Jumat, 28 Februari 2014

Dosa Turunan
(Manusia seharusnya menyadari keadaan mereka yang sebenarnya)
Manusia haruslah mengenal dirinya sendiri, pengertian ini sudah pernah diungkapkan di dalam prasasti yang berisi peribahasa pada kuil Apollo di Delphi (Yunani). “Kenallah dirimu”, demikian isi dari peribahasa tersebut. Mengenal diri menjadi suatu keharusan bagi manusia. Konsep mengenal diri yang dimaksudkan oleh peribahasa kuno itu memiliki perbedaan bila dibandingkan dengan konsep kristen tentang mengenal diri. Mengenal diri di dalam pengertian Calvin adalah berkaitan dengan mengetahui status dan keadaan manusia ketika ia dicipta oleh Tuhan sebelum peristiwa kejatuhan. Keadaan itu sedemikian mulianya dan membawa kita menyadari anugerah-Nya begitu besar bagi manusia ketika itu. Bila manusia tidak jatuh ke dalam dosa, maka betapa mulianya keadaan manusia saat itu. Keadaan yang penuh dengan kemuliaan ini juga membawa orang percaya menyadari bahwa segala yang mereka miliki bukanlah milik mereka sendiri, namun segala yang manusia miliki adalah milik Tuhan yang mencipta manusia. Kesadaran ini akan membuat manusia memiliki perasaan rendah hati di hadapan Tuhan, karena sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang dapat kita banggakan di hadapan-Nya.
Pengenalan diri ini sangat berkait dengan pengertian akan kapasitas kemampuan manusia. Mengerti kemampuan diri sendiri berarti mengerti terlebih dahulu ketidakmampuan yang manusia miliki. Jikalau manusia hanya mengerti kehebatannya dan kemampuannya saja, manusia akan begitu mudah jatuh kepada kesombongan yang juga merupakan penyebab Adam jatuh ke dalam dosa. Mengenal diri adalah pertama mengenal kemampuan kita di dalam ketidakmampuan yang kita miliki. Manusia yang menyadari kekurangan dan ketidakmampuannya akan lebih mudah rendah hati dibandingkan mereka yang tidak sadar kekurangannya. Yang sadar akan kekurangan dan ketidakmampuannya akan lebih mudah untuk taat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan dibandingkan dengan mereka yang tidak sadar kekurangannya. Kekurangan dan ketidakmampuan ini bukan hanya sekedar suatu kelemahan kepribadian atau sejenisnya, namun kekurangan ini berkait lebih erat kepada kesadaran akan keberdosaan yang manusia miliki di dalam dirinya.
Perenungan: Di dalam setiap keputusan di dalam hidup manusia, manusia senantiasa dipengaruhi oleh pengenalannya akan diri sendiri di dalam mengambil keputusan apapun (secara sadar atau tidak sadar). Misalkan dalam kasus memutuskan untuk menikah. Seseorang yang tidak menyadari kekurangannya dan kelemahannya akan merasa tidak perlu untuk menikah. Seorang yang merasa dirinya baik, tidak akan sadar bahwa dirinya membutuhkan orang lain untuk memperlengkapi hidupnya. Bahkan orang seperti ini, di saat memilih pasangan akan cenderung menetapkan standar yang mendekati sempurna, padahal ia sendiri tidaklah sempurna. Orang yang merasa dirinya baik dan tidak bermasalah, akan menuntut orang lain untuk lebih baik dari dirinya. Problem seperti ini akan menjadi tak terhindarkan bila seseorang tidak menyadari kekurangan dan ketidakmampuannya sendiri.
Berbeda halnya dengan seorang yang menyadari kekurangan dan kelemahannya dengan baik, ia tidak akan mudah untuk menuntut orang lain lebih baik dibanding dirinya sendiri. Sikap hati seperti ini juga sangat penting di dalam relasi antara manusia dengan Tuhan. Manusia yang sadar dirinya rusak, jahat, bersalah, dan berdosa akan lebih mudah meminta dan menerima pengampunan dari Tuhan dibandingkan orang yang hanya sadar akan kebaikannya sendiri. Kasus seperti ini dapat kita lihat pada kisah tentang doa orang Farisi dan pemungut cukai, dimana Allah memilih untuk menerima doa pemungut cukai ketimbang doa orang Farisi yang penuh dengan membanggakan diri.

Dosa Turunan
Keberadaan pohon tentang yang baik dan jahat dimaksudkan untuk menjadi pengujian bagi ketaatan Adam. Namun Adam gagal menunjukkan ketaatannya kepada Allah. Adam gagal menaati Allah karena ia tergoda untuk mendapatkan “kedudukan/posisi” yang lebih baik dari yang ia sudah terima sebelumnya. Maka Adam jatuh justru karena ia melihat ke “tempat yang lebih tinggi” dari posisi yang sudah ia miliki. Hal ini diungkapkan dengan baik oleh Pdt. Stephen Tong dengan istilah “jatuh ke atas”.
Keberdosaan Adam ini terjadi karena ia mau melepaskan diri dari kekuasaan Penciptanya. Sebelum kejatuhan, Adam memiliki relasi yang baik dengan Tuhannya, yang menjadi dasar dari kerohaniannya. Namun setelah kejatuhan, relasi persahabatan itu menjadi rusak dan menyebabkan kematian bagi jiwanya. Kejatuhan Adam yang berakibat kematian ini akhirnya diwariskan kepada seluruh keturunan Adam. Pelagius tidak menyetujui konsep dosa turunan yang dikemukakan oleh Calvin. Ia menawarkan suatu pengertian lain, yaitu keturunan Adam berdosa bukan karena mereka memiliki nenek moyang yang telah menjadi wakil bagi keberdosaan mereka. Namun manusia berdosa adalah karena manusia meniru keberdosaan Adam. Dalam hal ini Pelagius membedakan tindakan “meniru dosa Adam” dengan konsep keberdosaan yang diturunkan/ diwariskan. Jadi Pelagius memang menolak pengertian dosa yang diturunkan dari Adam.
Sedangkan posisi Calvin jelas dalam hal dosa yang diturunkan oleh Adam. Calvin berpendapat bahwa anak-anak pun (yang meski belum menghasilkan perbuatan berdosa) telah memiliki benih dosa di dalam diri mereka. Dari benih dosa ini, nantinya seorang anak akan bertumbuh menjadi manusia yang juga akan melakukan dosa di dalam hidupnya.
Kemudian Calvin membantah mereka yang memiliki konsep bahwa keberdosaan dan kecemaran manusia adalah merupakan pekerjaan Allah. Calvin memberikan pengertian yang berbeda dalam hal ini, yaitu keberdosaan manusia adalah memang dikarenakan “kedagingan” yang manusia miliki, dengan demikian dosa itu bukan berasal dari Allah, apalagi sampai mengatakan bahwa dosa itu diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini orang percaya harus berhati-hati dalam mengambil fokus perhatian mereka.
Perenungan: Allah memang “memakai” dosa untuk menggenapi rencana di dalam karya Kristus. Namun bukan berarti bahwa Allah berutang pada dosa, seolah-olah tanpa keberadaan dosa Allah tidak mampu menggenapi rencana-Nya yang mulia. Karena sebenarnya: kemuliaan tidaklah bergantung pada ketidakmuliaan. Kemudian, di dalam kasus “Allah menetapkan dosa” kita harus memfokuskan perhatian pada Karya Penyelamatan yang Kristus lakukan bagi orang-orang percaya, dan bukannya pada “keharusan akan adanya dosa”. Maka akan lebih tepat bila kita tidak hanya mengatakan bahwa “Allah menetapkan dosa”, namun yang lebih baik adalah bahwa Allah merencanakan Karya Penebusan yang akan dikerjakan oleh Kristus di dalam sejarah. Nada kalimat “Allah menetapkan dosa” dengan “Allah menetapkan Kristus hadir” adalah sangat berbeda, walaupun tidak berarti bahwa pengertian yang pertama adalah salah.
Kemudian kita perlu memperhatikan sikap berandai-andai yang tidaklah sepatutnya kita miliki sebagai seorang kristen yang saleh. Misalkan kita berandai-andai bahwa Allah seharusnya mencegah kejatuhan Adam dengan suatu cara tertentu, dengan demikian tentulah keadaan manusia akan lebih baik. Hal seperti ini tidak perlu dilakukan oleh orang percaya, karena memang pada faktanya adalah Allah tidak mencegah kejatuhan Adam. Sikap berandai-andai seperti ini dihindari oleh Calvin, dan ia menyebutnya sebagai sikap ingin tahu yang terlalu nekad.

Dosa dan Kebebasan Kehendak Manusia
Kalau dosa itu telah membelenggu jiwa manusia, apakah itu berarti bahwa manusia kehilangan seluruh kebebasannya dalam menentukan pilihan? Manusia sekarang dihadapkan kepada dua pilihan. Pertama, di dalam diri manusia tidak ada kebenaran sama sekali. Kedua, di dalam diri manusia masih ada kebenaran walaupun kebenaran itu tersisa hanya sedikit. Dari dua posisi ini ada konsekuensi yang berbahaya. Konsekuensi dari pemikiran yang pertama adalah manusia akan merasa bebas untuk tidak perlu mengejar kebenaran, karena memang kebenaran itu bukanlah urusan manusia dan memang manusia tidak memiliki kebenaran di dalam diri mereka. Akhirnya pemikiran ini melahirkan sikap tidak mau tahu kepada kebenaran. Sedangkan konsekuensi dari pemikiran yang kedua adalah, karena manusia masih memiliki kebaikan pada dirinya sendiri, maka pada hakekatnya manusia tidak membutuhkan pertolongan dan kehadiran Allah. Dengan pengertian ini, manusia dapat membenarkan diri untuk mengandalkan diri sendiri dan tidak perlu bergantung pada Allah, karena pada dasarnya manusia masih memiliki kebaikan. Dua respon ekstrim ini perlu kita koreksi dan kita hindari.

Pendapat para Filsuf mengenai Kebebasan Manusia
Para filsuf Yunani berteori bahwa manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian kemauan, bagian akal, dan bagian rasa indera. Posisi kemauan adalah di tengah-tengah dari akal dan rasa indera. Bila kemauan itu dikendalikan oleh akal, maka kemauan itu akan beroperasi dengan baik, namun bila kemauan itu dikendalikan oleh rasa indera maka kemauan itu akan melahirkan kejahatan. Mengapa bila kemauan dikendalikan akal akan baik adanya? Itu karena di dalam akal ada suatu daya pikir yang seperti pelita yang menerangi seluruh pertimbangan. Mengapa bila kemauan dikendalikan rasa indera maka akan melahirkan kejahatan? Karena di dalam rasa indera manusia tidak dapat menentukan kebaikan, karena rasa indera bersifat kabur dan tidak jelas.

Pendapat para Bapa Gereja Terdahulu
Calvin menyebutkan bahwa posisi para bapa gereja agaklah ambigu dalam menanggapi pendapat para filsuf. Namun ia mengambil Origenes sebagai contoh yang mewakili para bapa Gereja. Origenes berpendapat bahwa kemauan yang tunduk pada akal memang akan menghasilkan sesuatu yang baik. Hal itu dimungkinkan karena akal dapat membedakan mana yang jahat dan mana yang baik. Kemudian Origenes menambahkan bahwa kebenaran yang berhasil manusia peroleh hanyalah semata-mata karena anugerah Tuhan saja. Kebenaran itu juga dapat manusia mengerti karena manusia itu telah dilahirkan kembali. Berikutnya, kebebasan manusia haruslah berdasarkan kepada prinsip ketaatan kepada hukum Tuhan.

Pendapat Calvin terhadap Bapa-bapa Gereja
Calvin berpendapat bahwa kehendak bebas manusia tidak akan menghasilkan kebaikan bila tidak ditopang oleh anugerah Allah yang bekerja bagi orang tersebut. Anugerah ini akan bekerja hanya kepada mereka yang telah dilahirbarukan. Kalau pun harus ada istilah “kebebasan manusia” itu hanya mengarah pada: manusia bebas untuk berbuat kejahatan, dan bukannya berbuat kebaikan. Karena itu Calvin sebenarnya ingin menghindari istilah itu, karena istilah itu dianggapnya suci namun mengapa pada kenyataannya kebebasan itu justru mengarah kepada kejahatan.
Augustinus menamakan “kehendak” sebagai “budak”. Ia mendefinisikan kemauan manusia tidaklah bebas tanpa Roh Allah.
Dalam menanggapi pendapat para Bapa Gereja, Calvin masih merasa tidak puas kepada pendapat-pendapat yang bermunculan. Karena ia memandang pendapat-pendapat tersebut tidaklah jelas dan berubah-ubah. Namun Calvin menyatakan keberbedaan pendapatnya dengan begitu rendah hati, demi kepentingan orang-orang saleh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar