Masa Transisi Modern-Postmodern di
Indonesia
Di
dalam masa transisi antara zaman modern ke zaman postmodern, kita mendapati
bahwa kekristenan memiliki suatu cara yang unik di dalam melakukan
pendekatannya terhadap dunia. Pendekatan yang dilakukan dengan memberikan suatu
pembuktian yang valid terhadap realita iman kristen dirasakan masih berfungsi
untuk diterapkan di dalam zaman kita di Indonesia. Namun bila kita
memperhatikan spiritualitas yang berkembang diantara kebanyakan orang di
Indonesia, spiritualitas yang dominan adalah spiritualitas yang bercirikan
spiritualitas postmodern, yaitu dimana manusia sedang berusaha mencari suatu
arti, makna, dan kerohanian ke dalam diri mereka sendiri. Hal ini sudah menjadi
suatu ciri yang mengakar pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
Orang Jawa berusaha mengembangkan
suatu kerohanian yang “melihat” ke dalam diri sedalam-dalamnya dari batin
mereka. Sehingga untuk mendapatkan pengalaman “bersama dengan Tuhan” mereka
mengusahakan suatu gaya hidup yang tenang, bersemedi, berdoa dan
mengintrospeksi diri sebagai suatu cara untuk meningkatkan kerohanian. Dari dua
kenyataan ini, dimana Indonesia masih berada di dalam bayang-bayang dunia
“modern” secara konsep pikir dan berada di dalam spiritualitas postmodern, maka
tidaklah mudah untuk melakukan diskusi dengan mereka. Karena secara tidak sadar
atau sadar, mereka selalu menuntut suatu pembuktian yang logis terhadap iman
kristen, sedangkan sebenarnya mereka sendiri menjalani suatu spiritualitas yang
tidak bersesuaian dengan konsep pikir modern yang mereka miliki. Disinilah
kekristenan mendapatkan suatu tantangan yang unik yang tidak biasanya dihadapi.
Bila “musuh” kekristenan adalah
konsep pikir modern, maka pendekatan yang dapat kekristenan lakukan adalah
jelas, yaitu dengan memberikan suatu argumen yang kuat yang bersifat analitis
dan masuk akal. Demikian juga bila kekristenan menghadapi postmodern,
kekristenan dapat melakukan pendekatan dengan menyuarakan klaim-klaim iman/
kebenaran yang dimiliki, karena sebenarnya setiap klaim/ argumen-argumen
memiliki kesamaan validitas. Sebagaimana diungkapkan oleh Sire, “Dengan
postmodern ini, tidak ada satu kisah tertentu yang memiliki lebih banyak
kredibilitas dibandingkan dengan kisah lain manapun. Semua kisah sama-sama
absahnya.”[1] Namun
akan menjadi agak rumit bila kekristenan menghadapi komunitas yang “abu-abu”
dimana konsep pikir mayoritas adalah modern sedangkan spiritualitas yang
berlaku adalah postmodern.
Saya berharap observasi yang saya
lakukan kali ini, dapat memberikan suatu solusi terhadap permasalahan semacam
ini. Saya akan terlebih dahulu memberikan pengenalan/ pengantar terhadap
realita masyarakat Indonesia, terkhusus masyarakat Jawa. Kemudian mencoba
mencari posisi untuk bisa melakukan pendekatan terhadap realita yang ada
berkaitan dengan kekayaan iman kristen yang ada.
Observasi Franz M. Suseno terhadap
realitas orang Jawa
"Suatu pertemuan hanya akan berhasil apabila
merupakan komunikasi dua arah. Yang memberi sekaligus menerima, dan yang
menerima sekaligus memberi. Begitu pula pertemuan antara Injil dengan sebuah
kebudayaan hanya berhasil apabila terjadi komunikasi dua arah."[1]
Demikianlah kalimat pembuka dari Franz Magnis Suseno pada tema Religiositas
Jawa dan Injil.
Orang
jawa memiliki konsep "kesatuan dengan Tuhan" yang cukup kuat. Konsep
itu terbentuk salah satunya dari kisah Dewaruci. Dimana Bima (seorang
pengembara yang mencari air hidup) bertemu dengan Dewaruci (Penjelmaan Yang
Maha Kuasa-dengan wujud mirip Bima), dan Bima masuk ke dalam batin Dewaruci,
disitulah Bima bertemu dengan Yang Ilahi dan bersatu denganNya (manunggaling kawula Gusti).
Peristiwa
kesatuan dengan Tuhan ini terjadi di saat manusia masuk ke dalam semedi dan
tapa. Pertemuan ini terjadi ketika manusia masuk ke kedalaman batinnya sendiri.
Franz Magnis mengungkapkan demikian, "Adalah keyakinan paling mendalam
religiositas Jawa bahwa manusia pada dasar dirinya mencapai dasar dari
segala-galanya: pada dasar suksmanya manusia sampai pada Hyang Suksma. Dengan
tembus sampai pada dasar dirinya yang sebenarnya manusia sampai pada tujuan
hidupnya, persatuan dengan asal-usulnya sendiri (sangkan paraning dumadi), dengan Yang Ilahi. Ia mencapai 'kesatuan
hamba Tuhan' (manunggaling kawula Gusti)."
Konsep
persatuan dengan Tuhan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa memang mempermudah
kekristenan untuk dapat masuk dan diterima oleh orang Jawa. Pendekatan yang
dapat dilakukan oleh orang kristen terhadap orang Jawa bukanlah dengan cara
memberikan suatu penegasan yang bersifat teoritis, apalagi dengan menggunakan
cara berdebat. Hal ini dikarenakan orang Jawa sangat menghargai keharmonisan
dalam berelasi.
Unsur
berikutnya yang perlu diperhatikan untuk membawa Injil dapat diterima oleh
orang Jawa adalah unsur perasaan. Orang Jawa menginginkan bahwa agama itu dapat
dialami dan dirasakan secara mendalam. Itu sebabnya Franz Magnis memberikan
masukan bagi kekristenan untuk dapat mengembangkan dimensi yang bersifat kebatinan. Dimensi yang ia maksudkan
adalah suatu peristiwa yang terjadi di dalam hati manusia. Sebagai contoh,
orang kristen mengajarkan untuk dapat berdoa di dalam hati, dimana di dalam doa
tersebut seseorang dapat merasakan kehadiran Allah di dalam dirinya. Demikian
juga orang kristen katolik memiliki tempat-tempat yang tenang untuk berdoa dan
bersemedi, di tempat itulah mereka dapat lebih merasakan kehadiran Tuhan di
dalam hati mereka.
Hal
kedua yang menjadi penekanan Franz Magnis adalah kekristenan perlu
mengembangkan dimensi liturgi. Dimensi liturgi yang ia maksudkan adalah suatu
bentuk ibadah yang berkaitan dan menggunakan simbol-simbol seperti dupa,
patung, gambar-gambar, jalan salib, dan sejenisnya. Karena melalui
simbol-simbol inilah (menurut pengamatannya) Tuhan dapat terhubung dengan
pengalaman manusia. Barangkali hal inilah yang menyebabkan Katolik dapat lebih
mudah diterima oleh orang Jawa dibandingkan dengan kekristenan Ortodox. Karena
banyak praktek dalam kekristenan yang berusaha untuk menanggalkan segala
simbol-simbol yang tidak perlu dalam agamawi.
Hal
berikutnya yang dapat membuat Injil lebih mudah diterima oleh orang Jawa adalah
bila orang Kristen yang memberitakan Injil itu juga memiliki kesaksian hidup
yang baik, terkhusus di dalam hal cinta kasihnya kepada sesama. Tanpa kasih
yang sejati, pekabaran Injil hanyalah menjadi slogan yang tidak jujur. Namun
bila Injil diberitakan dengan kasih, maka hal itu akan sungguh-sungguh menjadi
perwujudan kasih seorang kristen terhadap Tuhan dan sesama.
Ada
beberapa problem yang perlu dipikirkan orang-orang kristen ketika berhadapan
dengan konsep-konsep orang Jawa yaitu: Pertama, kebudayaan bersemedi dan
bertapa yang dilakukan oleh orang Jawa memiliki kecenderungan makna bahwa
manusia yang mampu berkonsentrasi dengan baik dan kuat di dalam semedi-lah yang akan dapat bertemu dan
merasakan Tuhan. Hal ini bertentangan dengan teologi kristen dimana yang
diterima Tuhan bukanlah mereka yang kuat namun mereka yang lemah dan mau
berserah kepadaNya. Karena keselamatan itu adalah tergantung kepada Tuhan dan
bukannya kepada manusia yang lemah.
Kedua,
orang Jawa tidak terlalu memikirkan konsep dosa dan kebersalahan manusia kepada
Tuhan. Konsep kebersalahan yang mereka miliki adalah sejauh yang diungkapkan
Franz Magnis, “Orang Jawa percaya bahwa
kita tidak dapat meningal dengan lancar apabila masih ada orang yang dendam
dengan kita.”[2]
Maka konsep kebersalahan mereka terhadap Tuhan tidaklah terlalu kentara. Ini yang membuat Injil perlu
menegaskan tentang arti keberdosaan manusia terhadap Tuhan. Melalui Injil,
orang Jawa dapat mengerti kecenderungan mereka yang menutup-nutupi kesalahan,
dan mendorong mereka untuk terbuka dan mengaku diri mereka berdosa adanya di
hadapan Tuhan.
Implikasi dari Pemikiran Suseno
Apabila
observasi yang dilakukan Franz M. Suseno cukup mewakili bagi realitas
masyarakat Jawa, maka ini berarti masyarakat Jawa memiliki “dimensi” perasaan/ sense yang lebih kuat daripada dimensi
rasio. Walau bukan berarti orang Jawa adalah orang-orang yang tidak menggunakan
rasio. Namun diantara kedua kecenderungan yang dimiliki, kecenderungan mereka
lebih banyak mempergunakan aspek-aspek yang berkait dengan fungsi senses. Bila demikian, kekristenan dapat
masuk dengan lebih mudah ke aspek-aspek spiritualitas yang mereka miliki dengan
menawarkan suatu kerohanian yang alkitabiah dibandingkan dengan menawarkan
suatu konsep pikir kristen yang kuat. Namun tidak kemudian pendekatan ini dapat
kita jadikan suatu cara yang selalu dapat dipakai ketika kita melakukan
pendekatan terhadap orang Jawa. Karena diantara mereka dapat saja ada
orang-orang yang masih mengutamakan suatu argumen yang kuat dan masuk akal sebelum
mereka dapat menerima sesuatu yang dinamakan “kebenaran”.
Peran bahasa dalam memperkembangkan kekristenan
Sebagaimana
bahasa adalah milik dari semua orang, demikian juga Kekristenan adalah milik
dari semua orang. Adam English menuliskan, “Christianity
open to all people; anyone can ‘join.’ The message is not owned by any one
person or group; it is free to all who have ears to hear and tongues to speak.”[3]
Jikalau kekristenan menyadari hal ini dan menggunakan pendekatan ini untuk
‘memasukkan’ story kristen ke dalam
dunia, maka kekristenan memiliki kesempatan yang besar untuk dapat diterima
oleh dunia. Namun sangat disayangkan, para theolog kristen lebih memilih jalan
arogansi, dengan menyatakan dan berkata-kata seolah-olah kekristenan hanyalah
milik dari sekelompok kaum minoritas yang unggul di dalam hal moral, doktrin,
dsb, yang pada akhirnya membuat kekristenan hanya ‘bermain’/ mempengaruhi
sesama lapisan kristen dan sulit untuk menembus lapisan yang belum kristen.
Demikian juga kekristenan
membutuhkan suatu language yang kuat
yang dapat bersaksi kepada dunia tentang iman yang mereka miliki. Namun untuk
memiliki language yang kuat, orang
kristen membutuhkan suatu latihan, seperti bahasa dipelajari oleh seorang
anak-anak maupun seorang dewasa, demikianlah language yang mewakili kekristenan membutuhkan waktu untuk
dipelajari oleh seorang kristen. English mengungkapkannya dengan cara demikian,
“With time and devotion and the Spirit’s
nurturing help, the learner becomes competent in the language.”[4]
Melalui kemampuan untuk berbahasa inilah (dimana di dalamnya ada grammar,
repetition, vocabulary) seorang kristen dapat mengungkapkan klaim-klaim
kristennya dengan jelas kepada dunia. Sebagaimana corak spiritualitas zaman
kita yang diwarnai dengan postmodern, maka klaim-klaim tersebut akan memberikan
suatu alternatif yang kuat untuk dipertimbangkan sebagai pilihan di dalam bagaimana
seseorang menentukan imannya.
Maka untuk dapat menjadikan
kekristenan sebagai story yang kuat dan dapat dipertimbangkan oleh suatu
komunitas sebagai pilihan yang unggul, kekristenan perlu menampilkan kekayaan
yang ada di dalamnya dengan menggunakan language
yang powerfull dan memadai. Dengan
demikian, kekristenan tidak perlu menjadi takut untuk melakukan engagement dengan berbagai pandangan di
zaman ini. Asalkan kita memiliki rangkaian argumen yang baik dan memadai dengan
story yang kuat di dalamnya, maka
kita dapat memberikan suatu perubahan di dalam mindset dan believe manusia. Namun semua itu membutuhkan suatu
kedisiplinan dan ketekunan dalam mempertumbuhkan talent yang Tuhan sudah berikan kepada setiap orang kristen. Disinilah
peran language dalam memberikan
kontribusi bagi berkembangnya kekristenan di zaman kita.
English menganalogikan kekristenan
dengan language, yang mana akan
berfungsi ketika hal itu dibagikan kepada sesama. Christian faith that is never expressed or communicated or matured soon
disintegrates and disappears.”[5]
Demikian English menggambarkannya. Ketika iman kristen itu tidak pernah
dibagikan kepada suatu komunitas (baik itu di dalam gereja ataupun diluar
gereja) maka iman itu akan lama-kelamaan hilang dan lenyap. Dengan kondisi yang
seperti ini, kita menjadi merasa perlu untuk membagikan iman kristen kita
kepada orang lain. Bukan hanya demi orang lain mendapatkan berkat dan pengaruh
yang baik dari iman tersebut, tetapi juga agar iman itu tidak menjadi mati
karena hanya berdiam dan tidak bertumbuh di dalam diri kita.
Namun kita perlu melihat adanya
suatu reduksi yang mungkin terjadi di dalam kita menganalogikan secara mutlak kaitan antara
kekristenan dan bahasa. Karena sebenarnya kekristenan tidak dapat dianalogikan
dengan satu model yang mewakili keseluruhan ‘wajah’ kekristenan. Ketika kita
berkata bahasa akan sangat membantu untuk memasukkan kekristenan ke dalam
kebudayaan, kita hendaknya tidak lupa bahwa bahasa dapat saja hanya menjadi
suatu permainan atau ‘perhiasan’ yang menipu atau tidak mewakili diri kristen
yang sebenarnya. Bahasa dapat menjadi suatu retorika yang persuasif tanpa
disertai oleh Spirit yang mengisi
kekristenan tersebut. Dan inilah salah satu kebahayaan seorang kristen yang
mengembangkan retorikanya dengan baik, namun tidak memperdulikan content yang sejati dari kekristenan.
English mengungkapkannya demikian, “I did
not play games with you or trick you with rhetoric. The kingdom of God is not
built on words, but actions. Christianity is not so many words, but power and
reality.”[6]Betapa
kita mudah tertipu dengan kemampuan retorika yang sepertinya meyakinkan dan
menarik, namun belum tentu memiliki konten yang sejati yang dapat mewakili
kekristenan. Disinilah kita membutuhkan
suatu power dari Roh Kudus di dalam
kita memakai language yang kita
miliki. Sehingga di dalam kita memberikan suatu kesaksian kepada orang di
sekita kita, kesaksian itu tidak kemudian menjadi suatu argumen yang tidak
berdaya, yang tidak menyentuh hati manusia. Namun dengan dipimpin dan disertai
Roh, sound dari language yang kita keluarkan akan dapat menggema di dalam hati
manusia.
Kita juga perlu berhati-hati dengan language yang kita kuasai dan pakai di
dalam kita melakukan deal dengan
dunia. Karena iman kristen bukanlah suatu produk dari pikiran manusia. Iman
kristen bukanlah sekedar suatu konsep pikir semata. Iman kristen itu adalah suatu pemberian dari
Tuhan yang beranugerah kepada manusia. English mengkuatirkan analogy language akhirnya membawa manusia
terjebak ke dalam suatu aksi yang salah terhadap divine reality. Karena itu hendaknya kita sadar, bahwa language yang kita pakaipun dapat
menjadi suatu reduksi bagi iman kristen, bila kita menganggap kekristenan sudah
dapat terwakili secara penuh hanya dari analogy bahasa.
Kesadaran yang kita butuhkan
Kekristenan
yang telah memiliki kekayaan di dalam story,
dan telah memiliki kemampuan di dalam language,
tetap perlu memperhatikan spirit
yang mendominasi di dalam dunia atau suatu komunitas. Berhubung cara pikir yang
mendominasi zaman kita masihlah suatu cara pikir yang bersifat scientific, maka kita perlu memperkuat
aspek analitis di dalam cara berpikir. Ini dikarenakan zaman kita di Indonesia
masih mengejar suatu kemajuan/ pencapaian di dalam banyak aspek, terkhusus di
dalam hal ekonomi dan teknologi. Maka pikiran yang didominasi oleh scientific tidak dapat dihindarkan di
zaman kita. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Michael W. Goheen, “Scientific reason was to be universal, to
transcend human culture and history, to discern such law as are true for all
people at all times.”[7]Maka
untuk dapat membawa manusia modern mau memperimbangkan iman kristen, kita perlu
mempelajari sejarah pemikiran berkembangnya dunia modern. Hal-hal apa yang
menjadi “tuhan” di dalam zaman tersebut dan mengapa. Kemudian kita menghadirkan
kekristenan sebagai alternatif yang masuk akal dan logis dengan menyertakan
pembuktian iman kristen tersebut di dalam realita. Dengan begini, manusia tidak
menganggap bahwa iman kristen adalah iman yang abstrak dan dipenuhi mitos-mitos
tidak masuk akal, walaupun memang ada unsur yang tidak masuk akal di dalam iman
tersebut, namun belumlah saatnya kita membukakan “jati diri” keseluruhan dari
iman kristen kepada dunia. Melalui cara-cara seperti ini, kita belajar
bagaimana berbijaksana di dalam menjadi saksi bagi Kristus dan bagi iman yang
kita miliki.
Sambil kita membangun suatu konsep
pikir yang valid dan kehidupan iman yang bertumbuh, kita hendaknya selalu
mengingat bahwa seluruh usaha kita tidak hanya perjuangan intelektual semata,
sebagaimana English mengungkapkan, “The
Christian faith is not the product of human minds, but the gift of the
almighty’s revelation and grace.”[8]
[1]
Franz Magnis Suseno, Beriman dalam
Masyarakat, pp. 193.
[2]
Franz Magnis Suseno, Beriman dalam
Masyarakat, pp. 205.
[3]
Adam C. English, Theology Remixed, pp.
80.
[4]
Ibid., pp. 81.
[5]
Adam C. English, Theology Remixed, pp
83.
[6]
Adam C. English, Theology Remixed,
pp. 84.
[7]
Michael W. Goheen and Craig G. Bartholomew, Living
at the Crossroads, pp. 93.
[8]
Adam C. English, Theology Remixed, pp.
84.