Confidence, Sound, and
Absolute Teaching
Seorang
pendidik bukan hanya perlu melatih dan memiliki suara yang indah dan berwibawa,
namun mereka perlu memiliki suara yang penuh dengan keyakinan. Di dalam suara
yang penuh dengan keyakinan itulah terletak otoritas di dalam mendidik (selain
otoritas Roh Kudus). Dan orang-orang dengan model seperti ini memang dilahirkan
dan bukan hanya dibentuk, walaupun pembentukan memiliki kekhususannya
tersendiri. Namun mereka yang memang sudah dilahirkan dengan talenta mudah
yakin dengan believe-nya, akan lebih
mudah menjalani profesinya sebagai pendidik. Hal ini bukan berarti bahwa orang
dengan bakat “berbicara yakin” harus terus memupuk keyakinannya tersebut.
Justru ketika seorang memiliki confident
yang baik dan kuat di dalam dirinya, ia harus ditundukkan dibawah otoritas
Firman yang empunya Absolut terhadap segala sesuatu. Barulah pendidik bukan
hanya menyampaikan apa yang ia yakin dan ia anggap benar, namun menyampaikan
otoritas Firman itu dengan keyakinan yang dikaruniakan oleh Roh Kudus.
Maka dari itu Epistemology harus
mendasari pencarian dan pengungkapan manusia akan pengetahuan dan kebenaran.
Karena tanpa Epistemologi yang berpusatkan pada diri-Nya kebenaran, maka
epistemologi itu hanya akan berpusat pada kekuatan rasio dan experience manusia saja. Setelah standpoint yang ingin dibangun oleh
seorang guru telah mapan, ia perlu mengembangkan model persuasi yang layak bagi
kebenaran yang ia mau bagikan. Disini ekspresi, emosi, penekanan kata, jeda,
cara bernapas menjadi penting di dalam penyampaian kebenaran.
Dalam budaya Grika yang menekankan
pada culture theatrical, cara seorang actor/ aktris di dalam membawakan peran/
karakternya menjadi hal yang utama yang harus dipelajari dan dikuasai oleh
mereka. Bukan hanya isi dialog dan alurnya saja, namun karakter tokoh tersebut
harus diperankan dengan baik oleh yang membawakannya. Tanpa ekspresi yang baik,
actor akan gagal sebagai actor. Tanpa mengetahui karakter yang ia perankan, aktor
akan menjalankan peran yang tidak dimaksudkan di dalam naskah cerita. Sama
halnya dengan karakter seorang guru/ pendidik. Bila seorang guru tidak sadar ia
adalah guru dan pendidik, maka ia hanya akan membanyol di depan murid-muridnya,
dan akhirnya murid-muridnya tidak belajar apa-apa selain belajar cara melucu di
depan kelas. Walaupun keberhasilan seorang guru dicerminkan dengan respon dari
para muridnya, ini tidak berarti guru yang mampu membuat muridnya tertawa
adalah guru yang sukses di dalam mendidik.
Kemampuan theatrical seperti ini
sangat dibutuhkan untuk dimiliki oleh seorang guru. Mereka harus memiliki
dignity sebagai seorang guru dan menyadari benar apa yang mereka sampaikan
kepada para murid. Ketika seorang guru punya keyakinan diri yang kuat pada
diri, kebenaran, dan apa yang akan ia sampaikan dan ia memiliki cara persuasi
yang baik, maka tidak akan ada murid yang keluar dari kelasnya yang akan kecewa
atau tidak mendapatkan manfaat pendidikan. Suasana dari kelas, keberhasilan
study, penanaman kebenaran dan pengetahuan sangat ditentukan oleh posisi guru
di dalam kelas tersebut. Tetapi masih ada kasus lain dari seorang guru yang
sebenarnya sudah sangat berbakat, namun belum mampu memenangkan hati semua
murid yang ia didik.
Seorang guru yang hanya membangun
citra positif yang dari luar, akan sulit untuk mempertahankan kesetiaan seorang
murid kepadanya. Apalagi kita telah masuk ke dalam suasana pendidikan
postmodern. Di dalam nuansa pendidikan postmodern, eksteriority seorang guru
tidak lagi menjadi hal yang utama yang harus diperhatikan/ menarik perhatian,
karena postmodern mementingkan apa yang ada di dalam diri guru tersebut
(interiority). Maka seorang guru yang memiliki kedalaman di dalam study dan
pembahasannya akan mendapatkan jumlah murid yang jauh lebih banyak dibandingkan
dengan guru yang hanya memiliki kemampuan penyampaian yang baik. Zaman modern
dimulai dengan segala pencapaian technology
yang mementingkan indera penglihatan manusia, namun setelah kita memasuki zaman
postmodern, manusia sudah tidak lagi tertipu dengan penampilan yang ada di
luar. Mereka menuntut suatu isi yang lebih kaya dan limpah yang bisa
disejajarkan dengan segala pengetahuan manapun yang mereka temui. Hal ini
harusnya menyadarkan para guru Kristen, bahwa mereka tidak lagi bisa bergantung
hanya dengan kemampuan persuasi yang mereka miliki, namun konten yang mereka
berikan ternyata tidak memenuhi hasrat pencarian mereka akan “pengetahuan.” Mulai
dari sini isi/ content kembali
mendapatkan tempat di dalam model-model persuasi yang berlaku.
Disamping semua hal itu, masih ada
model-model persuasi tertentu yang ternyata sangat berkaitan dengan pembawaan/
temperamen seorang guru. Seorang guru yang tegas tidak mudah untuk mengajar
dengan tanpa ketegasan, demikian sebaliknya, seorang guru yang tidak tegas akan
sulit untuk mengajar dengan sikap ketegasan. Maka cara seorang mengajar dan
persuasi macam apa yang mereka pilih adalah hasil langsung dari temperamen apa yang
mempengaruhi mereka sebagai manusia. Seorang kolerik-melankolik akan mengajar
dengan berwibawa, tegas, jelas, to the
point, dan terkadang memberikan command
yang berat kepada muridnya. Para pendidik seperti ini sangat powerfull di dalam menyampaikan isi
hatinya, namun tidak jarang pendidik seperti ini akan segera meraup pendengar
dengan jumlah massa yang banyak namun juga segera kehilangan pendengarnya dalam
waktu yang tidak lama. Ini disebabkan tekanan-tekanan yang diberikan oleh
seorang pendidik yang kuat. Seorang pendidik yang kolerik-sanguin akan mengajar
dan meluncurkan kalimat-demi kalimat dengan tanpa titik dan dengan ketegasan
yang luar biasa. Begitu tegas dan mantapnya, sampai murid yang tidak
berhati-hati akan menerima semua yang diajarkan tanpa perlu lagi mengkaji apa
yang ia telah terima. Guru model seperti ini sangat menarik perhatian dan
mempesona, namun belum cukup mampu menundukkan murid yang memiliki daya analisa
yang jauh lebih kuat dari dia. Seorang guru sanguin-melankolik akan banyak menarik
simpati para murid, termasuk murid yang bodoh dan murid yang pandai, karena
guru model ini memiliki daya analisa yang sangat baik terhadap objek studinya,
dan ia juga memiliki kekuatan di dalam menyampaikannya dengan sederhana dan
menarik. Guru yang phlegmatic tidak cocok menjadi guru selain menjadi guru kindergarden.
Keberadaan dan model seorang guru
memang menentukan dalam dunia pendidikan, namun yang tidak kalah pentingnya
adalah keberadaan seorang murid yang sedang mengenyam pendidikan tersebut. Seorang
murid yang pandai tidak akan mencari guru yang bodoh untuk mengajari dia
bagaimana caranya berbuat bodoh dengan lebih bodoh. Namun ia akan mencari guru
yang lebih pandai dari dia. Disinilah posisi guru menjadi “terancam”, karena
biasanya seorang guru tidak lagi menjadi guru setelah seluruh ilmu sang guru
tersebut sudah dikuasai oleh seorang murid. Namun bila guru tersebut senantiasa
bertumbuh di dalam Tuhan, maka tidak ada yang perlu dikuatirkan dari posisi
keterancaman seperti ini.
Seorang murid kolerik akan kagum
dengan model guru yang sama dengan dirinya. Seorang yang berani juga akan
mengagumi orang yang jauh lebih berani dari dirinya. Seorang yang kuat di dalam
mengambil keputusan juga akan kagum pada mereka yang lebih kuat dalam mengambil
keputusan. Namun seorang murid yang kolerik biasanya tidak akan bertahan lama
mengagumi guru yang sama koleriknya dengan dia. Karena ketika ia belajar pada
guru ini, ia akan mendapati bahwa sebenarnya terlalu banyak kesamaan diantara
mereka yang tidak perlu untuk terus dikagumi. Maka ia akan mencoba mencari
aspek-aspek lain yang bisa ia kagumi pada guru yang lain. Dan bila ia adalah
juga seorang yang perfeksionis, itu akan menyebabkan ia sangat pemilih kepada
siapa ia mau belajar. Karena seorang murid melankolik tidak akan memilih guru
yang tidak memiliki dimensi perfeksionis. Sehingga seorang murid melankolik
biasanya tidak memiliki terlalu banyak guru, karena ia sangatlah pemilih dan
menetapkan standar bagi siapa saja yang ia bersedia belajar kepadanya.
Pendidikan itu akan mengubahkan
sesuatu. Karena pendidikan berkaitan dengan hidup dan pertumbuhan seorang
manusia sebagai manusia. Namun apa yang berubah dan bagaimana terjadinya
perubahan? Seorang pendidik perlu mengkaji bagian ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar