Selasa, 02 September 2014

Confidence, Sound, and Absolute Teaching

Confidence, Sound, and Absolute Teaching
Seorang pendidik bukan hanya perlu melatih dan memiliki suara yang indah dan berwibawa, namun mereka perlu memiliki suara yang penuh dengan keyakinan. Di dalam suara yang penuh dengan keyakinan itulah terletak otoritas di dalam mendidik (selain otoritas Roh Kudus). Dan orang-orang dengan model seperti ini memang dilahirkan dan bukan hanya dibentuk, walaupun pembentukan memiliki kekhususannya tersendiri. Namun mereka yang memang sudah dilahirkan dengan talenta mudah yakin dengan believe-nya, akan lebih mudah menjalani profesinya sebagai pendidik. Hal ini bukan berarti bahwa orang dengan bakat “berbicara yakin” harus terus memupuk keyakinannya tersebut. Justru ketika seorang memiliki confident yang baik dan kuat di dalam dirinya, ia harus ditundukkan dibawah otoritas Firman yang empunya Absolut terhadap segala sesuatu. Barulah pendidik bukan hanya menyampaikan apa yang ia yakin dan ia anggap benar, namun menyampaikan otoritas Firman itu dengan keyakinan yang dikaruniakan oleh Roh Kudus.
            Maka dari itu Epistemology harus mendasari pencarian dan pengungkapan manusia akan pengetahuan dan kebenaran. Karena tanpa Epistemologi yang berpusatkan pada diri-Nya kebenaran, maka epistemologi itu hanya akan berpusat pada kekuatan rasio dan experience manusia saja. Setelah standpoint yang ingin dibangun oleh seorang guru telah mapan, ia perlu mengembangkan model persuasi yang layak bagi kebenaran yang ia mau bagikan. Disini ekspresi, emosi, penekanan kata, jeda, cara bernapas menjadi penting di dalam penyampaian kebenaran.
            Dalam budaya Grika yang menekankan pada culture theatrical, cara seorang actor/ aktris di dalam membawakan peran/ karakternya menjadi hal yang utama yang harus dipelajari dan dikuasai oleh mereka. Bukan hanya isi dialog dan alurnya saja, namun karakter tokoh tersebut harus diperankan dengan baik oleh yang membawakannya. Tanpa ekspresi yang baik, actor akan gagal sebagai actor. Tanpa mengetahui karakter yang ia perankan, aktor akan menjalankan peran yang tidak dimaksudkan di dalam naskah cerita. Sama halnya dengan karakter seorang guru/ pendidik. Bila seorang guru tidak sadar ia adalah guru dan pendidik, maka ia hanya akan membanyol di depan murid-muridnya, dan akhirnya murid-muridnya tidak belajar apa-apa selain belajar cara melucu di depan kelas. Walaupun keberhasilan seorang guru dicerminkan dengan respon dari para muridnya, ini tidak berarti guru yang mampu membuat muridnya tertawa adalah guru yang sukses di dalam mendidik.
            Kemampuan theatrical seperti ini sangat dibutuhkan untuk dimiliki oleh seorang guru. Mereka harus memiliki dignity sebagai seorang guru dan menyadari benar apa yang mereka sampaikan kepada para murid. Ketika seorang guru punya keyakinan diri yang kuat pada diri, kebenaran, dan apa yang akan ia sampaikan dan ia memiliki cara persuasi yang baik, maka tidak akan ada murid yang keluar dari kelasnya yang akan kecewa atau tidak mendapatkan manfaat pendidikan. Suasana dari kelas, keberhasilan study, penanaman kebenaran dan pengetahuan sangat ditentukan oleh posisi guru di dalam kelas tersebut. Tetapi masih ada kasus lain dari seorang guru yang sebenarnya sudah sangat berbakat, namun belum mampu memenangkan hati semua murid yang ia didik.
            Seorang guru yang hanya membangun citra positif yang dari luar, akan sulit untuk mempertahankan kesetiaan seorang murid kepadanya. Apalagi kita telah masuk ke dalam suasana pendidikan postmodern. Di dalam nuansa pendidikan postmodern, eksteriority seorang guru tidak lagi menjadi hal yang utama yang harus diperhatikan/ menarik perhatian, karena postmodern mementingkan apa yang ada di dalam diri guru tersebut (interiority). Maka seorang guru yang memiliki kedalaman di dalam study dan pembahasannya akan mendapatkan jumlah murid yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan guru yang hanya memiliki kemampuan penyampaian yang baik. Zaman modern dimulai dengan segala pencapaian technology yang mementingkan indera penglihatan manusia, namun setelah kita memasuki zaman postmodern, manusia sudah tidak lagi tertipu dengan penampilan yang ada di luar. Mereka menuntut suatu isi yang lebih kaya dan limpah yang bisa disejajarkan dengan segala pengetahuan manapun yang mereka temui. Hal ini harusnya menyadarkan para guru Kristen, bahwa mereka tidak lagi bisa bergantung hanya dengan kemampuan persuasi yang mereka miliki, namun konten yang mereka berikan ternyata tidak memenuhi hasrat pencarian mereka akan “pengetahuan.” Mulai dari sini isi/ content kembali mendapatkan tempat di dalam model-model persuasi yang berlaku.
            Disamping semua hal itu, masih ada model-model persuasi tertentu yang ternyata sangat berkaitan dengan pembawaan/ temperamen seorang guru. Seorang guru yang tegas tidak mudah untuk mengajar dengan tanpa ketegasan, demikian sebaliknya, seorang guru yang tidak tegas akan sulit untuk mengajar dengan sikap ketegasan. Maka cara seorang mengajar dan persuasi macam apa yang mereka pilih adalah hasil langsung dari temperamen apa yang mempengaruhi mereka sebagai manusia. Seorang kolerik-melankolik akan mengajar dengan berwibawa, tegas, jelas, to the point, dan terkadang memberikan command yang berat kepada muridnya. Para pendidik seperti ini sangat powerfull di dalam menyampaikan isi hatinya, namun tidak jarang pendidik seperti ini akan segera meraup pendengar dengan jumlah massa yang banyak namun juga segera kehilangan pendengarnya dalam waktu yang tidak lama. Ini disebabkan tekanan-tekanan yang diberikan oleh seorang pendidik yang kuat. Seorang pendidik yang kolerik-sanguin akan mengajar dan meluncurkan kalimat-demi kalimat dengan tanpa titik dan dengan ketegasan yang luar biasa. Begitu tegas dan mantapnya, sampai murid yang tidak berhati-hati akan menerima semua yang diajarkan tanpa perlu lagi mengkaji apa yang ia telah terima. Guru model seperti ini sangat menarik perhatian dan mempesona, namun belum cukup mampu menundukkan murid yang memiliki daya analisa yang jauh lebih kuat dari dia. Seorang guru sanguin-melankolik akan banyak menarik simpati para murid, termasuk murid yang bodoh dan murid yang pandai, karena guru model ini memiliki daya analisa yang sangat baik terhadap objek studinya, dan ia juga memiliki kekuatan di dalam menyampaikannya dengan sederhana dan menarik. Guru yang phlegmatic tidak cocok menjadi guru selain menjadi guru kindergarden.
            Keberadaan dan model seorang guru memang menentukan dalam dunia pendidikan, namun yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan seorang murid yang sedang mengenyam pendidikan tersebut. Seorang murid yang pandai tidak akan mencari guru yang bodoh untuk mengajari dia bagaimana caranya berbuat bodoh dengan lebih bodoh. Namun ia akan mencari guru yang lebih pandai dari dia. Disinilah posisi guru menjadi “terancam”, karena biasanya seorang guru tidak lagi menjadi guru setelah seluruh ilmu sang guru tersebut sudah dikuasai oleh seorang murid. Namun bila guru tersebut senantiasa bertumbuh di dalam Tuhan, maka tidak ada yang perlu dikuatirkan dari posisi keterancaman seperti ini.
            Seorang murid kolerik akan kagum dengan model guru yang sama dengan dirinya. Seorang yang berani juga akan mengagumi orang yang jauh lebih berani dari dirinya. Seorang yang kuat di dalam mengambil keputusan juga akan kagum pada mereka yang lebih kuat dalam mengambil keputusan. Namun seorang murid yang kolerik biasanya tidak akan bertahan lama mengagumi guru yang sama koleriknya dengan dia. Karena ketika ia belajar pada guru ini, ia akan mendapati bahwa sebenarnya terlalu banyak kesamaan diantara mereka yang tidak perlu untuk terus dikagumi. Maka ia akan mencoba mencari aspek-aspek lain yang bisa ia kagumi pada guru yang lain. Dan bila ia adalah juga seorang yang perfeksionis, itu akan menyebabkan ia sangat pemilih kepada siapa ia mau belajar. Karena seorang murid melankolik tidak akan memilih guru yang tidak memiliki dimensi perfeksionis. Sehingga seorang murid melankolik biasanya tidak memiliki terlalu banyak guru, karena ia sangatlah pemilih dan menetapkan standar bagi siapa saja yang ia bersedia belajar kepadanya.

            Pendidikan itu akan mengubahkan sesuatu. Karena pendidikan berkaitan dengan hidup dan pertumbuhan seorang manusia sebagai manusia. Namun apa yang berubah dan bagaimana terjadinya perubahan? Seorang pendidik perlu mengkaji bagian ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar