Isu
mengenai aborsi adalah isu yang hampir tidak bisa dihindari dalam permasalahan
hidup di zaman modern ini. Kasus aborsi bukan hanya menjadi pergumulan dari
para pemuda-pemudi yang melakukan free
sex, namun juga merupakan hal yang umum yang dihadapi oleh pasangan
suami-istri baik yang kristen maupun yang bukan kristen. Adalah suatu rahasia umum
bahwa orang kristen pun melakukan aborsi bahkan saat mereka sudah berada di
dalam status menikah. Perbedaan sikap mengenai isu ini didasarkan pada
sedikitnya tiga argumen dasar.
Pertama, argumen yang mengatakan
bahwa janin yang berada di dalam kandungan ibu hanyalah bentung perpanjangan
dari tubuh/ bagian tubuh dari ibu. Sehingga dari argumen ini, aborsi dapat
dilakukan kapan saja sekehendak pemilik tubuh itu, yaitu si ibu. Sikap ini
didukung dengan alasan yang mendasarkan pentingnya kualitas hidup seseorang
(baik kualitas hidup pasangan tersebut atau kualitas hidup calon manusia
tersebut). Bila kelahiran bayi itu akan memperburuk kualitas hidup pasangan ini
dan bayi ini, maka aborsi diijinkan. Pengambilan sikap ini semakin diperkuat
dengan pembelaan kepada hak-hak ibu, yaitu bahwa ibu memiliki kebebasan pribadi
yang jauh lebih penting dari pada hak hidup janin.
Kedua, argumen yang mengatakan
bahwa janin yang berada di dalam kandungan ibu masih berpotensi untuk menjadi
manusia, dan belum merupakan manusia yang utuh. Maka sikap yang diambil dari
pandangan ini adalah aborsi dapat dilakukan kadang-kadang tergantung seberapa
kuat pertimbangan antara hak ibu dan hak hidup bayi yang diputuskan oleh
pasangan tersebut.
Ketiga, argumen yang berpendapat
bahwa janin yang di dalam kandungan ibu sudah merupakan manusia yang utuh. Maka
tindakan aborsi dianggap sebagai suatu tindakan pembunuhan yang menghancurkan
kebebasan hidup manusia. Pandangan ini membela nilai hidup jauh lebih tinggi
dari kebebasan hak ibu. Ibu tidak bisa memutuskan aborsi seberapa tidak relanya
ia memiliki anak, karena hak hidup bayi itu jauh lebih tinggi dari pada hak
kebebasan individu yang dimiliki oleh ibu.
Dari ketiga argumen ini, ada hal
yang cukup unik berkaitan dengan posisi hak ibu yang dibenturkan dengan hak
hidup janin. Kita dapat saja berpikir, mengapa seorang ayah tidak terlalu
dilibatkan di dalam benturan kepentingan antara hak ayah dengan hak janin? Maka
tindakan aborsi cenderung adalah tindakan yang diputuskan oleh ibu ketimbang oleh
ayah. Di dalam kasus aborsi yang diputuskan oleh pasangan kristen yang sudah
menikah, maka tindakan itu akan cenderung diambil oleh pihak istri ketimbang
pihak suami. Hal ini memang senada dengan apa yang Tuhan bebankan kepada
seorang wanita ketika Hawa berbuat dosa terhadap Allah. Yaitu bahwa wanita akan
“menderita” berkaitan dengan mengandung dan melahirkan. Maka adalah hal yang
sangat manusiawi bila seorang wanita takut mengandung dan takut melahirkan.
Karena memang di dalam aktifitas itu, ada suatu “penderitaan” yang Tuhan memang
berikan kepada mereka. Namun yang menjadi kendala bagi seorang ibu adalah:
penderitaan di dalam melahirkan akan berbenturan dengan perintah Tuhan untuk
beranak cucu dan memenuhi bumi.
Dari sini sebenarnya kita bisa
memperhatikan, bahwa keputusan untuk memiliki sejumlah anak di dalam suatu
pernikahan seringkali dikaitkan dengan keengganan seorang ibu untuk melahirkan
dan memelihara anak daripada keengganan seorang ayah untuk memiliki anak. Para
ibu enggan melahirkan dan enggan memelihara anak, padahal Tuhan memang
memberikan panggilan/ beban itu keatas pundak para ibu. Laki-laki Tuhan panggil
untuk bekerja “di luar” dan berkeringat di dalam pekerjaannya, sedangkan
wanita, Tuhan panggil untuk memelihara dan membesarkan anak, yaitu segala
sesuatu yang berkaitan dengan tindakan maintenance
dan “pemeliharaan dari dalam”. Maka wanita tidak dipanggil untuk fighting di luar rumah, dan laki-laki
tidak dipanggil untuk maintenance di
dalam rumah. Semua ordo ini telah Tuhan tetapkan demi kebaikan manusia sendiri.
Namun manusia suka melawan apa yang Tuhan sudah atur untuk manusia jalankan,
dan memilih jalan mereka sendiri. Sehingga pada akhirnya masyarakat kita
memiliki penyakit serius, yaitu: problem “wanita karier” dan problem “bapak
rumah tangga”. Semua ini adalah penyimpangan yang berakibat fatal. Namun kita
tidak akan membahas hal ini terlalu melebar.
Argumen yang berpandangan bahwa
janin merupakan bagian tubuh manusia didasarkan pada beberapa bagian dari
Alkitab. Antara lain Kejadian 2:7, Ayub 34:14-15, Yesaya 57:16 yang menyatakan
bahwa suatu kehidupan dimulai ketika orang tersebut diberikan napas/ bisa
bernapas. Maka janin-janin tersebut belum merupakan manusia karena janin itu
belumlah bisa bernapas. Kemudian Matius 26:24 menyatakan, “lebih baik bagi
orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.” Kalimat ini mengimplikasikan
bahwa manusia menjadi manusia ketika ia dilahirkan. Karena Yesus tidak
mengatakan, “lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dikandung.” Bagaimana
kita memandang argumen seperti ini?
Dukungan bagi aborsi mendapat
“angin segar” dengan ditambahkannya argumen: kesadaran diri (janin belumlah
sadar diri), ketergantungan fisik (janin adalah perluasan tubuh sang ibu),
keselamatan ibu (kalau aborsi tetap dilarang, akan terus bermunculan aborsi
ilegal yang justru membahayakan banyak ibu karena aborsi ilegal tidaklah
hiegenis), argumentasi penyiksaan (anak yang tidak diinginkan kelahirannya akan
selalu mendapatkan tindakan penyiksaan dari orang tua), argumentasi cacat
(negara harus melahirkan anak-anak yang sehat dan berguna demi kelangsungan
suatu bangsa), argumenasi pemerkosaan (tidak ada seorangpun yang boleh melarang
seorang yang diperkosa untuk mengaborsi anaknya, orang yang berani melarang
adalah orang yang tidak bermoral dan mendukung kasus pemerkosaan).
Setiap argumen yang disampaikan
oleh mereka yang pro-choice
sepertinya memiliki alasan yang sangat logis. Namun sebelum kita segera
menerima atau menolak hal ini, kita tetap perlu mempertimbangkan nilai-nilai
yang harus dipertahankan di dalam kasus-kasus yang berbeda. Karena yang sering
terjadi adalah: nilai tertentu tidak dapat dipertahankan di dalam setiap kasus.
Orang yang mempertahankan pro-life, bila
menghadapi kasus pemerkosaan dan berakibat dirinya hamil, tidak dapat
mempertahankan dirinya sebagai pro-life. Atau
seorang ibu yang memiliki anak perempuan yang diperkosa kemudian hamil, apakah
masih dapat berada di posisi pro-life
bersamaan ia melihat anak perempuannya hari demi hari semakin seperti orang
gila (karena sakit mental mengandung anak haram hasil pemerkosa yang bejat). Maka
sebagai orang kristen kita harus berhati-hati di dalam mengambil posisi.
Janganlah posisi yang kita ambil hanya memberatkan orang lain yang sebenarnya
posisi itu tidak rela kita pikul bila kita yang menjadi korbannya.
Di dalam argumentasi: janin
berpotensi menjadi manusia dan belum sebagai manusia, membenarkan tindakan
aborsi bila memiliki alasan yang cukup memadai. Argumentasi ini didukung oleh
anggapan bahwa manusia baru disebut manusia bila kepribadiannya sudah
berkembang dan mandiri. Dimana ia sudah berinteraksi dengan orang lain dan
kepribadiannya berkembang secara berangsur-angsur. Argumen ini mengambil
analogi biji pohon Ek dan telur ayam. Dimana biji pohon Ek bukanlah pohon Ek,
dan telur ayam bukanlah telur ayam, maka janin bukanlah manusia dan hanya
berpotensi menjadi manusia. seperti biji pohon Ek berpotensi menjadi pohon Ek
demikianlah juga janin berpotensi menjadi manusia dan belum menjadi manusia. Namun
semua pandangan ini memiliki kelemahan yang terbantahkan (tidak akan diuraikan
panjang lebar).
Kita bersyukur Alkitab
berpandangan berbeda dengan pandangan yang manusia bangun demi kepentingannya
sendiri. Alkitab kita memberikan nilai tertinggi kepada kehidupan. Di bawah ini
akan diberikan beberapa argumentasi yang membela status janin sebagai
benar-benar manusia:
1.
Bayi-bayi
yang belum dilahirkan disebut “anak-anak” (Lukas 1:41, 44; 2:12, 16; Kel
21:22).
2.
Bayi
yang belum lahir diciptakan oleh Allah (Maz 139:13).
3.
Jenis
kelamin “pria-wanita” ditentukan pada saat pembuahan. Sedangkan “pria-wanita”
mewakili gambar Allah (Kej 1:27).
4.
Anak-anak
yang belum dilahirkan sudah memiliki karakteristik pribadi manusia, yaitu
berdosa (Maz 51:5).
5.
Alkitab
menggunakan kata ganti orang untuk menjelaskan bayi-bayi yang belum dilahirkan
(Yer 1:5; Mat 1:20-21).
6.
Bayi
yang belum lahir sudah dikenal oleh Allah (Maz 139:15-16; Yer 1:5).
7.
Bayi-bayi
yang belum dilahirkan sudah dipanggil Allah sebelum mereka dilahirkan (Kej
25:2-23; Hak 13:2-7).
Bukan hanya Alkitab kita yang
mendukung pandangan bahwa janin adalah seutuhnya manusia, para ahli ilmu
pengetahuan sudah mengadakan kongres di Amerika Serikat dengan hasil:
“Kami menerima fakta bahwa ketika
terjadi pembuahan, maka muncullah seorang manusia baru, hal ini bukanlah suatu
pendapat. Natur manusia yang dimulai dari saat pembuahan sampai kepada usia
lanjut bukan merupakan suatu perdebatan fisik, ini merupakan bukti
eksperimental yang nyata.” (Jerome LeJeune).[1]
“Sekarang kita dapat mengatakan
dengan sangat jelas bahwa masalah kapan dimulainya kehidupan tidak lagi
merupakan masalah perselisihan teologi atau filsafat. Ini merupakan suatu fakta
ilmiah yang sudah mapan. Para ahli teologi dan filsafat boleh saja
memperdebatkan arti kehidupan atau tujuan hidup, tetapi merupakan suatu fakta
yang sudah mapan bahwa semua kehidupan, termasuk hidup manusia, dimulai pada
saat pembuahan.” (Dr. Hymie Gordon).[2]
Pandangan yang ditawarkan oleh
Kekristenan bukannya tidak ada bantahan, tapi setiap bantahan yang dikembalikan
kepada Kekristenan selalu ingin mencoba membela pandangan mereka yang
humanistis. Kita membangun argumen bukan berdasarkan kepentingan humanisme,
kita membangun argumen berdasarkan Kebenaran yang telah Allah wahyukan, yang
hari demi hari dikuatkan oleh pembuktian ilmiah. Kiranya Tuhan memberkati
setiap studi kita di dalam mengerti banyak kasus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar