Selasa, 02 September 2014

Pandangan Kekristenan mengenai Aborsi

Isu mengenai aborsi adalah isu yang hampir tidak bisa dihindari dalam permasalahan hidup di zaman modern ini. Kasus aborsi bukan hanya menjadi pergumulan dari para pemuda-pemudi yang melakukan free sex, namun juga merupakan hal yang umum yang dihadapi oleh pasangan suami-istri baik yang kristen maupun yang bukan kristen. Adalah suatu rahasia umum bahwa orang kristen pun melakukan aborsi bahkan saat mereka sudah berada di dalam status menikah. Perbedaan sikap mengenai isu ini didasarkan pada sedikitnya tiga argumen dasar.
            Pertama, argumen yang mengatakan bahwa janin yang berada di dalam kandungan ibu hanyalah bentung perpanjangan dari tubuh/ bagian tubuh dari ibu. Sehingga dari argumen ini, aborsi dapat dilakukan kapan saja sekehendak pemilik tubuh itu, yaitu si ibu. Sikap ini didukung dengan alasan yang mendasarkan pentingnya kualitas hidup seseorang (baik kualitas hidup pasangan tersebut atau kualitas hidup calon manusia tersebut). Bila kelahiran bayi itu akan memperburuk kualitas hidup pasangan ini dan bayi ini, maka aborsi diijinkan. Pengambilan sikap ini semakin diperkuat dengan pembelaan kepada hak-hak ibu, yaitu bahwa ibu memiliki kebebasan pribadi yang jauh lebih penting dari pada hak hidup janin.
Kedua, argumen yang mengatakan bahwa janin yang berada di dalam kandungan ibu masih berpotensi untuk menjadi manusia, dan belum merupakan manusia yang utuh. Maka sikap yang diambil dari pandangan ini adalah aborsi dapat dilakukan kadang-kadang tergantung seberapa kuat pertimbangan antara hak ibu dan hak hidup bayi yang diputuskan oleh pasangan tersebut.
Ketiga, argumen yang berpendapat bahwa janin yang di dalam kandungan ibu sudah merupakan manusia yang utuh. Maka tindakan aborsi dianggap sebagai suatu tindakan pembunuhan yang menghancurkan kebebasan hidup manusia. Pandangan ini membela nilai hidup jauh lebih tinggi dari kebebasan hak ibu. Ibu tidak bisa memutuskan aborsi seberapa tidak relanya ia memiliki anak, karena hak hidup bayi itu jauh lebih tinggi dari pada hak kebebasan individu yang dimiliki oleh ibu.
Dari ketiga argumen ini, ada hal yang cukup unik berkaitan dengan posisi hak ibu yang dibenturkan dengan hak hidup janin. Kita dapat saja berpikir, mengapa seorang ayah tidak terlalu dilibatkan di dalam benturan kepentingan antara hak ayah dengan hak janin? Maka tindakan aborsi cenderung adalah tindakan yang diputuskan oleh ibu ketimbang oleh ayah. Di dalam kasus aborsi yang diputuskan oleh pasangan kristen yang sudah menikah, maka tindakan itu akan cenderung diambil oleh pihak istri ketimbang pihak suami. Hal ini memang senada dengan apa yang Tuhan bebankan kepada seorang wanita ketika Hawa berbuat dosa terhadap Allah. Yaitu bahwa wanita akan “menderita” berkaitan dengan mengandung dan melahirkan. Maka adalah hal yang sangat manusiawi bila seorang wanita takut mengandung dan takut melahirkan. Karena memang di dalam aktifitas itu, ada suatu “penderitaan” yang Tuhan memang berikan kepada mereka. Namun yang menjadi kendala bagi seorang ibu adalah: penderitaan di dalam melahirkan akan berbenturan dengan perintah Tuhan untuk beranak cucu dan memenuhi bumi.
Dari sini sebenarnya kita bisa memperhatikan, bahwa keputusan untuk memiliki sejumlah anak di dalam suatu pernikahan seringkali dikaitkan dengan keengganan seorang ibu untuk melahirkan dan memelihara anak daripada keengganan seorang ayah untuk memiliki anak. Para ibu enggan melahirkan dan enggan memelihara anak, padahal Tuhan memang memberikan panggilan/ beban itu keatas pundak para ibu. Laki-laki Tuhan panggil untuk bekerja “di luar” dan berkeringat di dalam pekerjaannya, sedangkan wanita, Tuhan panggil untuk memelihara dan membesarkan anak, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan maintenance dan “pemeliharaan dari dalam”. Maka wanita tidak dipanggil untuk fighting di luar rumah, dan laki-laki tidak dipanggil untuk maintenance di dalam rumah. Semua ordo ini telah Tuhan tetapkan demi kebaikan manusia sendiri. Namun manusia suka melawan apa yang Tuhan sudah atur untuk manusia jalankan, dan memilih jalan mereka sendiri. Sehingga pada akhirnya masyarakat kita memiliki penyakit serius, yaitu: problem “wanita karier” dan problem “bapak rumah tangga”. Semua ini adalah penyimpangan yang berakibat fatal. Namun kita tidak akan membahas hal ini terlalu melebar.
Argumen yang berpandangan bahwa janin merupakan bagian tubuh manusia didasarkan pada beberapa bagian dari Alkitab. Antara lain Kejadian 2:7, Ayub 34:14-15, Yesaya 57:16 yang menyatakan bahwa suatu kehidupan dimulai ketika orang tersebut diberikan napas/ bisa bernapas. Maka janin-janin tersebut belum merupakan manusia karena janin itu belumlah bisa bernapas. Kemudian Matius 26:24 menyatakan, “lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.” Kalimat ini mengimplikasikan bahwa manusia menjadi manusia ketika ia dilahirkan. Karena Yesus tidak mengatakan, “lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dikandung.” Bagaimana kita memandang argumen seperti ini?
Dukungan bagi aborsi mendapat “angin segar” dengan ditambahkannya argumen: kesadaran diri (janin belumlah sadar diri), ketergantungan fisik (janin adalah perluasan tubuh sang ibu), keselamatan ibu (kalau aborsi tetap dilarang, akan terus bermunculan aborsi ilegal yang justru membahayakan banyak ibu karena aborsi ilegal tidaklah hiegenis), argumentasi penyiksaan (anak yang tidak diinginkan kelahirannya akan selalu mendapatkan tindakan penyiksaan dari orang tua), argumentasi cacat (negara harus melahirkan anak-anak yang sehat dan berguna demi kelangsungan suatu bangsa), argumenasi pemerkosaan (tidak ada seorangpun yang boleh melarang seorang yang diperkosa untuk mengaborsi anaknya, orang yang berani melarang adalah orang yang tidak bermoral dan mendukung kasus pemerkosaan).
Setiap argumen yang disampaikan oleh mereka yang pro-choice sepertinya memiliki alasan yang sangat logis. Namun sebelum kita segera menerima atau menolak hal ini, kita tetap perlu mempertimbangkan nilai-nilai yang harus dipertahankan di dalam kasus-kasus yang berbeda. Karena yang sering terjadi adalah: nilai tertentu tidak dapat dipertahankan di dalam setiap kasus. Orang yang mempertahankan pro-life, bila menghadapi kasus pemerkosaan dan berakibat dirinya hamil, tidak dapat mempertahankan dirinya sebagai pro-life. Atau seorang ibu yang memiliki anak perempuan yang diperkosa kemudian hamil, apakah masih dapat berada di posisi pro-life bersamaan ia melihat anak perempuannya hari demi hari semakin seperti orang gila (karena sakit mental mengandung anak haram hasil pemerkosa yang bejat). Maka sebagai orang kristen kita harus berhati-hati di dalam mengambil posisi. Janganlah posisi yang kita ambil hanya memberatkan orang lain yang sebenarnya posisi itu tidak rela kita pikul bila kita yang menjadi korbannya.
Di dalam argumentasi: janin berpotensi menjadi manusia dan belum sebagai manusia, membenarkan tindakan aborsi bila memiliki alasan yang cukup memadai. Argumentasi ini didukung oleh anggapan bahwa manusia baru disebut manusia bila kepribadiannya sudah berkembang dan mandiri. Dimana ia sudah berinteraksi dengan orang lain dan kepribadiannya berkembang secara berangsur-angsur. Argumen ini mengambil analogi biji pohon Ek dan telur ayam. Dimana biji pohon Ek bukanlah pohon Ek, dan telur ayam bukanlah telur ayam, maka janin bukanlah manusia dan hanya berpotensi menjadi manusia. seperti biji pohon Ek berpotensi menjadi pohon Ek demikianlah juga janin berpotensi menjadi manusia dan belum menjadi manusia. Namun semua pandangan ini memiliki kelemahan yang terbantahkan (tidak akan diuraikan panjang lebar).
Kita bersyukur Alkitab berpandangan berbeda dengan pandangan yang manusia bangun demi kepentingannya sendiri. Alkitab kita memberikan nilai tertinggi kepada kehidupan. Di bawah ini akan diberikan beberapa argumentasi yang membela status janin sebagai benar-benar manusia:
1.      Bayi-bayi yang belum dilahirkan disebut “anak-anak” (Lukas 1:41, 44; 2:12, 16; Kel 21:22).
2.      Bayi yang belum lahir diciptakan oleh Allah (Maz 139:13).
3.      Jenis kelamin “pria-wanita” ditentukan pada saat pembuahan. Sedangkan “pria-wanita” mewakili gambar Allah (Kej 1:27).
4.      Anak-anak yang belum dilahirkan sudah memiliki karakteristik pribadi manusia, yaitu berdosa (Maz 51:5).
5.      Alkitab menggunakan kata ganti orang untuk menjelaskan bayi-bayi yang belum dilahirkan (Yer 1:5; Mat 1:20-21).
6.      Bayi yang belum lahir sudah dikenal oleh Allah (Maz 139:15-16; Yer 1:5).
7.      Bayi-bayi yang belum dilahirkan sudah dipanggil Allah sebelum mereka dilahirkan (Kej 25:2-23; Hak 13:2-7).
Bukan hanya Alkitab kita yang mendukung pandangan bahwa janin adalah seutuhnya manusia, para ahli ilmu pengetahuan sudah mengadakan kongres di Amerika Serikat dengan hasil:
“Kami menerima fakta bahwa ketika terjadi pembuahan, maka muncullah seorang manusia baru, hal ini bukanlah suatu pendapat. Natur manusia yang dimulai dari saat pembuahan sampai kepada usia lanjut bukan merupakan suatu perdebatan fisik, ini merupakan bukti eksperimental yang nyata.” (Jerome LeJeune).[1]
“Sekarang kita dapat mengatakan dengan sangat jelas bahwa masalah kapan dimulainya kehidupan tidak lagi merupakan masalah perselisihan teologi atau filsafat. Ini merupakan suatu fakta ilmiah yang sudah mapan. Para ahli teologi dan filsafat boleh saja memperdebatkan arti kehidupan atau tujuan hidup, tetapi merupakan suatu fakta yang sudah mapan bahwa semua kehidupan, termasuk hidup manusia, dimulai pada saat pembuahan.” (Dr. Hymie Gordon).[2]
            Pandangan yang ditawarkan oleh Kekristenan bukannya tidak ada bantahan, tapi setiap bantahan yang dikembalikan kepada Kekristenan selalu ingin mencoba membela pandangan mereka yang humanistis. Kita membangun argumen bukan berdasarkan kepentingan humanisme, kita membangun argumen berdasarkan Kebenaran yang telah Allah wahyukan, yang hari demi hari dikuatkan oleh pembuktian ilmiah. Kiranya Tuhan memberkati setiap studi kita di dalam mengerti banyak kasus.



[1]  Subcommittee on Separation of Powers, report to Senate Judiciary Committee S-158, 97th Congress, 1st session, 1981.
[2]  Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar