Jumat, 20 Januari 2012

Masihkah Allah Penuh Murka?

Anak yang terhilang itu kembali kepada Bapanya. Andai saja anak itu mengenal sang ayah sebagai ayah yang jahat, bejat, pendendam, angker, mengerikan, dst, pastilah anak ini tidak memilih untuk kembali kepada Bapanya. Kita bersyukur, Bapa ini adalah ayah yang berhati kasih dan penuh kemurahan. Ia tidak mahal hati. Ia tidak hitung-hitungan kepada kesalahan anakNya. HatiNya terlalu luas untuk bisa disita oleh kejengkelan, kekesalan dan kemurkaan pada sang anak durhaka ini. Kita tidak habis pikir, bagaimana Ayah ini bisa menerima kembali anakNya bahkan mengembalikan dia ke posisi asal sebagai anak, lebih lagi memberikan pesta dan kemeriahan bagi peristiwa kembalinya anak ini. Andai saja Allah bukanlah Allah yang penuh kemurahan dan kasih seperti sang Bapa dalam peristiwa ini, mungkin lebih baik kita tidak usah memilih "pulang" kepada Nya setelah berbuat salah dan dosa. Mungkin lebih baik kita tidak usah mengambil resiko untuk menuhankan Nya, karena bila Ia tidak penuh kasih, maka habislah kita! Sekali kita berbuat salah, langsung Ia menghajar kita 2 kali lebih berat dari kesalahan kita. Maafkan, mungkin bahkan 10 kali lebih berat! Jikalau kita orang berdosa ini tidak berani menghampiriNya, tidak berani melayaniNya, tidak berani berdoa padaNya, itu berarti konsep Allah yang kita percayai adalah "Allah yang jahat dan tidak penuh kasih." Mengapa kita takut menghadap Dia? Seharusnyalah kita memilih untuk berlutut di hadapanNya, bahkan setelah berbuat dosa. Karena dosa itu akan membusukkan jiwa manusia sebelum dibersihkan oleh Dia yang telah menebus kita. Barangsiapa selalu takut kepada manusia, ia perlu melihat kepada Allah. Manusia bukan Allah sehingga perlu ditakuti. Allah sendiri menampilkan diriNya dalam rupa yang sangat bersahabat dengan orang-orang berdosa (bukan berarti mendukung orang untuk berdosa). Ia datang ke depan muka Maria si pelacur itu, dan berbicara padanya. Ia bertanya dan bercerita dengan pelacur itu, dengan cara yang sangat tenang, damai, dan tanpa marah-marah. Namun dampaknya menghasilkan pertobatan yang sejati! Siapa bilang dengan kemarahan dapat mempertobatkan orang berdosa? Para nabi marah, karena mereka bukan Allah! Mereka marah, karena mereka merasa bahwa Allah menghendaki mereka marah. Tapi apa benar demikian? Allah bisa marah. Allah bisa murka. Tapi Ia lebih suka diam dan tenang. Mengapa? Karena Ia sudah menyimpan kemarahanNya dalam api neraka. Untuk apa marah-marah lagi? Seolah-olah Allah kelebihan marah. Ia bukan Pemarah! Ia adalah sang Kasih itu sendiri. Lagi pula (hal ini yang jangan sampai lupa) Ia telah menumpahkan "kemarahanNya" pada Kristus dalam peristiwa penyaliban. Maka tuntaslah kemarahan Allah! Tak tersisa! Bila kemarahan itu masih tersisa, berarti Kematian Kristus masih kurang. Kasihan sekali Yesus kalau begitu, karena masih harus menanggung kemarahan berikutnya. Kita bersyukur, karena Allah bukanlah Allah yang suka marah-marah. Kalau pendeta suka marah-marah biarkan saja, karena ia hanya pendeta. Pendeta bukan Tuhan, maka mereka suka marah-marah. Kita bisa memahami mengapa manusia menjadi marah. Tetapi siapa berani mengatakan bahwa ia tahu mengapa Allah marah? Kecuali orang tersebut pernah merasakan menjadi Allah. Bukti bahwa Allah bisa marah itu telah dinyatakan dengan adanya neraka dan dengan kematian Yesus. Namun mengapa Allah marah, lebih sulit dipahami daripada hal sebelumnya. Ada yang mengatakan Allah tersinggung dengan pemberontakan manusia maka Allah marah. Ada yang mengatakan karena Allah begitu suci dan kudus maka Ia membenci dosa. Mengapa Ia harus membenci sesuatu yang mana sesuatu itu ada dengan persetujuanNya bahkan kehendakNya? Bila kita terlalu takut untuk beranggapan bahwa dosa ada dikarenakan Allah menghendaki demikian, maka kita selalu menemukan kebuntuan dalam pemikiran kita, atau setidaknya kita sedang memilih berlaku tidak jujur dengan hati kita sendiri. Bila Allah tidak merancang dosa untuk masuk ke dalam dunia, maka Kristus yang tersalib itu tidak perlu menjalankan misiNya! Kedatangan Kristus, penyaliban Kristus, kematian Kristus dan kebangkitanNya adalah Rencana Allah yang maha sempurna! Itu semua tidak boleh tidak terjadi. Itu semua harus terjadi. Bila ada yang bisa membantahnya berarti orang tersebut bisa mengubah sejarah, yaitu sejarah kedatangan Kristus! Siapa yang bisa membatalkan karya Kristus? Tidak ada! Bahkan Yesus sendiri menyetujui seluruh rencana Allah Bapa. Berarti sedari awal, di dalam kekekalan, Kristus telah setuju bahwa dunia ini akan "dimasuki" oleh dosa! Kristus sendiri setuju ada dosa. Allah sendiri merancangkan dosa masuk ke dunia. Dan tanpa kehendakNya tidak ada apapun boleh terjadi. Tanpa kehendakNya, dosa tidak mungkin ada. Tanpa kehendakNya pun, tidak ada manusia yang bisa selamat. Masih ngeri kah kita mengatakan bahwa Allah adalah perencana adanya dosa? Atau lebih baik kita "memakai" rupa Hawa saja yang menyalahkan ular karena masuk ke dalam taman? Walaupun demikian, Allah bukanlah pencipta dosa! Ini yang menyulitkan kita untuk bisa lebih memahami. Namun dengan melihat sang Bapa pengampun terhadap manusia berdosa, cukup membuat kita bersyukur dan berlutut padaNya. Kita menyembah Dia, karena Ia adalah Allah yang kasih adanya. Kita berani berlutut padanya dengan kepala tersungkur ke tanah, karena kita tahu bahwa kepala kita tidak akan Ia hajar dengan tongkat besi. Malahan Ia mengangkat kita dan kemudian memeluk kita dan kemudian memakaikan kita baju putih bersih dan kemudian menjamu kita pesta dan kemudian memberikan kita cincin emas dan kemudian... ... Semua itu tidak mungkin bila Ia bukan KASIH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar