Pendidikan Bergantung
pada Guru dan atau Murid?
Pengetahuan
dan informasi adalah dua hal yang berbeda. Informasi bukanlah pengetahuan dan
pengetahuan bukanlah informasi. Informasi boleh benar boleh tidak, pengetahuan
harus benar. Informasi boleh beragam dan tidak terselesaikan. Pengetahuan harus
tunggal dan mengintegrasi hidup manusia. Informasi tidak berkaitan dengan iman
dan mati-hidupnya manusia. Pengetahuan berkait dengan iman dan mati-hidupnya
seorang manusia. Darisinilah seorang guru dibutuhkan oleh umat manusia. Karena
manusia tidak hanya berhadapan dengan Koran dan berita di Televisi atau
beberapa majalah yang terus mencuci otak manusia, namun manusia perlu di-guidance untuk bisa membaca segala
informasi dan gejala yang terjadi di dalam dunia dimana mereka tinggal.
Seorang guru bukanlah sekedar
membagikan informasi (yang bisa dilakukan oleh koran rongsokan), namun ia
membagikan pengetahuan yang ultimat yang bagaimanapun dibantah oleh seorang
murid, kebenaran dari pengetahuan yang ia sampaikan akan tetap bersinar di hati
murid. Maka pengetahuan dari seorang guru bukan hanya menyentuh aspek rasional
yang dimiliki oleh seorang manusia, namun juga aspek will, believe, emotion, dan seterusnya. Maka posisi guru adalah
posisi yang tidak dapat digantikan dengan media apapun di dalam dunia. Posisi
seorang guru mengambil tempat Allah (di dalam pengertian turunan) untuk
menanamkan kebenaran ke dalam hati seorang murid. Dan posisi ini perlu
ditunjang dengan confident yang cukup
dan benar.
Seorang guru yang tidak memiliki confident tidak seharusnya menjadi guru
(guru apapun). Sehingga profesi yang paling membutuhkan kekuatan confident adalah profesi mendidik dan
berkhotbah. Dan confident tersebut
terlihat pertama kali dari “tekstur suara” yang dimiliki oleh seorang guru. Seorang
guru yang Tuhan berikan suara yang indah, merdu dan berwibawa adalah anugerah
yang besar bagi kekristenan. Karena Tuhan memaksudkan suara untuk memiliki
kekuatan men-design interiority
seorang manusia. Manusia terpengaruh jiwanya karena suara yang mereka dengar.
Manusia beriman atau tidak beriman, ditentukan oleh jenis suara dan suara apa
yang mereka dengarkan.[1]
Manusia beriman karena adanya suara yang diucapkan oleh Firman dan oleh Kristus
kepada mereka. Manusia tidak mampu beriman hanya karena mereka melihat sesuatu/
mujizat.[2]
Dan bukankah karena ”suara” juga manusia jatuh kedalam dosa dan tidak menaati
Allah?
Suara memiliki kekuatan untuk
merombak system nilai yang dimiliki oleh seorang murid kebenaran. Suara dapat
memimpin dan memberikan arah bagi seorang murid untuk menuju pada panggilan
Allah. Suara yang benar adalah suara yang membawa manusia kembali kepada Allah
dan panggilan-Nya. Karena itu istilah “panggilan Tuhan” juga berkaitan dengan
suara yang didengarkan oleh mereka yang terpanggil.
Suara memiliki horizonnya sendiri.
Suara bukanlah dilawankan dengan silent/
ketiadaan suara. Suara justru menjadi suara karena berkerumunan dengan
suara-suara yang lain. Maka suara menjadi suara bukan karena tidak adanya
suara, tetapi karena suara tersebut meaningfull
bagi yang mendengarkan. Dunia tempat dimana kita tinggal selalu dipenuhi oleh
suara. Bahkan di malam yang paling sunyipun masih tetap ada suara yang
terdengar di telinga kita. Dari sini kita mengerti bahwa suara selalu
menghampiri telinga manusia, yang menjadi persoalan adalah apakah manusia mampu
mem-filter suara yang mereka dengar?
Apakah mereka menjadi seorang yang memilih suara apa yang mereka ijinkan untuk
men-design jiwa mereka atau tidak?
Jika manusia tidak memiliki hati yang takut akan Tuhan, maka mereka akan
menerima semua suara yang mereka temukan, dan hal ini akan menjadikan manusia
tidak memiliki iman sama sekali atau memiliki iman yang salah dan kacau.
Lalu bagaimana dengan pendidikan
yang memusatkan pada kinerja mata? Mata manusia melihat sesuat dan menghafalkan
apa yang mereka lihat. Namun apa yang mereka lihat ternyata tidak terlalu
berkait dengan interiority di dalam
jiwa mereka. Karena mata hanya men-design
rumusan-rumusan yang perlu diingat oleh seorang murid di dalam kaitannya dengan
abstraksi yang mereka pikirkan. Sehingga orang yang daya penglihatannya kuat,
akan memilih guru yang memiliki tampilan yang menunjang sebagai guru. Atau ia
akan memilih seorang guru yang abstraksinya sangat kuat, sehingga bila guru ini
menuliskan suatu rumus yang rumit, murid akan terperangah kagum dan akhirnya
juga mengagumi guru yang pandai ini. Dari sini kita bisa mengerti bahwa indera
penglihatan memiliki fungsi sebagai “jembatan” yang menolong seorang murid
tetap interest kepada gurunya. Itulah
sebab, seorang guru yang baik tidak akan memakai pakaian yang asal-asalan
ketika ia mengajar, namun akan memakai pakaian yang baik dan indah dipandang.
Bila guru mengerti hal ini, di titik awal penampilan, mereka sudah memenuhi
kualifikasi “mata” sebagai seorang guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar