelum dibersihkan oleh Dia yang telah menebus kita. Barangsiapa selalu takut kepada manusia, ia perlu melihat kepada Allah. Manusia bukan Allah sehingga perlu ditakuti. Allah sendiri menampilkan diriNya dalam rupa yang sangat bersahabat dengan orang-orang berdosa (bukan berarti mendukung orang untuk berdosa). Ia datang ke depan muka Maria si pelacur itu, dan berbicara padanya. Ia bertanya dan bercerita dengan pelacur itu, dengan cara yang sangat tenang, damai, dan tanpa marah-marah. Namun dampaknya menghasilkan pertobatan yang sejati! Siapa bilang dengan kemarahan dapat mempertobatkan orang berdosa? Para nabi marah, karena mereka bukan Allah! Mereka marah, karena mereka merasa bahwa Allah menghendaki mereka marah. Tapi apa benar demikian? Allah bisa marah. Allah bisa murka. Tapi Ia lebih suka diam dan tenang. Mengapa? Karena Ia sudah menyimpan kemarahanNya dalam api neraka. Untuk apa marah-marah lagi? Seolah-olah Allah kelebihan marah. Ia bukan Pemarah! Ia adalah sang Kasih itu sendiri. Lagi pula (hal ini yang jangan sampai lupa) Ia telah menumpahkan "kemarahanNya" pada Kristus dalam peristiwa penyaliban. Maka tuntaslah kemarahan Allah! Tak tersisa! Bila kemarahan itu masih tersisa, berarti Kematian Kristus masih kurang. Kasihan sekali Yesus kalau begitu, karena masih harus menanggung kemarahan berikutnya. Kita bersyukur, karena Allah bukanlah Allah yang suka marah-marah. Kalau pendeta suka marah-marah biarkan saja, karena ia hanya pendeta. Pendeta bukan Tuhan, maka mereka suka marah-marah. Kita bisa memahami mengapa manusia menjadi marah. Tetapi siapa berani mengatakan bahwa ia tahu mengapa Allah marah? Kecuali orang tersebut pernah merasakan menjadi Allah. Bukti bahwa Allah bisa marah itu telah dinyatakan dengan adanya neraka dan dengan kematian Yesus. Namun mengapa Allah marah, lebih sulit dipahami daripada hal sebelumnya. Ada yang mengatakan Allah tersinggung dengan pemberontakan manusia maka Allah marah. Ada yang mengatakan karena Allah begitu suci dan kudus maka Ia membenci dosa. Mengapa Ia harus membenci sesuatu yang mana sesuatu itu ada dengan persetujuanNya bahkan kehendakNya? Bila kita terlalu takut untuk beranggapan bahwa dosa ada dikarenakan Allah menghendaki demikian, maka kita selalu menemukan kebuntuan dalam pemikiran kita, atau setidaknya kita sedang memilih berlaku tidak jujur dengan hati kita sendiri. Bila Allah tidak merancang dosa untuk masuk ke dalam dunia, maka Kristus yang tersalib itu tidak perlu menjalankan misiNya! Kedatangan Kristus, penyaliban Kristus, kematian Kristus dan kebangkitanNya adalah Rencana Allah yang maha sempurna! Itu semua tidak boleh tidak terjadi. Itu semua harus terjadi. Bila ada yang bisa membantahnya berarti orang tersebut bisa mengubah sejarah, yaitu sejarah kedatangan Kristus! Siapa yang bisa membatalkan karya Kristus? Tidak ada! Bahkan Yesus sendiri menyetujui seluruh rencana Allah Bapa. Berarti sedari awal, di dalam kekekalan, Kristus telah setuju bahwa dunia ini akan "dimasuki" oleh dosa! Kristus sendiri setuju ada dosa. Allah sendiri merancangkan dosa masuk ke dunia. Dan tanpa kehendakNya tidak ada apapun boleh terjadi. Tanpa kehendakNya, dosa tidak mungkin ada. Tanpa kehendakNya pun, tidak ada manusia yang bisa selamat. Masih ngeri kah kita mengatakan bahwa Allah adalah perencana adanya dosa? Atau lebih baik kita "memakai" rupa Hawa saja yang menyalahkan ular karena masuk ke dalam taman? Walaupun demikian, Allah bukanlah pencipta dosa! Ini yang menyulitkan kita untuk bisa lebih memahami. Namun dengan melihat sang Bapa pengampun terhadap manusia berdosa, cukup membuat kita bersyukur dan berlutut padaNya. Kita menyembah Dia, karena Ia adalah Allah yang kasih adanya. Kita berani berlutut padanya dengan kepala tersungkur ke tanah, karena kita tahu bahwa kepala kita tidak akan Ia hajar dengan tongkat besi. Malahan Ia mengangkat kita dan kemudian memeluk kita dan kemudian memakaikan kita baju putih bersih dan kemudian menjamu kita pesta dan kemudian memberikan kita cincin emas dan kemudian... ... Semua itu tidak mungkin bila Ia bukan KASIH.