Jumat, 28 Februari 2014

Three Stages of Human Consciousness on Soren Kierkegaard’s Thought, and His “Leap of Faith” with Interiority and Eksteriority problem of Direct and Indirect Communication

Three Stages of Human Consciousness on Soren Kierkegaard’s Thought, and His “Leap of Faith” with Interiority and Eksteriority problem of Direct and Indirect Communication

Introduction
Soren Kierkegaard dilahirkan tahun 1813, ia adalah seorang filsuf Denmark, pada usia 17 tahun ia mempelajari theology, tapi anehnya ia justru asyik dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis. Kierkegaard bukanlah seorang tokoh besar di dalam filsafat Kristen di abad ke 19. Namun filsafat yang ia hasilkan seringkali menjadi salah satu sumber yang terpenting di dalam gerakan filsafat kita pada zaman ini. Dibandingkan dengan filsuf-filsuf postmodern, filsafatnya tergolong tidaklah sistematis dan hampir tidak perlu dijabarkan dengan terlalu analitis. Karena sebenarnya, isi filsafatnya justru menentang suatu kecenderungan berpikir abstrak yang kuat. Maka bukanlah concern dari Kierkegaard untuk membuat para pembacanya menjadi seorang yang lebih pandai secara intelektual, sebaliknya ia ingin memberikan suatu pemahaman berkaitan dengan way of life yang seharusnya bisa dihayati oleh setiap orang. Ia lebih memilih mengambil pendekatan filosofisnya di dalam model introspeksi diri yang mendalam, untuk mendapatkan suatu pandangan hidup yang baru.
Sebagai seorang Lutheran, ia justru mengkritik keadaan-keadaan gereja pada saat itu. Ia mengecam kekristenan yang hanya memiliki model yang terlembaga dan dihormati manusia, namun yang sebenarnya adalah tidak layak untuk mewakili kekristenan yang apostolik. Kierkegaard menolak ide Hegel yang diberlakukan atas gereja berkaitan dengan pandangannya terhadap manusia. Hegel membaca manusia dalam abstraksi antara tesis dan antitesis. Dari sini Kierkegaard menganggap bahwa pola pikir seperti ini membuat eksistensi dari manusia menjadi bersifat partikular dan masuk ke dalam abstraksi-abstraksi yang diabsolutkan. Akhirnya manusia sebagai suatu eksistensi yang kongkret justru terabaikan. Pendekatan Hegel yang bersifat dialektika terhadap manusia justru membuat keberadaan manusia menjadi begitu impersonal. Dengan cara dialektika, Hegel akhirnya menciptakan apa yang disebut ruh objective, yang bagi Kierkegaard tidak ada hubungannya dengan eksistensi manusia. Karena eksistensi itu bukan dihasilkan dari suatu pembongkaran konsep-konsep pikir, namun dihasilkan dari suatu intuisi yang langsung terhadap diri.
Kesadaran manusia akan eksistensinya terjadi ketika ia berhadapan dengan realita ketegangan batin yang ekstrem, seperti kegentaran atau kecemasan. Pada saat manusia menghadapi pengalaman-pengalaman inilah, mereka baru menyadari apa itu menjadi. Melalui pergumulan kegelapan jiwa seperti ini, barulah seseorang menyadari eksistensinya. Namun kita akan salah mengerti tentang pandangannya bila kita segera mengatakan bahwa concern nya adalah untuk mengetahui apa itu definisi dari eksistensi. Karena bukan hal itu yang ia jelaskan. Karena Kierkegaard memakai istilah eksistensi untuk membawa manusia memikirkan tentang apa itu signifikasi hidup. Dan signifikasi hidup itu dimunculkan ketika seseorang menghadapi fakta pemusnasan diri yang akan segera terjadi atasnya, yaitu ketika seseorang harus memutuskan untuk hidup atau mati.
Filsafat yang ia ajukan lebih bersifat praktis ketimbang teoritis, hal ini terjadi karena memang ia tidak menyetujui teologi dan metafisika rasionalistis yang dikonsepkan. Ia mengkritik suatu usaha yang terlalu rasional untuk mendapatkan suatu pemahaman hidup. Maka bila manusia hanya berfokus untuk memahami segala sesuatunya dengan cara rasional, maka mereka akan kehilangan kemampuan spiritualitas yang mendasar. Disinilah ia menolak usaha pencapaian dengan pendekatan filosofis. Maka filsafat yang ia ajukan adalah suatu filsafat yang mengakhiri filsafat. Disinilah konsep without mengambil peranan yang penting di dalam postmodernisme. Love without loving. Leader without leading. Parent without parenting.
Kritik terhadap rasio sebenarnya telah dikemukakan oleh Kant, hanya saja Kierkegaard mengambil pola yang berbeda dalam menyampaikannya. Bagi Kierkegaard, kerohanian tidaklah selalu berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memberikan jawaban terhadap segala permasalahan manusia, namun lebih berkaitan dengan suatu tindakan iman dan komitmen-komitmen suprarasional yang mengalahkan keragu-raguan. Maka, manusia bukanlah mencari suatu pemahaman saja, namun mereka membutuhkan penyelamatan. Dan penyelamatan itu datang hanya melalui tindakan iman.
Bila kita memperhatikan secara ketat, sebenarnya Kierkegaard sedikit bertentangan dengan teori dasarnya yang melawan konsep perkembangan tertentu. Ia justru juga mengeluarkan konsep perkembangan/ kemajuan spiritual. Walaupun konsep perkembangan ini bukanlah model perkembangan dialektika. Jika Comte mengembangkan konsep kemajuan intelektualitas, maka Kierkegaard mengembangkan tiga tahap perkembangan spiritualitas.
Berbeda halnya dengan Hegellian yang menekankan kemajuan spiritualitas manusia dengan konsep ruh absolut yang bersifat mutlak, Kierkegaard menekankan bahwa perkembangan spiritualitas ditentukan sendiri oleh manusia itu sendiri, dimana mereka harus mengambil keputusan sendiri untuk mau masuk ke level selanjutnya atau tidak. Maka seorang kristen dapat bertumbuh dapat pula tidak bertumbuh, tergantung apakah individu itu mau mengambil jalan yang penuh keyakinan dan ketegasan atau tidak. Dari sini kita dapat membaca bahwa Kierkegaard juga sebenarnya adalah anak dari zamannya, yang sedang bergelut dengan tema-tema keputusan, keyakinan, dan penegasan.

Objective Thinking Versus Subjective Thinking
Kierkegaard adalah seorang pemikir eksistensial: yaitu seorang pemikir yang membawa seluruh eksistensinya ke dalam perenungan filosofisnya. Ia tidak menyetujui cara berpikir “objective thinking” (berkait dengan eksterior communication) yang dianut oleh kaum Hegelian. Baginya berpikir objective tidaklah relevan bagi kehidupan seorang individu. Bagi Kierkegaard, Hegel adalah profesor yang menjelaskan misteri kehidupan manusia, namun ia sendiri lupa bahwa ia adalah seorang manusia. Maka apa itu “manusia” menurut Kierkegaard? Manusia bukanlah dibaca dalam suatu definisi yang luas/ bukan hakekat manusia itu apa. Tetapi yang paling penting dari manusia adalah: “keberadaan manusia itu sendiri”. “Manusia tidak akan menyadari keberadaannya sendiri ketika ia berada di belakang meja kerjanya. Tetapi ia akan sadar tentang keberadaan dirinya hanya ketika mereka menentukan pilihan-pilihan penting.” Yaitu saat manusia mengambil keputusan penting (membuat decision).
Pendekatan seperti ini mirip dengan filsafat Buddha, yang mengambil keberadaan manusia sebagai titik tolak. Sebagai contoh: konon ada seorang biarawan yang bertanya kepada Buddha, “Apakah dunia itu dan apakah manusia?” Buddha menjawab dengan menyamakan sang biarawan dengan seorang yang terkena panah beracun. Maka biarawan itu tidak akan memusingkan perihal terbuat dari apakah panah itu, atau dari arah manakah panah itu datang, tetapi ia akan segera mencari pertolongan/ perawatan yang dapat menyembuhkannya. Inilah permasalahan eksistensial.
Sebagai lawan dari pemikiran objective thinking, ia mengusulkan bahwa kebenaran haruslah bersifat subjective. Maksudnya adalah: kebenaran yang benar-benar penting itu adalah yang bersifat individu/ pribadi. “Kebenaran-kebenaran yang benar bagiku.” Sebagai contoh: suatu diskusi mengenai apakah kekristenan itu benar atau tidak, tidak dapat dilakukan dalam tataran teoritis/ akademik, karena pertanyaan-pertanyaan tersebut berkaitan dengan persoalan hidup-matinya manusia. Maka suatu diskusi tidak dapat dilakukan demi diskusi itu sendiri. Karena suatu diskusi selalu berkaitan dengan eksistensi dari manusia yang berdiskusi (berkait dengan hidup-matinya manusia). Contoh lain: misal saat seorang jatuh ke dalam laut, maka ia tidak seharusnya memikirkan bagaimana teori berenang yang baik, tetapi ia harus segera berenang! Karena itu adalah masalaah hidup-mati. Maka pertanyaan-pertanyaan yang bersifat intelektual semata tidaklah penting (yang hanya knowledge), karena seharusnya suatu pertanyaan haruslah didekati dengan pendekatan iman. Demikian juga, seseorang tidak akan pernah tahu apakah sesamanya memaafkan perbuatan jahat yang ia lakukan. Dan, kita tidak akan pernah tahu apakah seseorang itu mencintai kita. Mengapa? Karena semua hal ini diungkapkan bukan dengan direct communication, tetapi dengan indirect communication. Jadi, bagi Kierkegaard, cinta itu bukan diungkapkan dengan kata-kata, tetapi dengan indirect communication. Yang mana kita pilih? Seorang yang selalu mengatakan “aku mencintaimu” tetapi ia tidak memperdulikan kita, atau seorang yang tidak pernah mengatakan “aku mencintaimu” tetapi semua perbuatannya penuh perhatian, romantis, dan selalu memperdulikan kita?
Kierkegaard menulis, “Jika aku dapat menangkap Tuhan secara objective, aku tidak akan percaya, tetapi justru ketika aku tidak dapat melakukan hal ini maka aku harus percaya. Jika aku ingin menjaga imanku maka aku harus terus-menerus berpegang teguh pada ketidakpastian objective, agar imanku tetap lestari.” Kalau seorang kristen hanya bermain di dalam argumen logis, maka ia akan mengalami kerugian besar di dalam imannya. Karena yang terpenting bukanlah: apakah kekristenan itu adalah benar, tetapi apakah kekristenan itu benar bagimu. Maka melalui statement ini ia membuka pintu bagi berkembangnya Postmodern.
Pada masa Kierkegaard, zaman itu dikuasai oleh pemikiran Rene Decartes. Dan Decart memiliki suatu gabungan antara pemikiran tentang Allah dan pemikiran dengan Matematik. Maka seorang yang mempelajari matematik, ia otomatis sudah menjadi theolog, karena kedua hal ini memiliki kesamaan di dalam pendekatan. Maka pemikiran tentang Allah sama derajatnya dengan pemikiran tentang Allah. Maka Logic, menjadi suatu dasar yang kokoh untuk mengetahui segala sesuatu, termasuk untuk mengetahui Allah. Inilah yang dimaksud dengan objektive thinking.
Kierkegarrd merasa ada yang salah dengan cara berpikir seperti ini. Maka ia mengembangkan suatu cara berpikir subjektive. Maka kita tidak bisa berbicara tentang Allah dengan cara berpikir objektive thinking. Objective thinking tidak mempunyai suatu nuansa rahasia. Ini sebabnya membicarakan tentang Allah tidak dapat menggunakan pendekatan objective thinking. Saat manusia membicarakan tentang Allah, ia harus menggunakan pendekatan yang bersifat subjective, karena pendekatan inilah yang meng-cover sisi-sisi kerahasiaan dari Allah. Dalam Decart, Allah sama dengan suatu objek matematika yang dapat diukur. Dan inilah yang ditolak oleh Kierkegaard. Ada jurang yang sangat luas antara pendekatan matematik dengan pendekatan ke-Tuhanan (Injil). Maka kedua hal ini adalah pendekatan yang sangat berbeda.
Manusia pun memiliki subjective side di dalam diri mereka. Kalau kita hanya berbicara secara objective, maka kita tidak dapat mengungkap hal-hal yang bersifat rahasia di dalam diri manusia. “It essensial content is essentially a secret.” Demikian Kierkegaard berpendapat. Ketika membicarakan subjective side, maka akan muncul suatu difference di dalam suatu argumen, karena akan muncul suatu secret. Pada saat seorang manusia mengeluarkan subjective sidenya, maka ia perlu mengeluarkan doubleness-nya manusia (pencampuran kesementaraan dengan yang kekal- Temporal and the Eternal). Inilah Doubleness Characteristic of Existance. Yaitu manusia harusnya tidak hanya berpikir secara logic yang hanya berkaitan dengan objek yang dia lihat, namun manusia harus melihat / menghargai adanya eternal nya manusia.
Subjective thinking bukanlah suatu pemikiran yang tidak ada content. Namun isinya adalah: suatu yang berkaitan dengan rahasia yang dimiliki oleh manusia. Maka ia mementingkan indirect communication yang berlawanan dengan pendekatan objective side (logic-nya) manusia. Karena ini berkaitan dengan secret nya manusia. Maka ia mengembangkan tradisi yang sudah dikembangkan oleh Augustinus berkaitan dengan interiority (pemikiran yang bersifat ke dalam- yaitu suatu ruangan yang berada di dalam diri manusia). Dan ini tidak dapat dikomunikasikan secara langsung. Karena hal yang dapat diungkapkan secara langsung adalah hal-hal yang diluar, dan apa yang ada di dalam tidak dapat diungkapkan secara langsung (harus dengan pendekatan yang tidak langsung).
Semua rasionalisme akan berbicara ke dalam konteks direct communication, karena berdasarkan objective side, yang bisa diteliti dengan tools yang namanya logic. Dengan pola seperti ini: maka Allah juga dijadikan object penelitian. Disinilah manusia bermain di dalam eksterior yang kuat.
Maka Kierkegaard membuka ruang bagi Interiority nya manusia. dengan begini manusia lebih bisa memahami Gospel. Maka komunikasi bukan hanya menjelaskan segala sesuatu sampai seseorang mengerti. Karena kalau sudah sampai ke taraf mengerti tuntas, maka pergumulan manusia akan berhenti dan selesai. Namun manusia bukan seperti ini, karena manusia memiliki wilayah yang secret, indirect dan interiority.
Kierkegaard membaca gereja-gereja pada saat itu: justru kalau gereja sudah memiliki eksteriority yang baik (mimbar bagus, gedung bagus, tampilan bagus, pakaian bagus) jangan-jangan gereja sedang menuju ke dalam pembusukan. Karena manusia tidak lagi membereskan interiority (inside-nya) mereka. Apakah kalau seseorang sudah jago berbicara maka everything going well? Tidak! Kierkegaard menjawab.

The Leap of Faith
Kierkegaard mengeluarkan “The Leap of Faith”/ loncatan iman. Yang ia maksud adalah: sesuatu yang tidak dapat dikomunikasikan secara langsung. Maka loncatan ini secara tidak sadar seringkali dilakukan oleh manusia. Namun manusia harus tetap berhati-hati di saat mereka loncat. Dan tindakan ini bersifat terisolasi: singgle individual. Maka ini adalah suatu tindakan memutuskan (decide) untuk mengambil jalan untuk loncat. Dan ini bukan menjadi suatu yang konyol atau nekad.
Indirect communication bersifat secret, dan hanya dikomunikasikan secara indirect, dan bentuknya adalah literatur. Ia tidak gampang mengungkapkan wilayah yang secret di dalam dirinya karena itu bersifat private. “Leap of Faith” keberanian mengambil suatu keputusan yang tidak dapat ia jelaskan berkaitan dengan subjective side seseorang. Misal: di tengah orang yang mengagungkan Decart, ia memutuskan untuk tidak mengikuti arus ini. Ia mengatakan ketidaksetujuannya dengan berani. Dan tindakan ini adalah tindakan yang issolation dimana ia harus siap menerima konsekuensinya.
Di dalam Kej 22 (Kasus Abraham mempersembahkan Ishak). Menurut Kierkegaard kisah ini hendak menjelaskan subjective side nya Abraham. Kierkegaard berargumen: Abraham berbohong kepada Ishak bahwa peristiwa korban ini adalah idenya, dengan maksud agar Ishak tidak marah kepada Tuhan. Karena kalau ia mengatakan bahwa rencana ini adalah Tuhan yang suruh, Ishak bisa marah kepada Tuhan. Maka bagi Abraham, its better for Ishak to lose faith in him, than lose his faith in God.
Abraham mempersembahkan kepada Ishak karena taat kepada Allah, namun Allah mempersiapkan domba baginya, namun Abraham sudah terlanjur berbohong kepada Ishak, akhirnya ia terjebak sendiri. Akhirnya Abraham menjadi bingung sendiri. Dan ia menjadi susah. Dan disat ini Ishak merasa kecewa/kehilangan kepada Abraham. Abraham menyesal dan berpikir, bahwa seharusnya ia tadinya menolak permintaan Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin meminta untuk membunuh manusia. Abraham menjadi despair (putus asa). Disinilah muncul pergumulan eksistensial sebagaimana yang Kierkegaard maksudkan.
Maka Kierkegaard menyoroti pergumulan Abraham. Abraham berdusta kepada Ishak, dan ketika Tuhan tidak jadi meminta ia membunuh Ishak, maka Abraham menyalahkan dirinya sendiri. Disini Kierkegaard, mau menyampaikan wilayah interiority nya manusia: dimana manusia sukar memahami kehendak Tuhan. Dan ketika tidak jelas akan kehendak Tuhan bagaimana manusia berani mengungkapkannya. Dan di saat mereka salah, mereka siap tidak menanggung kesalahan itu. Maka orang yang berteriak “kehendak Tuhan” belum tentu mengetahui apa itu kehendak Tuhan.

Three Stages on Human Consciousness
Orang kristen harusnya bertumbuh dan melalui tiga tahapan ini, supaya mereka dapat memiliki hubungan dengan Allah dengan benar.
Tahap pertama, Estetis. Dalam tahap ini terjadi pertemuan pertama manusia dengan sesuatu. Manusia memakai estetik yang menarik untuk menarik perhatian manusia yang lain. Manusia selalu tertarik pada estetik aspek dari manusia (hal-hal yg ada di luar). Dan dari sini manusia mudah untuk terpikat dan terpukau. Mereka yang hidup di wilayah ini adalah orang yang menangkap kesempatan dan menikmatinya, apa yang baik adalah apa yang indah, memuaskan, atau menyenangkan. Orang seperti ini sepenuhnya hidup di dunia indera, dan menjadi budak dari nafsu dan perasaannya sendiri. Segala sesuatu yang membosankan itu buruk.
Orang yang berada pada tahap ini mudah masuk ke dalam kegelisahan, ketakutan, dan perasaan hampa. Namun hal ini ada baiknya, karena pengalaman itu adalah pengalaman eksistensial. Estetis: berarti seseorang harus menikmati kehidupan. Dan orang itu akan menikmati hidup kalau ia cantik, sehat, dan berbakat (ini syarat yang berasal dari dalam). Kemudian, syarat yang berasal dari luar individu adalah: seseorang akan menikmati hidup kalau ia memiliki kekayaan, dihormati, memiliki cinta yang romantis. Tetapi, perburuan akan kenikmatan hidup yang tidak ada habisnya akan menuntun manusia masuk ke dalam: keputusasaan (despair), kesedihan, dan kesengsaraan. Maka perlu ada perubahan paradigma hidup dari estetis ke etis.
Tahap kedua, Moral life (etika-etis). Manusia mudah terpikat dengan moral life, namun kita tidak boleh terpikat hanya dengan orang yang bermoral baik. Karena kalau kita hanya berhenti di dalam kekaguman kepada orang seperti ini, kita tidak akan memiliki relasi yang benar dengan Allah. Kadang –kadang orang bermoral juga menikmati kekaguman yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya. Namun kita tidak boleh berhenti sampai di sini. Stages ini mirip dengan stages yang diungkapkan Kant dengan nama Imperatif Kategoris (dalam kaitannya dengan hukum moral). Ada Standar Universal untuk sebuah perilaku. Bagaimana menguji sebuah perilaku adalah benar atau salah? Yaitu dengan mempertimbangkan perilaku itu menjadi perilaku universal, apakah dunia itu akan lebih baik? Kalau tidak lebih baik, jangan lakukan.
Tetapi di dalam wilayah etis ini, hanya tinggal satu langkah lagi untuk menuju ke wilayah religius. Maka hendaknya manusia lebih berani lagi untuk mengambil keputusan menuju tahapan yang lebih baik.
Untuk bergeser (melakukan transisi) dari wilayah etis ke wilayah religius, perlu ada yang namanya “hubungan yang rusak”. Setelah manusia menyadari relasi diantara manusia mudah rusak, maka ia akan berusaha untuk masuk ke dalam tahap religius.
Tahap ketiga, Religious Conciousness. Tahapan ini lebih hebat dari tahapan moral. Disini manusia tidak hanya sekedar terpukau, namun harus bersedia ditolak dan tersembunyi. Dying away to religius life means being rejected and hidden indeed. “You can not be a leader and the Reformer of the church at the same time.” Yang sudah jadi leader, dia bukan reformer, reformer itu being rejected and in the wildernesss. Leader yang mau jadi reformer, dia akan banyak memiliki kepentingan. Gereja yang menjadi terlalu besar, leadernya akan terlalu banyak mencocok-cocokkan dengan persetujuan massa. Maka pada saat seseorang menjadi reformer ia harus siap untuk berada di wilderness.
Pemimpin kristen seharusnya tidak hanya stag menjadi leader di gereja, karena kalau hanya berhenti disini maka ia akan stag, dan tidak lagi bisa mempersuade sesama dengan benar. Yohanes pembaptis bersuara di padang gurun, dan ia tidak mementingkan apakah ia akan dipuji atau tidak. Maka ia mementingkan the word/ suara, dan bukannya mementingkan pujian. Seorang kristen yang bertumbuh seharusnya tidak takut untuk hidup terbuka secara interior dan eksterior kita di hadapan manusia dan Tuhan. Seorang pemimpin harus bersedia diuji dengan keadaan si pendengar (penerima Firman), sehingga seorang pelayan Firman bukan hanya sekedar berbicara dan tidak mau mendengar keluh-kesah jemaat. Tetapi ia harusnya mau mendengar dan memperhatikan respon jemaat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar