Selasa, 02 September 2014

Christianity and Culture

Masa Transisi Modern-Postmodern di Indonesia
Di dalam masa transisi antara zaman modern ke zaman postmodern, kita mendapati bahwa kekristenan memiliki suatu cara yang unik di dalam melakukan pendekatannya terhadap dunia. Pendekatan yang dilakukan dengan memberikan suatu pembuktian yang valid terhadap realita iman kristen dirasakan masih berfungsi untuk diterapkan di dalam zaman kita di Indonesia. Namun bila kita memperhatikan spiritualitas yang berkembang diantara kebanyakan orang di Indonesia, spiritualitas yang dominan adalah spiritualitas yang bercirikan spiritualitas postmodern, yaitu dimana manusia sedang berusaha mencari suatu arti, makna, dan kerohanian ke dalam diri mereka sendiri. Hal ini sudah menjadi suatu ciri yang mengakar pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
            Orang Jawa berusaha mengembangkan suatu kerohanian yang “melihat” ke dalam diri sedalam-dalamnya dari batin mereka. Sehingga untuk mendapatkan pengalaman “bersama dengan Tuhan” mereka mengusahakan suatu gaya hidup yang tenang, bersemedi, berdoa dan mengintrospeksi diri sebagai suatu cara untuk meningkatkan kerohanian. Dari dua kenyataan ini, dimana Indonesia masih berada di dalam bayang-bayang dunia “modern” secara konsep pikir dan berada di dalam spiritualitas postmodern, maka tidaklah mudah untuk melakukan diskusi dengan mereka. Karena secara tidak sadar atau sadar, mereka selalu menuntut suatu pembuktian yang logis terhadap iman kristen, sedangkan sebenarnya mereka sendiri menjalani suatu spiritualitas yang tidak bersesuaian dengan konsep pikir modern yang mereka miliki. Disinilah kekristenan mendapatkan suatu tantangan yang unik yang tidak biasanya dihadapi.
            Bila “musuh” kekristenan adalah konsep pikir modern, maka pendekatan yang dapat kekristenan lakukan adalah jelas, yaitu dengan memberikan suatu argumen yang kuat yang bersifat analitis dan masuk akal. Demikian juga bila kekristenan menghadapi postmodern, kekristenan dapat melakukan pendekatan dengan menyuarakan klaim-klaim iman/ kebenaran yang dimiliki, karena sebenarnya setiap klaim/ argumen-argumen memiliki kesamaan validitas. Sebagaimana diungkapkan oleh Sire, “Dengan postmodern ini, tidak ada satu kisah tertentu yang memiliki lebih banyak kredibilitas dibandingkan dengan kisah lain manapun. Semua kisah sama-sama absahnya.”[1] Namun akan menjadi agak rumit bila kekristenan menghadapi komunitas yang “abu-abu” dimana konsep pikir mayoritas adalah modern sedangkan spiritualitas yang berlaku adalah postmodern.
            Saya berharap observasi yang saya lakukan kali ini, dapat memberikan suatu solusi terhadap permasalahan semacam ini. Saya akan terlebih dahulu memberikan pengenalan/ pengantar terhadap realita masyarakat Indonesia, terkhusus masyarakat Jawa. Kemudian mencoba mencari posisi untuk bisa melakukan pendekatan terhadap realita yang ada berkaitan dengan kekayaan iman kristen yang ada.

Observasi Franz M. Suseno terhadap realitas orang Jawa
"Suatu pertemuan hanya akan berhasil apabila merupakan komunikasi dua arah. Yang memberi sekaligus menerima, dan yang menerima sekaligus memberi. Begitu pula pertemuan antara Injil dengan sebuah kebudayaan hanya berhasil apabila terjadi komunikasi dua arah."[1] Demikianlah kalimat pembuka dari Franz Magnis Suseno pada tema Religiositas Jawa dan Injil.
Orang jawa memiliki konsep "kesatuan dengan Tuhan" yang cukup kuat. Konsep itu terbentuk salah satunya dari kisah Dewaruci. Dimana Bima (seorang pengembara yang mencari air hidup) bertemu dengan Dewaruci (Penjelmaan Yang Maha Kuasa-dengan wujud mirip Bima), dan Bima masuk ke dalam batin Dewaruci, disitulah Bima bertemu dengan Yang Ilahi dan bersatu denganNya (manunggaling kawula Gusti).
Peristiwa kesatuan dengan Tuhan ini terjadi di saat manusia masuk ke dalam semedi dan tapa. Pertemuan ini terjadi ketika manusia masuk ke kedalaman batinnya sendiri. Franz Magnis mengungkapkan demikian, "Adalah keyakinan paling mendalam religiositas Jawa bahwa manusia pada dasar dirinya mencapai dasar dari segala-galanya: pada dasar suksmanya manusia sampai pada Hyang Suksma. Dengan tembus sampai pada dasar dirinya yang sebenarnya manusia sampai pada tujuan hidupnya, persatuan dengan asal-usulnya sendiri (sangkan paraning dumadi), dengan Yang Ilahi. Ia mencapai 'kesatuan hamba Tuhan' (manunggaling kawula Gusti)."
Konsep persatuan dengan Tuhan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa memang mempermudah kekristenan untuk dapat masuk dan diterima oleh orang Jawa. Pendekatan yang dapat dilakukan oleh orang kristen terhadap orang Jawa bukanlah dengan cara memberikan suatu penegasan yang bersifat teoritis, apalagi dengan menggunakan cara berdebat. Hal ini dikarenakan orang Jawa sangat menghargai keharmonisan dalam berelasi.
Unsur berikutnya yang perlu diperhatikan untuk membawa Injil dapat diterima oleh orang Jawa adalah unsur perasaan. Orang Jawa menginginkan bahwa agama itu dapat dialami dan dirasakan secara mendalam. Itu sebabnya Franz Magnis memberikan masukan bagi kekristenan untuk dapat mengembangkan dimensi yang bersifat kebatinan. Dimensi yang ia maksudkan adalah suatu peristiwa yang terjadi di dalam hati manusia. Sebagai contoh, orang kristen mengajarkan untuk dapat berdoa di dalam hati, dimana di dalam doa tersebut seseorang dapat merasakan kehadiran Allah di dalam dirinya. Demikian juga orang kristen katolik memiliki tempat-tempat yang tenang untuk berdoa dan bersemedi, di tempat itulah mereka dapat lebih merasakan kehadiran Tuhan di dalam hati mereka.
Hal kedua yang menjadi penekanan Franz Magnis adalah kekristenan perlu mengembangkan dimensi liturgi. Dimensi liturgi yang ia maksudkan adalah suatu bentuk ibadah yang berkaitan dan menggunakan simbol-simbol seperti dupa, patung, gambar-gambar, jalan salib, dan sejenisnya. Karena melalui simbol-simbol inilah (menurut pengamatannya) Tuhan dapat terhubung dengan pengalaman manusia. Barangkali hal inilah yang menyebabkan Katolik dapat lebih mudah diterima oleh orang Jawa dibandingkan dengan kekristenan Ortodox. Karena banyak praktek dalam kekristenan yang berusaha untuk menanggalkan segala simbol-simbol yang tidak perlu dalam agamawi.
Hal berikutnya yang dapat membuat Injil lebih mudah diterima oleh orang Jawa adalah bila orang Kristen yang memberitakan Injil itu juga memiliki kesaksian hidup yang baik, terkhusus di dalam hal cinta kasihnya kepada sesama. Tanpa kasih yang sejati, pekabaran Injil hanyalah menjadi slogan yang tidak jujur. Namun bila Injil diberitakan dengan kasih, maka hal itu akan sungguh-sungguh menjadi perwujudan kasih seorang kristen terhadap Tuhan dan sesama.
Ada beberapa problem yang perlu dipikirkan orang-orang kristen ketika berhadapan dengan konsep-konsep orang Jawa yaitu: Pertama, kebudayaan bersemedi dan bertapa yang dilakukan oleh orang Jawa memiliki kecenderungan makna bahwa manusia yang mampu berkonsentrasi dengan baik dan kuat di dalam semedi-lah yang akan dapat bertemu dan merasakan Tuhan. Hal ini bertentangan dengan teologi kristen dimana yang diterima Tuhan bukanlah mereka yang kuat namun mereka yang lemah dan mau berserah kepadaNya. Karena keselamatan itu adalah tergantung kepada Tuhan dan bukannya kepada manusia yang lemah.
Kedua, orang Jawa tidak terlalu memikirkan konsep dosa dan kebersalahan manusia kepada Tuhan. Konsep kebersalahan yang mereka miliki adalah sejauh yang diungkapkan Franz Magnis, “Orang Jawa percaya bahwa kita tidak dapat meningal dengan lancar apabila masih ada orang yang dendam dengan kita.”[2] Maka konsep kebersalahan mereka terhadap Tuhan tidaklah terlalu kentara. Ini yang membuat Injil perlu menegaskan tentang arti keberdosaan manusia terhadap Tuhan. Melalui Injil, orang Jawa dapat mengerti kecenderungan mereka yang menutup-nutupi kesalahan, dan mendorong mereka untuk terbuka dan mengaku diri mereka berdosa adanya di hadapan Tuhan.

Implikasi dari Pemikiran Suseno
Apabila observasi yang dilakukan Franz M. Suseno cukup mewakili bagi realitas masyarakat Jawa, maka ini berarti masyarakat Jawa memiliki “dimensi” perasaan/ sense yang lebih kuat daripada dimensi rasio. Walau bukan berarti orang Jawa adalah orang-orang yang tidak menggunakan rasio. Namun diantara kedua kecenderungan yang dimiliki, kecenderungan mereka lebih banyak mempergunakan aspek-aspek yang berkait dengan fungsi senses. Bila demikian, kekristenan dapat masuk dengan lebih mudah ke aspek-aspek spiritualitas yang mereka miliki dengan menawarkan suatu kerohanian yang alkitabiah dibandingkan dengan menawarkan suatu konsep pikir kristen yang kuat. Namun tidak kemudian pendekatan ini dapat kita jadikan suatu cara yang selalu dapat dipakai ketika kita melakukan pendekatan terhadap orang Jawa. Karena diantara mereka dapat saja ada orang-orang yang masih mengutamakan suatu argumen yang kuat dan masuk akal sebelum mereka dapat menerima sesuatu yang dinamakan “kebenaran”.

Peran bahasa dalam memperkembangkan kekristenan
Sebagaimana bahasa adalah milik dari semua orang, demikian juga Kekristenan adalah milik dari semua orang. Adam English menuliskan, “Christianity open to all people; anyone can ‘join.’ The message is not owned by any one person or group; it is free to all who have ears to hear and tongues to speak.”[3] Jikalau kekristenan menyadari hal ini dan menggunakan pendekatan ini untuk ‘memasukkan’ story kristen ke dalam dunia, maka kekristenan memiliki kesempatan yang besar untuk dapat diterima oleh dunia. Namun sangat disayangkan, para theolog kristen lebih memilih jalan arogansi, dengan menyatakan dan berkata-kata seolah-olah kekristenan hanyalah milik dari sekelompok kaum minoritas yang unggul di dalam hal moral, doktrin, dsb, yang pada akhirnya membuat kekristenan hanya ‘bermain’/ mempengaruhi sesama lapisan kristen dan sulit untuk menembus lapisan yang belum kristen.
            Demikian juga kekristenan membutuhkan suatu language yang kuat yang dapat bersaksi kepada dunia tentang iman yang mereka miliki. Namun untuk memiliki language yang kuat, orang kristen membutuhkan suatu latihan, seperti bahasa dipelajari oleh seorang anak-anak maupun seorang dewasa, demikianlah language yang mewakili kekristenan membutuhkan waktu untuk dipelajari oleh seorang kristen. English mengungkapkannya dengan cara demikian, “With time and devotion and the Spirit’s nurturing help, the learner becomes competent in the language.”[4] Melalui kemampuan untuk berbahasa inilah (dimana di dalamnya ada grammar, repetition, vocabulary) seorang kristen dapat mengungkapkan klaim-klaim kristennya dengan jelas kepada dunia. Sebagaimana corak spiritualitas zaman kita yang diwarnai dengan postmodern, maka klaim-klaim tersebut akan memberikan suatu alternatif yang kuat untuk dipertimbangkan sebagai pilihan di dalam bagaimana seseorang menentukan imannya.
            Maka untuk dapat menjadikan kekristenan sebagai story yang kuat dan dapat dipertimbangkan oleh suatu komunitas sebagai pilihan yang unggul, kekristenan perlu menampilkan kekayaan yang ada di dalamnya dengan menggunakan language yang powerfull dan memadai. Dengan demikian, kekristenan tidak perlu menjadi takut untuk melakukan engagement dengan berbagai pandangan di zaman ini. Asalkan kita memiliki rangkaian argumen yang baik dan memadai dengan story yang kuat di dalamnya, maka kita dapat memberikan suatu perubahan di dalam mindset dan believe manusia. Namun semua itu membutuhkan suatu kedisiplinan dan ketekunan dalam mempertumbuhkan talent yang Tuhan sudah berikan kepada setiap orang kristen. Disinilah peran language dalam memberikan kontribusi bagi berkembangnya kekristenan di zaman kita.
            English menganalogikan kekristenan dengan language, yang mana akan berfungsi ketika hal itu dibagikan kepada sesama. Christian faith that is never expressed or communicated or matured soon disintegrates and disappears.”[5] Demikian English menggambarkannya. Ketika iman kristen itu tidak pernah dibagikan kepada suatu komunitas (baik itu di dalam gereja ataupun diluar gereja) maka iman itu akan lama-kelamaan hilang dan lenyap. Dengan kondisi yang seperti ini, kita menjadi merasa perlu untuk membagikan iman kristen kita kepada orang lain. Bukan hanya demi orang lain mendapatkan berkat dan pengaruh yang baik dari iman tersebut, tetapi juga agar iman itu tidak menjadi mati karena hanya berdiam dan tidak bertumbuh di dalam diri kita.
            Namun kita perlu melihat adanya suatu reduksi yang mungkin terjadi di dalam kita  menganalogikan secara mutlak kaitan antara kekristenan dan bahasa. Karena sebenarnya kekristenan tidak dapat dianalogikan dengan satu model yang mewakili keseluruhan ‘wajah’ kekristenan. Ketika kita berkata bahasa akan sangat membantu untuk memasukkan kekristenan ke dalam kebudayaan, kita hendaknya tidak lupa bahwa bahasa dapat saja hanya menjadi suatu permainan atau ‘perhiasan’ yang menipu atau tidak mewakili diri kristen yang sebenarnya. Bahasa dapat menjadi suatu retorika yang persuasif tanpa disertai oleh Spirit yang mengisi kekristenan tersebut. Dan inilah salah satu kebahayaan seorang kristen yang mengembangkan retorikanya dengan baik, namun tidak memperdulikan content yang sejati dari kekristenan. English mengungkapkannya demikian, “I did not play games with you or trick you with rhetoric. The kingdom of God is not built on words, but actions. Christianity is not so many words, but power and reality.”[6]Betapa kita mudah tertipu dengan kemampuan retorika yang sepertinya meyakinkan dan menarik, namun belum tentu memiliki konten yang sejati yang dapat mewakili kekristenan.  Disinilah kita membutuhkan suatu power dari Roh Kudus di dalam kita memakai language yang kita miliki. Sehingga di dalam kita memberikan suatu kesaksian kepada orang di sekita kita, kesaksian itu tidak kemudian menjadi suatu argumen yang tidak berdaya, yang tidak menyentuh hati manusia. Namun dengan dipimpin dan disertai Roh, sound dari language yang kita keluarkan akan dapat menggema di dalam hati manusia.
            Kita juga perlu berhati-hati dengan language yang kita kuasai dan pakai di dalam kita melakukan deal dengan dunia. Karena iman kristen bukanlah suatu produk dari pikiran manusia. Iman kristen bukanlah sekedar suatu konsep pikir semata.  Iman kristen itu adalah suatu pemberian dari Tuhan yang beranugerah kepada manusia. English mengkuatirkan analogy language akhirnya membawa manusia terjebak ke dalam suatu aksi yang salah terhadap divine reality. Karena itu hendaknya kita sadar, bahwa language yang kita pakaipun dapat menjadi suatu reduksi bagi iman kristen, bila kita menganggap kekristenan sudah dapat terwakili secara penuh hanya dari analogy bahasa.

Kesadaran yang kita butuhkan
Kekristenan yang telah memiliki kekayaan di dalam story, dan telah memiliki kemampuan di dalam language, tetap perlu memperhatikan spirit yang mendominasi di dalam dunia atau suatu komunitas. Berhubung cara pikir yang mendominasi zaman kita masihlah suatu cara pikir yang bersifat scientific, maka kita perlu memperkuat aspek analitis di dalam cara berpikir. Ini dikarenakan zaman kita di Indonesia masih mengejar suatu kemajuan/ pencapaian di dalam banyak aspek, terkhusus di dalam hal ekonomi dan teknologi. Maka pikiran yang didominasi oleh scientific tidak dapat dihindarkan di zaman kita. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Michael W. Goheen, “Scientific reason was to be universal, to transcend human culture and history, to discern such law as are true for all people at all times.”[7]Maka untuk dapat membawa manusia modern mau memperimbangkan iman kristen, kita perlu mempelajari sejarah pemikiran berkembangnya dunia modern. Hal-hal apa yang menjadi “tuhan” di dalam zaman tersebut dan mengapa. Kemudian kita menghadirkan kekristenan sebagai alternatif yang masuk akal dan logis dengan menyertakan pembuktian iman kristen tersebut di dalam realita. Dengan begini, manusia tidak menganggap bahwa iman kristen adalah iman yang abstrak dan dipenuhi mitos-mitos tidak masuk akal, walaupun memang ada unsur yang tidak masuk akal di dalam iman tersebut, namun belumlah saatnya kita membukakan “jati diri” keseluruhan dari iman kristen kepada dunia. Melalui cara-cara seperti ini, kita belajar bagaimana berbijaksana di dalam menjadi saksi bagi Kristus dan bagi iman yang kita miliki.
            Sambil kita membangun suatu konsep pikir yang valid dan kehidupan iman yang bertumbuh, kita hendaknya selalu mengingat bahwa seluruh usaha kita tidak hanya perjuangan intelektual semata, sebagaimana English mengungkapkan, “The Christian faith is not the product of human minds, but the gift of the almighty’s revelation and grace.”[8]


[1] Franz Magnis Suseno, Beriman dalam Masyarakat, pp. 193.
[2] Franz Magnis Suseno, Beriman dalam Masyarakat, pp. 205.
[3] Adam C. English, Theology Remixed, pp. 80.
[4] Ibid., pp. 81.
[5] Adam C. English, Theology Remixed, pp 83.
[6] Adam C. English, Theology Remixed, pp. 84.
[7] Michael W. Goheen and Craig G. Bartholomew, Living at the Crossroads, pp. 93.
[8] Adam C. English, Theology Remixed, pp. 84.



[1] James W. Sire, Semesta Pemikiran: Sebuah Katalog Wawasan Dunia Dasar, pp. 232.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar